Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Batak, Perkawinan Lintas Budaya

30 Desember 2019   23:39 Diperbarui: 16 Januari 2020   03:44 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halati atau alat pemecah pinang Batak (Dokpri)

Kembali ke soal marga, persekutuan marga yang terbentuk karena perkawinan merupakan dasar dari struktur sosial Batak yang disebut "tungku yang tiga" atau dalihan na tolu.

Dalihan na tolu pada dasarnya berarti tungku [tataring] yang terbuat dari tiga buah batu yang disusun. Tiga buah batu itu diperlukan untuk menopang periuk atau wajan agar tidak terguling. Itulah analogi yang mendasari hubungan kekerabatan yang diakibatkan oleh pernikahan yaitu, anggota-anggota semarga [dongan tubu] pihak pemberi istri [hula-hula] dan pihak penerima istri [boru]. Hubungan itu diikat oleh filsafat-norma yang mengatakan manat mardongan tubu, somba marhula-hula dan elek marboru. Apa artinya?

Manat mardongan tubu secara harfiah berarti berhati-hati memperlakukan --anggota-anggota semarga. Di kampung-kampung tradisional orang Batak [Tananuli] penduduk dihuni oleh anggota-anggota semarga [dongan tubu], inilah teman untuk mengerjakan banyak hal dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu ditekankan untuk harus memperlakukan anggota-anggota semarga dengan hati-hati [manat]. Kehati-hatian pada dasarnya bentuk lain dari saling sikap hormat.

Filsafat ini mengingatkan bahwa kehati-hatian sering hilang karena justru merasa terlalu dekat atau akrab. Untuk hal ini, ada ungkapan adat mengakatan 'batang pohon yang dekatlah yang bergesekan' [hau na jonok do na masiososan].

Elek marboru secara harfiah berarti, dengan penerima istri [boru] harus dibujuk. Boru adalah penopang dan penyokong pekerjaan-pekerjaan sehari-hari dan dalam pesta-pesta adat mereka mengurus dapur serta menyiapkan hidangan pesta tamu pihak hula-hula-nya. Oleh karena itu hula-hula haruslah senantiasa memperlakukan mereka dengan ramah-tamah dan lemah lembut agar mereka tidak sakit hati atau merajuk, jika mereka sakit hati adalah kewajiban hula-hula untuk membujuk dan membesarkan hati boru-nya.

Somba marhula-hula secara harfiah berarti dengan hula-hula harus sembah [somba]. Bagi boru, hula-hula adalah matahari terbitnya, sumber berkat dan kesejahteraan. Ada kewajiban bagi hula-hula untuk memberikan harta benda seperti sawah dan tanah sebagai dasar kehidupan boru-nya.

Dengan demikian tiga pihak memelihara hubungan mereka dengan saling memberi dalam berbagai bentuknya. Ungkapan adat mengatakan 'saling berbalas adalah hukum, saling berbagi adalah kekuatan' [sisoli-soli do uhum siadapari gogo]. Prinsip resiprositas ini bertujuan untuk kesejahteraan bersama dan keadilan bersama [Daniel Harahap, 2007]. Hukum bagi yang tidak mematuhi kewajiban-kewajiban masing-masing pihak ini diungkapkan dalam umpama berikut:

Angka na so somba marhula-hula siraraonma gadongna
Pihak yang tidak menghormati hula-hula (kerabat istri) akan menemui kesulitan mencari nafkah

Molo so manat mardongan tubu, natajom ma adopanna
Pihak yang tidak menghormati anggota-anggota semarga akan mengahapi pisau tajam

Jala molo so elek marboru, andurabionma tarusanna

Yang tidak menhormati boru (kerabat menantu) mendapat malu dan pergunjingan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun