Mohon tunggu...
Tuty Yosenda
Tuty Yosenda Mohon Tunggu... profesional -

hanya perempuan kebanyakan dengan cita-cita 'kebanyakan' ;-) , yaitu jadi penonton, pemain, penutur, wasit, sekaligus ... penghibur. (^_^) \r\n\r\nblog personal saya adalah yosendascope.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mari Kita Saling Mengamplopi ;-)

26 Mei 2011   16:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:10 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Alam itu memiliki kemampuan untuk menjaga keseimbangan dan mengatur diri. Jika sekarang tiba-tiba ada gangguan yang disebut hama, itu adalah produk peradaban manusia. Karena secara alami, tidak ada hama di Alam yang cerdas ini", demikian kata seorang sahabat bernama Profesor Sutiman Bambang Sumitro.

Terbayang hewan-hewan berbulu dan berekor yang sering diperlakukan sebagai kriminal itu.

Terkenang sepuluh tahun lalu, ketika ribuan ulat penggerek menjarah tanaman tomat kami, membuatku begitu gemasnya, hingga tega...menggunting setiap penyusup yang kutemukan itu jadi dua !

Belakangan aku menyadari betapa pengecutnya orang (baca: aku) yang hanya berani menggunting mahluk kecil, bukannya 'menggunting' pemburu burung liar pemangsa ulat yang berkeliaran di kebun kami.

"Kita suka memilih-milih apa yang kita anggap lebih berguna bagi diri kita sendiri. Kita memilih tanaman tertentu dan menyingkirkan semak-belukar. Kita memilih lahan untuk perumahan dan menyingkirkan danau alami dan rawa-rawa. Dan ketika pilihan parsial kita itu meminggirkan, bahkan menyempitkan ruang gerak mahluk lain, mereka yang berusaha berontak untuk bertahan hidup itu lalu kita definisikan sebagai ...hama", demikian pakar biologi sel itu menambahkan.

(Wahai, Pak Sutiman, susah sekali bersimpati

pada ulat maupun tikus, sekalipun mereka terpinggirkan ! ;-))

Tapi tiba-tiba angan-anganku melayang pada sebuah film tentang Robin Hood, seorang pencuri yang begitu mengundang simpati. Sebelumnya dia hanyalah seorang prajurit biasa. Namun ketika hidupnya terpinggirkan akibat keputusan parsial yang dibuat oleh penguasa, ia lalu mengubah haluandan memutuskan untuk menjadi ...hama.

Anehnya kita semua menyukai hama yang tak banyak bulu dan tak jelas ekornya ini ...;-).

Kita setuju pada Robin Hood yang berani menentang hukum yang tidak mengayomi rakyat kecil itu. Kita mengagumi pilihan pelanggar hukum legendaris ini, karena ia memutuskan dirinya untuk menjadi pelindung bagi mereka yang tersisih itu. Mereka yang tadinya lemah itu lalu memiliki keberanian untuk melawan, sekalipun lawannya jauh lebih kuat...

Bukankah itu amat romantis dan menakjubkan ?

Tapi maaf yah, aku masih belum bisa bersimpati  pada ulat-ulat penggerek itu ! ;-)

Sebagai upaya menebus ketidakadilanku tadi, bagaimana kalau kukatakan bahwa aku bersimpati pada gajah-gajah yang mengamuk dan menyerang pemukiman di pelosok Riau dan Jambi sekian tahun lalu ? Aku memahami betapa sulitnya hidup bersama manusia yang tak tahu artinya berbagi, bahkan tak punya rasa sungkan untuk menjarah tanah dan rumah-rumah mahluk Tuhan lainnya. Sayangnya gajah, macan, burung, dan tikus itu tak punya duta untuk mewakili kepentingan mereka. Jadi ketika hukum -yang ditentukan secara sepihak oleh manusia itu- tidak berpihak pada mereka, terpaksa mereka bertindak sendiri -persis seperti Robin Hood- dan menjadi ... the outlaw !

Because this is just a part of The Natural Law. It says : "When the law is oppressive, the only room left is to be an outlaw !"

Demikianlah saudara-saudara, tahu-tahu para hewan yang lebih dulu berpartisipasi di muka Bumi itu telah didakwa sebagai pelanggar hukum oleh mahluk yang paling yunior (baca : manusia) ini.

Betapa anehnya !

Mereka semua hanya sekedar mengikuti irama kehidupan secara by design (tepatnya disain Ilahiah), jauh berbeda dengan manusia yang memiliki keleluasaan untuk bergerak secara by choice.

Ratusan juta tahun sebelum kelahiran manusia, denyut Bumi bahkan ditentukan semata oleh disain Ilahiah tersebut. Namun setelah lahir peradaban manusia, 'hanya' sekitar ribuan tahun terakhir lalu, tiba-tiba saja disain Ilahiah itu tersingkir oleh pilihan parsial manusia.Tiba-tiba saja the Natural Law rancangan Tuhan itu dibredel, digantikan oleh hukum baru yang menciptakan ruang bagi the outlaw ini.

Pertanyaannya, seperti apakah Natural Law itu ?

Sepertinya Hukum Alam ini memiliki kemiripan redaksi dengan hukum manusia, yaitu: Pertumbuhan dan suksesi yang berhasil ditentukan oleh aktivitas "saling mengamplopi". Namun sudah pasti kandungan maknanya sangat jauh berbeda ;-).

Amplop yang dimaksud sama-sama membungkus, menyimpan dan melindungi sesuatu, juga sama-sama digunakan dalam proses memberi dan menerima (sambil berharap siapa tahu kelak ada imbalan yang sepadan ;-)). Tapi jangkauan perlindungan dan pemberian yang dijanjikan oleh aktivitas 'saling mengamplopi' ini jauh melampaui semua partisipan yang terlibat di dalamnya.

Aku bahkan yakin sekali, bahwa fenomena saling mengamplopi berikut ini adalah ...tanda-tanda kehidupan surgawi ;-) *).

Lihatlah pohon pisang ini !  Sungguh tak ada pohon lain seperti pisang !

Mereka sudah melayani Bumi lebih dari sejuta tahun lalu. Para holtikulturis bahkan menduga pisang inilah buah yang pertama muncul di muka Bumi.

'.

Batangnya merupakan batang palsu, karena bukan merupakan kayu, melainkan terdiri dari lembaran-lembaran yang saling 'mengamplopi'. Demikian pula dedaunannya yang tumbuh bersusun-susun, diwarnai oleh kesantunan 'daun senior' yang rela merunduk untuk memberi jalan kepada 'yunior'nya.

Setiap bagian lalu bahu-membahu membantu kelahiran sang bunga, untuk selanjutnya memfasilitasi bunga untuk menjadi buah.

Dan ketika misi pertama sudah tercapai, misi berikutnya adalah mempersiapkan generasi baru -meski untuk itu berarti harus mengorbankan diri.

Pohon eksotik ini hanya berbuah sekali, sesudah itu mati.

Tapi sepanjang waktu dalam setahun, kita selalu bisa menikmatinya, berkat proses regenerasi pisang yang sangat sukses. Tunas demi tunas bersusulan dalam rumpun yang meluas, sehingga siapapun bisa menemukan apa yang dibutuhkannya, mulai dari batangnya, daunnya, lebih-lebih buahnya.

Mereka tumbuh merumpun dalam atmosfer saling melengkapi dan melingkupi, juga hadir dalam kehidupan mahluk lainnya sebagai sosok yang berfungsi melengkapi dan melingkupi. Merekalah yang tak henti-hentinya menunjukkan betapa pentingnya menjadi dan berbagi, bukan sekedar memiliki dan berekspansi.

Pohon pisang adalah karya Tuhan yang begitu bersahaja, namun di dalamnya terkandung filosofi yang paling universal, yaitu : "Development is envelopment".

Dalam karya masterpieceNya, yaitu manusia, kita melihat bagaimana atom-atom saling mengamplopi diri mereka dan menjadi molekul, molekul-molekul pun saling mengamplopi dan menjadi sel, sel-sel itu lalu saling membungkus dan menjadi jaringan, dan proses amplop-mengamplopi ini terus berlangsung hingga mereka menjadi organ, bahkan menjadi mahluk luar biasa seperti kita ...

Demikian pula dalam kehidupan sosial kita, dimana individu-individu juga saling mengamplopi dan menjadi komunitas kecil, menjadi bagian dari komunitas besar, menjadi bagian dari negara dan seterusnya. Jika kita lanjutkan 'fenomena amplop' ini dalam skala makro, gambaran yang sama akan kita temukan pula dalam benda-benda langit.

Hutan pun menunjukkan perilaku enveloping ini, yaitu ketika sebuah pohon besar menjadi naungan bagi jamur dan hewan-hewan kecil. Sebagai 'bayaran' atas naungan tersebut, mahluk-mahluk kecil ini membantu sang pohon, entah dengan cara memperluas penyebaran benih, atau mendaur-ulang sampah dan daun-daun kering yang berjatuhan menjadi pupuk. Dengan cara enveloping inilah sang pohon melanjutkan pertumbuhan, regenerasi, dan ekspansi. Melalui envelopment semacam inilah dimungkinkan terjadinya ...development !

Begitu sempurnanya tatanan enveloping di Alam ini, hingga tak ada satu pun mahluk yang ditakdirkan untuk terisolasi dari Rancangan Agung tersebut, demikian kata sobatku Pak Sutiman itu. "Sayangnya, peradaban manusia cenderung memilih rancangan tertentu secara parsial sambil menolak yang lain. Hingga muncullah istilah 'hama' untuk menunjuk pada segala yang kita tolak, misalnya tikus, ular, burung, ulat, ras dan agama tertentu, teroris ;-), dan sebagainya."

Jadi itukah sebabnya :  Karena manusia memilih-milih seenak perutnya, dan menolak-nolak seenak dengkulnya ? Berkat pilihan berbasis perut dan dengkul itu, para 'korban' itu tidak melihat jalan lain kecuali menjadi pelanggar, karena hukum yang ada tidak mengakui kebutuhan mereka, apalagi mewadahi berbagai aspirasi mereka.

Kitalah yang menciptakan ritme berbasis ekonomi yang tak dipahami dan tak terkejar oleh segolongan orang, tanpa menyadari bahwa mereka mungkin lelah menjadi penonton yang hanya bisa mendengar suara lirihnya sendiri. Kita biarkan mereka terbengong-bengong melihat gerak kehidupan (baca: peradaban) yang tak terjangkau oleh mereka, apalagi memberi tempat bagi mereka untuk sekedar mengimbangi. Bukankah wajar jika menjadi the outlaw akan terlihat sebagai satu-satunya pilihan ?

Sebab ketika suatu mahluk hidup -lebih-lebih manusia- merasa tak punya cukup bahan -maupun daya- untuk 'meregisterasi diri'nya pada 'amplop yang lebih besar'(baca : peradaban) itu, besar kemungkinan mereka akan melirik pada 'amplop tandingan' yang dibuat oleh sesama outlaw yang senasib.

Selanjutnya, saat para outlaw itu bersatu sebagai semacam 'sel-sel kanker' yang diam-diam menyimpan gagasan parsialnya sendiri, percayalah, sesungguhnya gagasan parsial itu memang selama ini telah diijinkan untuk tumbuh, meski dengan rapi bersembunyi dibalik slogan 'cita-cita mulia'. Tubuh yang menyimpan tujuan parsial itulah yang sebenarnya mengundang tujuan-tujuan parsial lainnya. Jadi gagasan parsial yang memihak dan memilih sebagian -bukannya memilih keutuhan- inilah musuh kita yang sebenarnya. Tak banyak gunanya memburu dan menyemprot siapapun yang kita sepakati sebagai the outlaw, baik yang berupa sel-sel kanker maupun mereka yang berbulu dan berekor itu. Bahkan kemoterapi pun hanya berdampak sangat melemahkan dan menurunkan kualitas hidup si pasien, meski -untuk sementara- sel-sel kanker itu tidak menampakkan diri mereka.

Akhir kata, sebagai mahluk yang diberi keistimewaan dengan choice, sudah selayaknya kita menyumbangkan sesuatu yang istimewa melalui choice kita juga.

Lebih dari pohon pisang yang bersahaja dan hutan yang bekerja dalam diam,  lebih dari para gajah dan burung (karena sesungguhnya kitalah khalifah atau duta Kosmos yang mereka tunggu-tunggu),  juga lebih dari para benda langit, karena mereka semua melakukannya secara by design.

Mereka ditakdirkan untuk menjadi bagian dari semua, sementara kita dibebaskan untuk memilih pengalaman menjadi bagian dari semua atau tidak. Namun jika kita memilih jalan parsial kita sendiri, artinya kita memperkenankan ketegangan sistemik dan kesakitan ini berlanjut.

----------------------------------------------------

(Catatan: Masih juga belum bersimpati juga pada mahluk merayap itu. Tapi demi mereka, aku ingin ada seseorang yang berkata begini: "Wahai mahluk berotak besar yang telah mengubah wajah dunia, bukankah kalian semua tahu bahwa ada 'amplop' semua beres ?" ;-))

-diilhami oleh film Robin Hood, juga oleh pemandangan nowhere men yang banyak sekali kulihat di jalan-jalan. *) Dalam sebuah gambaran surga di Al Quran (56 : 29) : "Dan pohon pisang yang bersusun-susun ".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun