Mohon tunggu...
Manjaro Pai
Manjaro Pai Mohon Tunggu... Freelancer - Ayahnya Manjaro

Every day for us something new Open mind for a different view And nothing else matters (Metalica)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Antara Aku, Penumpang, dan Corona

26 Maret 2020   22:21 Diperbarui: 26 Maret 2020   22:31 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara itu curah hujan semakin deras. Sambil bersandar dan menghisap rokok, kubuka lebar-lebar lima jari tangan kananku dan menatap jari-jari tanganku dengan penuh penyesalan.

Ya Allah, apa yang saya pegang tadi? Pemilik korek tadi tampaknya sedang sakit, gerutuku dalam hati.

Saat itu kalau bisa, ingin rasanya kupotong tanganku ini. Aku kibas-kibaskan jemari tanganku sambil berteriak dalam hati, pergi...pergi...kamu!.

Tak terasa air mataku mulai menetes mengalir ke hujung hidung yang membuat rasa geli di sekitar itu. Sialnya lagi, secara refleks kubasuh air mata di hidungku itu dengan jemari tangan kananku.

Waduuuh! Celaka! Gumanku dalam hati. Kenapa aku pegang hidung dengan tangan kanan ini? Lanjut pikiranku. Aku yang semula berdiri sambil bersandar di dinding, langsung terduduk lesu sambil menyesali diri. Satu sisi aku kangen ingin pulang, tapi  di sisi lain juga takut mengotori isi rumahku dan membahayakan jiwa orang-orang yang kusayangi.

Saat aku terduduk lesu dengan pandangan kosong lurus ke depan, samar-samar terlihat beberapa batu nisan yang berada persis di belakang gapura. Ternyata saat itu aku sedang ya berada di seberang sirnaraga, yaitu sebuah pemakaman paling besar di Kota Bandung.

Apa lebih baik aku mati di sini sekarang daripada menjadi carrier virus dan meracuni keluarga kecilku di rumah, pikirku putus asa.

Sontak lamunanku diganggu oleh bunyi telepon. Ternyata ada WA dari no istriku. Sesaat aku tidak terpikir untuk membukanya, takut membuat batinku semakin pedih. Pasti dia mengeluarkan kata-kata manja karena kangen dan berharap aku segera pulang. 

Hal itu sudah menjadi kebiasaannya setiap jam 8 malam, dia mengeluarkan jurus manja agar aku bisa pulang. Anehnya, dering telepon itu terus beberapa kali menyala, menandakan dia mengirim WA lebih dari satu kali. Notifikasi terakhir yang muncul adalah, "Maafkan ya sayang.”

Hah, permohonan maaf? Karena apa? Kenapa? Ada apa? Pikirku lagi. Notifikasi terakhir ini membuatku penasaran untuk membukanya. Setelah kubuka dan membaca semua pesan chat-nya dari awal, ternyata dia menjelaskan prosedur masuk rumah yang diawali dengan kalimat maaf juga.
Maaf sayang., Ayah kan dari luar. Kita tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Nah, untuk antisipasi dan menjaga kesehatan kita semua, tolong ayah ikuti langkah langkah ini:

1. Bila sudah dekat rumah, WA dan kasih kabar.
2. Pintu rumah akan siap dibukakan, tidak perlu buka dan pegang pintu.
3. Diluar ada handuk dan tempat baju kotor. Pakai handuk tadi dan langsung simpan pakaian kotor di keranjang tadi.
4. Air panas sudah disiapkan. Ayah langsung masuk saja, jangan lupa saat masuk pakai sandal yang sudah disiapkan. Segera mandi pakai sabun antiseptik yang sudah disiapkan juga.
5. Mamah dan anak-anak sayang ayah dan ayah sayang kami semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun