Mohon tunggu...
Maolana Syarif
Maolana Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Wiraswasta

Kuliner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lewat Pukul 5 Sore

3 Januari 2024   12:03 Diperbarui: 3 Januari 2024   12:16 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

LEWAT PUKUL 5 SORE

Oleh: Maolana Syarif 

Hari itu, kelas bahasa inggris di kampusku selesai pukul 17.00. Aku memang sengaja tak mengambil kelas malam, mau bagaimana lagi, aku tak membawa kendaraan ke kampus, dan hanya mengendalkan angkutan kota yang kita kenal dengan sebutan angkot. Kelas pagi di kampusku dimulai pukul 07.00 hingga pukul 16.00. Jadi, hari itu, saat selesai kelas bahasa inggris, pukul 17.00, kampus sudah sangat sepi, dan hanya menyisakan kelasku saja.

Kampusku terbilang kampus yang terkenal di kotaku. Bangunannya terbagi menjadi beberapa gedung, sesuai dengan fakultas yang ada. Di sebrang gerbang kampus, terdapat halte, tempat menunggu angkutan kota, bus, atau pun bus mini. Bus dan bus mini memang jarang melewati jalan ini, hanya sesekali saja pada jam-jam tertentu. Sementara, angkutan kota atau angkot berlalu lalang dari pukul 06.00 sampai pukul 17.00. Lewat dari pukul 17.00, sudah tak ada lagi angkot yang melewati halte depan kampus.

"Mel, kita duluan, ya!" seru teman-temanku, satu persatu meninggalkan kampus.

Aku berjalan menuju halte depan kampus, saat menyadari semua temanku sudah meninggalkan kampus. Mereka memang membawa kendaraan sendiri, dan yang gak bawa kendaraan diajaknya. Kecuali aku yang memang tak searah dengan mereka.

Masih pukul 17.00, aku memutuskan untuk menunggu angkot lewat. Dua puluh menit berlalu, angkot tak kunjung lewat. Langit mulai gelap, semilir angin sukses membuat bulu kuduk berdiri. Namun, aku masih berharap angkot lewat, atau kendaraan lain yang bisa kutumpangi.

Azan magrib berkumandang, aku memutuskan untuk melaksanakan salat terlebih dahulu, sembari berharap angkot cepat datang. Akhirnya, aku kembali ke kampus, menuju masjid kampus. Masjid kampus terletak di belakang aula. Untuk sampai ke sana, aku harus melewati tempat parkir, lurus ke gedung Fakultas Syariah, kemudian melewati lorong aula yang panjang, dan sampai di masjid.

18.30, aku kembali berdiri di halte depan kampus. Gelap, hanya ada lampu jalan yang menerangi saat ini. Dalam rasa takut dan kebingungan, aku tetap berharap ada satu saja lagi angkot yang lewat, meski itu adalah suatu kemustahilan. Karena aku adalah mahasiswa baru, aku tak tahu siapa temanku yang tinggal di asrama. Lagipula, memangnya aku punya teman?

Aku kembali menatap layar ponselku, 18.45, tertera pada layar ponselku. Tak ada satu pun pesan masuk yang tertera di sana, padahal biasanya notifikasi dari grup chat kelas tak pernah sepi. Gak bisa, aku gak bisa terus menunggu. Akhirnya, kuputuskan untuk menelepon ibuku. Tak ada jawaban, nomor ponselnya tidak aktif. Bagaimana ini, batinku.

Tiba-tiba, aku melihat angkot mendekat dari arah timur. Aku menghela napas panjang. Akhirnya, bisa pulang juga, pikirku. Angkot berhenti, tepat di depan halte. Dari jendela, kulihat banyak penumpang. Saat masuk ke dalam angkot, hanya tersisa sedikit ruang untuk duduk, tepat di depan pintu keluar dari angkot. Tak apalah, cukup untukku duduk yang memang berbadan mungil ini.

Aku tersenyum pada penumpang-penumpang yang menatapku, saat aku masuk ke dalam angkot, dan duduk di sana. Aneh, tatapan penumpang-penumpang itu kosong. Saat kuperhatikan satu persatu, wajah mereka pucat, dan tak saling bicara satu sama lain.

Sudah dua puluh menit di perjalanan, namun tak ada tanda-tanda jalan raya terlihat. Padahal, seharusnya hanya memerlukan tiga puluh menit saja untuk sampai di rumahku. Jalanan sangat sepi, tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Perjalanan dari rumahku ke kampus, memang melewati desa yang sepanjang jalannya ditumbuhi pohon-pohon tinggi besar. Mahasiswa kampus sering menyebut desa itu dengan sebutan desa berhutan.

Pukul 21.45, angkot masih melintasi desa berhutan. Sudah dua jam lamanya, aku berada di dalam angkot. Tak ada satu pun penumpang yang turun selama dua jam ini. Merasa ada yang aneh, aku buru-buru mengeluarkan ponselku, mencari grup chat kampus, dan mengirimi pesan meminta tolong di grup chat itu, berharap siapa pun yang berada di dekat lokasiku sekarang segera datang menolongku. Tak ada jawaban.

Keringat mulai bercucuran, badan gemetar, dan rasa takut mulai menyelimutiku. Aku tak berani lagi melihat ke arah penumpang lain, hanya memfokuskan pandanganku pada layar ponsel.

Tiba-tiba, perempuan bergaun putih dengan rambut panjang yang duduk di sampingku itu bertanya, "Mau pergi ke mana, Gadis Manis?"

Sontak, aku mengangkat kepalaku, dan menoleh ke arahnya yang duduk di samping kiriku. Aneh, bukannya tadi aku tengah duduk di angkot, pikirku. Aku yang kebingungan, mengedarkan pandanganku ke semua arah. Tak ada seorang pun di sana.

Angkot itu tak ada, bahkan penumpang di dalamnya pun entah ke mana. Aku berdiri sendiri, di tengah jalan desa berhutan. Tak ada seorang pun di sana, kecuali aku yang berkeringat dan gemetar, ketakutan.

Apakah aku bermimpi tadi? Aku menepuk-nepuk pipiku, berharap kesadaran kembali mengendalikan diriku dan mengalahkan rasa takut ini. Ah, tidak penting. Sekarang yang penting bagiku adalah mencari keberadaan manusia lain, selain aku.

Aku ingat, beberapa ratus meter dari tempatku berdiri sekarang, ada warung kopi. Segera, aku berlari sekuat tenaga, secepat yang kubisa. Lega rasanya, saat tahu warung kopi itu masih buka.

"Permisi, numpang duduk di sini sebentar, boleh?" tanyaku, sedikit berteriak. Tak ada jawaban. Mungkin pemiliknya ketiduran di dalam warung, pikirku.

Aku duduk di kursi panjang di depan warung kopi itu, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Hei, sejak kapan ponsel itu ada di dalam tas, bukankah tadi saat aku tiba-tiba sudah tak di dalam angkot, ponsel itu ada di tanganku. Baiklah, berhenti memikirkan hal yang tidak penting itu sekarang.

Aku kembali fokus pada ponselku yang sampai saat ini tak ada satu pun notifikasi yang tertera di layarnya. Sedikit putus asa, aku menelepon beberapa nomor yang berada satu grup chat denganku, grup chat kampus. Tak tahu siapa, aku tetap menghubunginya.

"Halo, ini siapa?" tanya suara di ujung telepon, yang akhirnya ada juga yang aktif dan mengangkat teleponku, setelah lebih dari dua puluh orang yang kutelepon dan tak aktif nomornya.

"Halo, Kak, aku Amelia, mahasiswi program studi pendidikan matematika, semester satu," ujarku, buru-buru.

"Kenapa? Ada perlu apa?" tanyanya lagi.

"Tolong, tolong aku," ujarku, menahan isak.

"Tolong apa?"

"Tolong datang ke lokasi yang aku share, aku tersesat, dan sendirian. Tak ada kendaraan di sini," jelasku, ketakutan.

"Aku tidak main-main, Kak. Tolong!"

Tiba-tiba, telepon terputus. Ponselku kehabisan baterai, padahal telepon tadi adalah satu-satunya harapanku sekarang. Di tengah keputusasaan, seorang perempuan cantik dengan gaun merah dan rambut yang dibiarkan terurai, menghampiri, dan duduk di sebelahku.

Buru-buru, aku menghapus air mataku, dan tersenyum padanya. Ada perasaan sedikit tenang, karena seseorang duduk bersamaku sekarang. Kulitnya putih, rambutnya panjang bergelombang, serta gaun merah yang menyentuh tanah.

Perempuan itu menoleh ke arahku yang masih tersenyum padanya. Ia pun bertanya, "Kamu bisa lihat saya?"

Deg!

Tidak, aku tak bisa lihat, batinku. Duh, semoga perempuan ini segera pergi dari sampingku, batinku lagi. Ingin sekali aku kembali menghindari hal-hal seperti ini, menghindari perempuan itu. Namun, tubuhku merasa sangat lemas, hingga sepertinya tenaga yang tersisa hanya bisa kugunakan untuk duduk dan melawan rasa takutku.

"Kamu bisa lihat saya?" tanya perempuan itu, sekali lagi.

Tak kuhiraukan pertanyaannya, aku bangkit, dan berjalan menjauh darinya dengan sisa tenaga yang kupunya. Karena merasa sudah agak jauh dari perempuan tadi, akhirnya aku memberanikan diri menoleh ke belakang, ke tempat di mana perempuan itu duduk.

Tidak ada. Benar saja, perempuan itu bukan manusia, pikirku. Aku kembali membalikkan badanku, berniat melanjutkan perjalanan dengan sisa tenaga yang kupunya ini. Hal tak terduga terjadi, saat aku membalikkan badan, tiba-tiba perempuan yang duduk di kursi, wajahnya sudah berada lima sentimeter di depan wajahku.

Seraya menyeringai, perempuan itu berkata, "Jangan pura-pura tak bisa melihatku!"

Kemudian, perempuan itu menyeringai lebih lebar, dan tambah lebar lagi, hingga ujung-ujung bibirnya menyentuh telinganya. Perempuan itu tertawa, cekikikan. Darah mengucur dari dahinya, yang entah sejak kapan sudah terbelah. Satu tangannya menggenggam tangan lainnya yang putus. Gaun merah yang sebelumnya aku lihat tampak menawan, ternyata bukan berwarna merah, tapi gaun putih yang berubah merah oleh darah yang bercucuran.

Perempuan itu kembali tertawa, cekikikan. Kali ini tawanya lebih keras. Namun, sesaat kemudian tawa kerasnya berubah menjadi tangisan kencang, yang terasa menyayat hati. Dalam tangisnya, perempuan itu berkata dengan nada yang terdengar marah, "Tolong aku!"

"Aaaaa!!!" teriakku sekeras yang kubisa.

"Jangan ganggu aku!" teriakku lagi, tak mampu menahan air mata saking takutnya.

"Pergi!" Aku masih berteriak, dan menangis sejadi-jadi.

Tiba-tiba, terasa ada sesuatu yang menggenggam kedua lenganku, dan menggoncang-goncangkan tubuhku.

"Hei!"

"Sadar!"

"Kamu kenapa?"

Suara yang sebelumnya pernah kudengar, akhirnya mampu membuatku berani membuka mata. Saat itu, aku melihat kakak tingkatku yang sedang memegang kedua lenganku, dengan raut khawatir. Aku tak tahu nama kakak tingkatku ini, namun beberapa kali aku melihatnya saat ospek.

"Kamu kenapa di pinggir jalan, sendirian pula?" tanyanya, dengan nada khawatir, dan bingung.

"Sudah malam, kenapa belum pulang?" tanyanya lagi.

"Kamu manusia, kan?" tanyaku yang masih terisak, memastikan. Yang ditanya justru malah tertawa terbahak-bahak.

"Bukannya kamu yang share lokasi ke aku, ya?" tanyanya.

Ah, akhirnya telepon terakhir sebelum ponselku mati, membawa harapan baik. Aku segera mengangguk, menghapus air mataku, dan memeluk kakak tingkatku itu. Pertolongan telah datang, batinku.

"Kamu Amelia, kan?" tanyanya, setelah aku melepaskan pelukan itu. Aku pun mengangguk, tanda mengiyakan.

"Aku sebetulnya ingin menyapamu sejak pertama kali kamu tersenyum padaku, saat ospek hari pertama, di kantin," ujarnya, menjelaskan. Aku tersenyum padanya, dan ia pun balas tersenyum.

"Aku Ilyas, anak program studi kimia semester lima," ujarnya, membantuku berdiri.

Begitulah perkenalanku dengan Kak Ilyas, kakak tingkatku ini yang akhirnya mengantarku pulang dengan motor vespanya, tengah malam. 00.25, aku sampai di depan gerbang rumahku. Aku menawarkan, agar Kak Ilyas mampir sebentar ke rumahku. Namun, ia menolak, karena katanya gak enak oleh orang tuaku, bertamu malam-malam.

"Terima kasih, Kak Ilyas. Kalau Kakak gak datang, aku gak tahu bagaimana nasibku malam ini," ujarku.

"Dengar, ya, Melia, kamu bisa lihat hal yang gak bisa dilihat oleh orang lain adalah suatu anugerah dari Tuhan. Yang kamu harus lakukan adalah jangan sampai rasa takut menguasai dirimu seperti malam ini. Jangan biarkan itu terjadi lagi." Kak Ilyas menasihatiku, lembut. Aku mengangguk dan tersenyum padanya.

"Sudah, sekarang kamu masuk ke rumah, istirahat. Kan, besok kamu harus kuliah," ujar Ilyas, mengusap kepalaku.

"Kak Ilyas, pulangnya hati-hati, ya! Besok kita ketemu di kampus," ujarku.

"Semoga," ujarnya, lalu berpamitan, dan melaju menjauh dariku.

Besoknya, aku bangun agak terlambat. Pukul 07.00, aku baru sampai di kampus. Aneh, biasanya gerbang kampus ditutup pada pukul 07.00. Hari ini, gerbang justru dibuka lebar. Bendera kuning terpasang di depan gerbang. Ada apa ini, batinku.

"Mel!" Rania tiba-tiba merangkulku.

"Ran, ada apa?" tanyaku, penasaran.

"Mel, kamu gak buka grup chat kampus?" tanya Rania, aku menggeleng.

"Ponselku mati semalam," balasku.

"Berita ini heboh banget di grup chat kampus," ujar Rania, membuatku semakin penasaran.

"Apa?" desakku.

"Itu loh, Mel, ketua BEM kita, Kak Ilyas, ditemukan sudah meninggal karena kecelakaan di jalan desa berhutan, jam sebelas malam. Kata temannya, dia hendak menjemput pacarnya yang tersesat di jalan," jelas Rania, membuatku terdiam.

Apa? Kak Ilyas meninggal, dan ditemukan pukul 23.00? Bukankah kita baru saja berkenalan semalam, dan Kak Ilyas mengantarku pulang. Kami tiba di rumahku pada pukul 00.25, satu jam lewat dua puluh lima menit setelah Kak Ilyas ditemukan. Tidak, Rania pasti bohong, pikirku.

"Melia!"

"Amelia!"

Aku menoleh, dan kudapati Kak Ilyas yang memanggilku dari depan pos satpam. Aku menghampirinya dengan derai air mata yang entah sejak kapan membasahi pipiku. Tak lagi kuhiraukan keberadaan Rania yang samar berteriak, memanggil namaku.

"Kak-" suaraku tercekat, air mata semakin deras saja saat kulihat Kak Ilyas yang berdiri dengan lumuran darah.

"Melia, kamu tak takut padaku?" Kak Ilyas tersenyum, justru membuat tangisku semakin pecah.

"Melia, aku lega, meskipun kita sudah berbeda, tapi aku bisa mengenalmu tadi malam,"

 ujarnya.

"Jangan menangis, dan jangan takut lagi, ya, Amelia," ujarnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun