Field Studi adalah kegiatan kunjungan mahasiswa yang dilakukan dengan tujuan untuk menambah pengetahuan sejarah bagi mahasiswa. Setelah melakukan kunjungan dari Museum Lubang Buaya, Sasmitaloka Achmad yani, dan Rumah A.H. Nasution, setiap mahasiswa diwajibkan untuk membuat laporan kegiatan sebagai bentuk pemenuhan mata kuliah Pendidikan Keachmadyanian. Pentingnya peranan sejarah bagi pengetahuan sesorang menuntut setiap pribadi untuk mau tidak mau harus mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau, khususnya peristiwa yang terjadi pada bangsa Indonesia.Â
Setelah Indonesia dinyatakan merdeka pada 17 Agustus 1945, bukan berarti Indonesia sudah terbebas dari ancaman dan masalah yang mengancam keamanan Negara. Ancaman dan masalah tersebut berasal dari masyarakat yang fanatik terhadap Negara. Terdapat oknum-oknum atau organisasi masyarakat yang menginginkan ideologi Negara Indonesia (Pancasila) diganti dengan ideologi komunis yang tentunya sangat bertolak belakang dengan ideologi bangsa. Dari perbedaan ideologi itulah yang membuat oknum dari organisasi komunis tersebut memberontak dan menyebabkan kekacauan.Â
Gerakan 30 September 1965, merupakan salah satu pemberontakan yang berusaha untuk mengambil alih kekuasaan Indonesia dan hampir mengelabui masyarkat untuk barpaling dari ideologi pancasila. Pemberontakan ini bukanlah kali pertama bagi PKI. Sebelumnya, pada tahun 1948 PKI sudah pernah mengadakan pemberontakan di Madiun. Pemberontakan tersebut dipelopori oleh Amir Syarifuddin dan Muso.Â
Tujuan dari pemberontakan itu adalah untuk menghancurkan Negara Indonesia dan menggantinya menjadi negara komunis. Beruntunglah pada saat itu Muso dan Amir Syarifuddin berhasil ditangkap dan kemudian ditembak mati sehingga pergerakan PKI dapat dikendalikan. Namun, melalui demokrasi terpimpin Partai Komunis Indonesia kembali muncul. Diperkuat lagi dengan adanya ajaran dari presiden Soekarno tentang Nasakom (Nasional, Agama, Komunis) yang sangat menguntungkan bagi PKI karena mereka menempatkannya diri sebagai bagian yang sah dalam konstelasi politik Indonesia.Â
Bahkan, Presiden Soekarno mengangap aliansinya dengan PKI menguntungkan sehingga PKI ditempatkan pada barisan terdepan dalam demokrasi terpimpin. Â Keanehan politik Indonesia di bawah Demokrasi Terpimpin dari 1959-1965 adalah Presiden Soekarno berperan sebagai perisai bagi mereka yang antikomunis dan sekaligus bagi mereka yang komunis. PKI bisa berkembang selama periode ini berkat perlindungan Soekarno.Â
Ketika AD membekukan cabang-cabang Partai tersebut dibeberapa daerah pada tahun 1960 dan menggelisahkan pimpinanya di Jakarta, Soekarno turun tangan. Soekarno membutuhkan PKI sebagai basis massa untuk mempopulerkan agendanya, khususnya perjuangannya melawan apa yang dinamakan Oldefo dan Nekolim. Kebijakan Soekarno dan PKI sejalan, ia membutuhkan PKI sebagai kekuatan tawar dalam urusannya dengan AD. Partai Komunis Indonesia merupakan jaminan baginya terhadap AD yang tidak akan bisa dengan gampang mendongkelnya.Â
Pimpinan tertinggi AD, meskipun frustrasi oleh sikap Presiden Soekarno yang condong ke PKI pada 1965 menyadari ia terlalu populer untuk digulingkan melalui kudeta secara langsung. Â Para perwira yang berpengalaman, seperti Jend. A.H Nasution bersikeras agar AD menunggu waktu. Jika hanya mendongkel Soekarno, maka itu tugas sederhana saja. Tetapi menegakkan kekuasaan AD yang tahan waktu merupakan masalah yang lebih sulit.Â
Pimpinan tertinggi AD tidak akan memenangkan satu pertempuran mudah hanya untuk menderita kekalahan dalam seluruh perang. Di bawah pimpinan Letjen Achmad Yani selama 1965, AD menentang tuntutan PKI untuk mempersenjatai "angkatan kelima" dan memasukan komisaris-komisaris politik kedalam angkatan bersenjata. Dalam rangka peningkatan pelaksanaan strategi dan taktiknya, PKI menuntut agar buruh dan tani (angkatan kelima) dipersenjatai dengan dalih mendukung konfrontasi dengan Malaysia. Gagasan ini ditolak oleh Jenderal Achmad Yani, karena dengan adanya angkatan kelima akan menimbulkan kekacauan didalam komando dan pengawasan. Angkatan Kelima adalah unsur pertahanan keamanan Republik Indonesia yang diduga merupakan gagasan dari Partai Komunis Indonesia (PKI).Â
Angkatan Kelima ini diambil dari kalangan buruh dan petani yang dipersenjatai. Namun disatu sisi menyebutkan bahwa Angkatan Kelima sebenarnya merupakan ide dari Presiden Soekarno untuk menambah angkatan bersenjata di Indonesia karena menerima bantuan dari luar negri. Menjelang terjadinya peristiwa G.30.S/PKI, tersiar kabar bahwa kesehatan Presiden Soekarno menurun dan kemungkinan akan lumpuh bahkan meninggal. Mengetahui hal tersebut Dipa Nusantara Aidit langsung memulai gerakan.Â
Rencana gerakan diserahkan kepada Kamaruzaman alias Syam yang diangkat sebagai ketua Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI) dan disetujui oleh Dipa Nusantara Aidit. Biro khusus ini menghubungi kadernya dikalangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), seperti Brigadil Jenderal Supardjo, Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dari Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Marsekal Madya Omar Dani dari Angkatan Udara (AU) dan Kolonel Anwar dari Kepolisian.Â
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Kolonel Untung sebagai pemimpin dari Gerakan G.30.S/PKI tahun 1965, memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965 untuk melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap 6 perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat dibunuh dan diculik dari kediaman masing-masing. Pada tanggal 1Oktober 1965 dini hari, PKI berhasil menculik dan membunuh para perwira yang dianggap sebagai penghalang dari cita-citanya.Â