"Aku sebetulnya ingin menyapamu sejak pertama kali kamu tersenyum padaku, saat ospek hari pertama, di kantin," ujarnya, menjelaskan. Aku tersenyum padanya, dan ia pun balas tersenyum.
"Aku Ilyas, anak program studi kimia semester lima," ujarnya, membantuku berdiri.
Begitulah perkenalanku dengan Kak Ilyas, kakak tingkatku ini yang akhirnya mengantarku pulang dengan motor vespanya, tengah malam. 00.25, aku sampai di depan gerbang rumahku. Aku menawarkan, agar Kak Ilyas mampir sebentar ke rumahku. Namun, ia menolak, karena katanya gak enak oleh orang tuaku, bertamu malam-malam.
"Terima kasih, Kak Ilyas. Kalau Kakak gak datang, aku gak tahu bagaimana nasibku malam ini," ujarku.
"Dengar, ya, Melia, kamu bisa lihat hal yang gak bisa dilihat oleh orang lain adalah suatu anugerah dari Tuhan. Yang kamu harus lakukan adalah jangan sampai rasa takut menguasai dirimu seperti malam ini. Jangan biarkan itu terjadi lagi." Kak Ilyas menasihatiku, lembut. Aku mengangguk dan tersenyum padanya.
"Sudah, sekarang kamu masuk ke rumah, istirahat. Kan, besok kamu harus kuliah," ujar Ilyas, mengusap kepalaku.
"Kak Ilyas, pulangnya hati-hati, ya! Besok kita ketemu di kampus," ujarku.
"Semoga," ujarnya, lalu berpamitan, dan melaju menjauh dariku.
Besoknya, aku bangun agak terlambat. Pukul 07.00, aku baru sampai di kampus. Aneh, biasanya gerbang kampus ditutup pada pukul 07.00. Hari ini, gerbang justru dibuka lebar. Bendera kuning terpasang di depan gerbang. Ada apa ini, batinku.
"Mel!" Rania tiba-tiba merangkulku.
"Ran, ada apa?" tanyaku, penasaran.