Deg!
Tidak, aku tak bisa lihat, batinku. Duh, semoga perempuan ini segera pergi dari sampingku, batinku lagi. Ingin sekali aku kembali menghindari hal-hal seperti ini, menghindari perempuan itu. Namun, tubuhku merasa sangat lemas, hingga sepertinya tenaga yang tersisa hanya bisa kugunakan untuk duduk dan melawan rasa takutku.
"Kamu bisa lihat saya?" tanya perempuan itu, sekali lagi.
Tak kuhiraukan pertanyaannya, aku bangkit, dan berjalan menjauh darinya dengan sisa tenaga yang kupunya. Karena merasa sudah agak jauh dari perempuan tadi, akhirnya aku memberanikan diri menoleh ke belakang, ke tempat di mana perempuan itu duduk.
Tidak ada. Benar saja, perempuan itu bukan manusia, pikirku. Aku kembali membalikkan badanku, berniat melanjutkan perjalanan dengan sisa tenaga yang kupunya ini. Hal tak terduga terjadi, saat aku membalikkan badan, tiba-tiba perempuan yang duduk di kursi, wajahnya sudah berada lima sentimeter di depan wajahku.
Seraya menyeringai, perempuan itu berkata, "Jangan pura-pura tak bisa melihatku!"
Kemudian, perempuan itu menyeringai lebih lebar, dan tambah lebar lagi, hingga ujung-ujung bibirnya menyentuh telinganya. Perempuan itu tertawa, cekikikan. Darah mengucur dari dahinya, yang entah sejak kapan sudah terbelah. Satu tangannya menggenggam tangan lainnya yang putus. Gaun merah yang sebelumnya aku lihat tampak menawan, ternyata bukan berwarna merah, tapi gaun putih yang berubah merah oleh darah yang bercucuran.
Perempuan itu kembali tertawa, cekikikan. Kali ini tawanya lebih keras. Namun, sesaat kemudian tawa kerasnya berubah menjadi tangisan kencang, yang terasa menyayat hati. Dalam tangisnya, perempuan itu berkata dengan nada yang terdengar marah, "Tolong aku!"
"Aaaaa!!!" teriakku sekeras yang kubisa.
"Jangan ganggu aku!" teriakku lagi, tak mampu menahan air mata saking takutnya.
"Pergi!" Aku masih berteriak, dan menangis sejadi-jadi.