Mohon tunggu...
Almaidah
Almaidah Mohon Tunggu... Lainnya - -

Manusiatepisungai adalah nama penanya. Untuk sekarang ini karya-karyanya masih dinikmati sendiri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita Di Ujung Senja

10 Januari 2025   11:33 Diperbarui: 10 Januari 2025   11:32 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Banyak orang menyukai senja. Guratan merah jingga yang muncul pada waktu sore hari itu memesona banyak pasang mata manusia. Akan tetapi, tidak bagiku. Senja adalah waktu yang ingin ku lewati secepat mungkin. Bukan bermaksud mencaci ciptaan Tuhan, hanya saja aku benci ketika waktu ini terjadi. Maaf, Tuhan. 

Oh ya, namaku juga senja. Ironi, bukan? 

Di langkah kakiku yang ke seratus, aku merasa De javu ketika melihat seorang wanita berdiri  melewati pembatas jembatan. Gaun putih selutut serta rambut lurus panjang yang tergerai diiringi kicau burung cabak. Kalau saja lutut putih pucat nya tidak terlihat gemetar mungkin saja dia akan dikira kuntilanak. 

Sandekala dalam pengertian umum adalah senja, atau sesaat sebelum tenggelamnya matahari atau sesaat sebelum maghrib. Dalam khazanah Islam, maghrib adalah waktu tenggelamnya matahari. 

Ada pula kepercayaan bahwa pada sandekala adalah waktu keluarnya setan dan jin. Anak-anak dilarang keluar rumah dan rumah-rumah ditutup karena berbahaya. Aku teringat  sebuah buku ilmiah keagamaan karya Prof. DR. Ir. H. Osly Rachman, MS berjudul 'The Science Of Shalat'. Buku tersebut menjelaskan bahwa menjelang Maghrib, alam akan berubah menjadi spektrum cahaya berwarna merah.

Cahaya merupakan gelombang elektromagnetis (EM) yang memiliki spektrum warna yang berbeda satu sama lain. Setiap warna dalam spektrum mempunyai energi, frekuensi dan panjang gelombang yang berbeda.

Dalam buku itu dijelaskan bahwa ketika waktu Maghrib tiba, terjadi perubahan spektrum warna alam yang selaras dengan frekuensi jin dan iblis, yakni spektrum warna merah. Pada waktu ini, jin dan iblis amat bertenaga karena memiliki resonansi bersamaan dengan warna alam.

Pada waktu Maghrib, banyak intervensi atau tumpang tindihnya dua atau lebih gelombang yang berfrekuensi sama sehingga penglihatan terkadang kurang tajam hingga muncul fatamorgana.

Dalam Islam, pada waktu magrib dijelaskan bahwa setan bersamaan dengan datangnya kegelapan mulai menyebar mencari tempat tinggal, karena mereka tersebar dengan pemandangan luar biasa biasa dan jumlah yang tidak ada yang tahu selain Allah.

Sebagian setan takut dari kejahatan setan yang lain, sehingga setan harus memiliki sesuatu yang dijadikannya sebagai tempat berlindung dan mencari tempat aman.

Maka ia bergerak dengan cepat melebihi kecepatan manusia dengan kecepatan berlipat lipat, beberapa dari mereka berlindung dalam wadah kosong, berlindung ke rumah kosong, dan beberapa dari mereka berlindung kepada sekelompok manusia yang berada di luar ketika waktu senja. 

Mereka tentu tidak merasakannya, namun, ada sebagian dari manusia yang menyadari kehadiran mereka, para makhluk laknat itu menyatu supaya menjadi aman dari penindasan saudara sesama setan yang juga berkeliaran seperti angin di bumi. 

Awalnya aku ingin mengabaikan keberadaan wanita tadi, tetapi suara tawa mengejek dari para anasir ghaib yang berbaris di sepanjang jembatan ini membuat egoku terpancing. Aku kalah. Melihatku memutar langkah menuju wanita tadi, tatapan mereka menajam. Beberapa dari mereka mulai berubah wujud mengelilingi tubuh wanita tersebut. Sementara lainnya menghampiriku. 

Mereka tahu tentangku. Dan mereka tidak ingin melihatku menang lagi atas mereka. Wanita itu adalah manusia ke sekian ratus yang ku temui di jembatan ini dengan posisi yang persis sama seperti yang dilakukan Ibu sebelas tahun silam. 

Aku menghampiri wanita tersebut dengan suara langkah yang sengaja ku tekan agar dia mengetahui keberadaan ku. Berhasil. Wanita itu menengok. Buku-buku jemarinya terlihat memutih karena menggenggam besi teralis sangat erat.

"Butuh dorongan, Tan?"

Wanita itu menengok cepat, raut wajahnya agak kesal, "Sial. Aku tidak setua itu, ya. " Katanya sambil mendecak. 

Aku terkekeh. Rupanya dia masih memiliki energi.

"Butuh dorongan atau, " Aku mengeluarkan satu kotak mochi dari dalam tas. "Mau makan ini saja sambil ngobrol? "

"Kamu pikir aku mau berubah pikiran hanya karena sepotong mochi, hah? "

Sekali lagi aku terkekeh. Ku dongak kan kepala, memandang langit senja yang mulai didominasi gelap. Ah,  sandya kala memang waktu paling ampuh untuk meracuni jiwa manusia.

"Kalau begitu, mau ku dorong saj-"

"Jangan! " Teriaknya sambil memutar tubuh. 

 Aku menghela napas pelan, "Jadi? " 

Wanita itu menunduk, telunjuk kanannya Mengetuk-ngetuk teralis cepat. Dia cemas.

"Saya takut,"

"Takut apa?"

"Hari esok."

Secara tidak sengaja aku terkekeh, jawaban singkatnya membuatku tergelitik. Sebagai seorang yang pernah mengalami hal yang sama, aku tahu bagaimana rasanya takut menghadapi hari esok. Takut akan masalah yang mungkin terjadi dan aku yang mungkin tidak bisa menyelesaikannya. Bahkan aku terkadang merasa takut untuk bertemu orang lain.

"Mau dengar ceritaku?"

Perempuan itu mengusap wajah ayunya kemudian menghela napas panjang. Dia terlihat berpikir sebentar dan akhirnya mengangguk dan berbalik melewati pagar. Sekarang kami duduk berdampingan di pinggiran trotoar.

Angin sore bergerak semakin kencang dan dingin. Gerombolan anasir ghaib itu pun mulai berdesakan di beberapa titik. Mereka yang nakal berdiri mengelilingi kami. Beberapa berdiri cukup dekat dengan perempuan itu. Bisikan mereka membuatnya beberapa kali mengusap telinga dan tengkuknya.

"Sebelas tahun lalu Ibuku berdiri disini dengan posisi yang sama dengan Anda. Sementara aku dipaksa untuk mengikuti pilihan egoisnya. Bisa tebak kenapa akhirnya aku selamat dari insiden itu?"

Maaf, karena aku harus kembali menjual cerita tentangmu, Bu.

"Ibumu mengurungkan niatnya,"

Aku menggeleng, "Aku yang mendorongnya."

"Kamu bercanda, kan?"

"Tidak."

"Kenapa begitu?" tanyanya dengan dahi mengerut yang kentara. Dia juga terlihat takut dengan keberadaan ku.

"Seseorang tiba-tiba berbisik dan menawarkan dua pilihan padaku ; menyelamatkan diri dengan menjadi petugas pembatalan bunuh diri atau terjun bebas bersama Ibu tanpa beban."

"Siapa orang itu? Tega sekali dia."

"Entahlah. Mungkin dia hanya seseorang yang tidak benar-benar ada."

Untuk beberapa menit kami terhanyut dalam keheningan. Suara hewan senja terdengar nyaring di kejauhan. Makhluk-makhluk itu pun mulai bosan dan berlari pergi sebelum pintu bercahaya itu tertutup.

"Anda percaya?"

"Entahlah."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun