Mereka tentu tidak merasakannya, namun, ada sebagian dari manusia yang menyadari kehadiran mereka, para makhluk laknat itu menyatu supaya menjadi aman dari penindasan saudara sesama setan yang juga berkeliaran seperti angin di bumi.Â
Awalnya aku ingin mengabaikan keberadaan wanita tadi, tetapi suara tawa mengejek dari para anasir ghaib yang berbaris di sepanjang jembatan ini membuat egoku terpancing. Aku kalah. Melihatku memutar langkah menuju wanita tadi, tatapan mereka menajam. Beberapa dari mereka mulai berubah wujud mengelilingi tubuh wanita tersebut. Sementara lainnya menghampiriku.Â
Mereka tahu tentangku. Dan mereka tidak ingin melihatku menang lagi atas mereka. Wanita itu adalah manusia ke sekian ratus yang ku temui di jembatan ini dengan posisi yang persis sama seperti yang dilakukan Ibu sebelas tahun silam.Â
Aku menghampiri wanita tersebut dengan suara langkah yang sengaja ku tekan agar dia mengetahui keberadaan ku. Berhasil. Wanita itu menengok. Buku-buku jemarinya terlihat memutih karena menggenggam besi teralis sangat erat.
"Butuh dorongan, Tan?"
Wanita itu menengok cepat, raut wajahnya agak kesal, "Sial. Aku tidak setua itu, ya. " Katanya sambil mendecak.Â
Aku terkekeh. Rupanya dia masih memiliki energi.
"Butuh dorongan atau, " Aku mengeluarkan satu kotak mochi dari dalam tas. "Mau makan ini saja sambil ngobrol? "
"Kamu pikir aku mau berubah pikiran hanya karena sepotong mochi, hah? "
Sekali lagi aku terkekeh. Ku dongak kan kepala, memandang langit senja yang mulai didominasi gelap. Ah, sandya kala memang waktu paling ampuh untuk meracuni jiwa manusia.
"Kalau begitu, mau ku dorong saj-"