Antara Aku, Penumpang dan Corona
Oleh: Manjaro Pai (D.S. Samdani)
Setiap hari aku selalu berada dijalan. Entah sudah berapa ribu kilo meter jalan yang kutempuh. Aku hampir hapal seluruh lika-liku jalan di Kota Bandung. Sepertinya dalam benakku sudah terpatri peta jalan di kota ini. Maklum, pekerjaanku sehari-hari adalah pengemudi ojeg online.
Terus terang aku sudah tidak ingat berapa banyak penumpang yang pernah kubawa selama ini. Bagiku semuanya sama saja. Mereka adalah pelanggan yang harus kulayani dengan baik. Namun, dari semua penumpang yang pernah kubawa, tampaknya penumpang kemarin menjadi catatan tersendiri buatku.
Bukan karena penumpang tersebut memberiku tips yang berlebih, tapi karena ada sesuatu hal yang membuatku takkan bisa melupakannya.
Di tengah maraknya wabah virus corona, aku tetap melakukan aktifitas rutinku. Bagaimana tidak? Hanya itu satu-satunya mata pencaharianku.
Jika aku tidak jalan maka putus sudah rezekiku. Sampai hari kemarin, aku tetap berkeliling mencari orderan. Dengan gagah aku mengatakan kalau aku tidak takut, aku kuat, aku sehat, dan virus tidak akan mempan kepadaku.
Bukankah semua ajal sudah dicatatkan oleh Allah? Begitulah koarku kepada kawan-kawan sesama pengemudi ojeg online (ojol). Semua kawan memuji dan menjadikanku sebagai sumber inspirasi.
Seperti pagi sebelumnya aku selalu memulai dengan penumpang di sekitar rumah. Kemana pun tujuan mereka, pasti akan aku antar. Kemudian aku akan menunggu orderan penumpang selanjutnya. Beruntungnya pagi itu aku dapat penumpang ke Cihanjuang.
Setibanya di Cihanjuang, aku langsung mendapat penumpang menuju UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di seputaran Jalan Setiabudi. Tidak perlu menunggu lama, aku pun mendapatkan penumpang selanjutnya. Mungkin karena sebagian pengemudi ojol yang sudah tidak narik sehingga aku jadi mudah mendapatkan penumpang.
Sesuai harapanku, penumpang kali ini seorang winta. Dia minta diantar menuju Stasiun Bandung. Seperti biasa aku mencoba membuka dialog dengan pertanyaan standar.
“Mau ke luar kota Teh?” tanyaku basa-basi, padahal jelas dia menuju ke Stasiun Bandung, pasti mau ke luar kota.
“Iya kang. Mau pulang, tapi Masih bingung dan ragu,” jawabnya lirih.
Aku enggak peduli lirih suaranya, tapi rasanya kalau dicerna dari jawabannya, sepertinya perjalanan ini tidak akan membosankan. Soalnya dia membuka peluang baru untuk percakapan dan aku sambung dengan pertanyaan lain yang sepertinya dia harapkan.
“Kenapa ragu Teh?”
Sepertinya dia pun sudah menunggu pertanyaan itu dan sudah siap menjawabnya,“Saya libur dua minggu dan ingin pulang ke Jakarta, tapi di sana virus Corona sudah merajalela. Banyak jatuh korban dan salah satunya ada juga yang tinggalnya didekat rumah saya. Jadi, saya mau pulang, tapi takut Kang”.
Perjalanan terasa cukup singkat karena jalanan kota Bandung sangat kosong, jauh dari hari biasanya. Posisi sudah berada didekat Rumah Sakit Cicendo saat saya menjawab pertanyaannya. Seperti biasa saya menjawab dengan gagahnya, “Hidup dan mati sudah ada ketentuannya. Tuhan sudah punya rencananya Teh. Gak usah takut. Lanjut saja pulang untuk jumpa keluarga.”
Tepat di depan stasiun, si gadis itu turun sambil mengucapkan terima kasih dan tersenyum. Aku pun merasa senang sudah bisa memberikan motivasi kepada seseorang.
Matahari sudah di atas kepala, sudah semakin susah mencari bayangan gedung atau pohon untuk berteduh. Saat itu aku sengaja mangkal di jalan dijalan Pasir Kaliki, dekat simpang Pasteur. Aku suka mangkal di situ, selain karena ada mall Istana Plaza (IP) dan berbagai kuliner di sekitarnya, juga karena di lokasi itu seakan menjadi tempat transit banyak orang dari arah tol menuju Selatan dan Timur Bandung, serta dari Selatan menuju Bandung Utara.
Hari itu sedikit berbeda. Jalanan empat jalur yang biasanya penuh sesak diisi mobil ̶ kebanyakan dengan tujuan wisata, apalagi di Minggu seperti ini, tapi saat itu jalanan kosong melompong. Hanya sesekali saja mobil lewat dan di antaranya mobil ambulan yang terlihat sibuk. Maklum saja sekitar 500 meter di Utara terdapat Rumah Sakit Umum Hasan Sadikin (RSHS).
Sebetulnya lalu-lalang ambulan di lokasi itu sudah biasa. Satu hari bisa 20 sampai 30 ambulan keluar masuk RSHS. Namun, disaat sepi seperti itu suasana menjadi mencekam dan cukup tegang. Beberapa rekan pengemudi ojol ada yang sudah pulang berpamitan. Selain karena sepi penumpang, juga karena rasa takut yang mereka rasakan.
Seperti biasa dengan angkuhnya aku malah menertawakan mereka yang pulang, padahal aku sendiri sudah mulai merasa takut sejak ambulan ketiga lewat. Saat aku mencari tempat teduh, Handphone tiba-tiba menyala pertanda ada orderan masuk. Aku pun segera mengonfirmasimya.
Ada calon penumpang di Pasirkaliki menuju Kopo. Segera saja kuhidupkan motor matik kreditan keluaran 2018 milikku dan berangkat untuk menjemputnya.
Aku mencoba berdialog dengan penumpang dan memancing agar dia mau bercerita dan merasa nyaman. Aku mulai dialog dengan pertanyaan,”Masih kerja Kang? Ngga libur?”
Pria berumur sekitar empat puluhan tahun itu menjawab,"Enggak Mas. Ini saya malah di over ke Bandung, biar bisa kerja di sini dan menginap di kantor Bandung."
Wah, sepertinya perjalanan kali ini juga tidak akan membosankan, pikirku dalam hati. Kami bisa ngobrol sepanjang perjalanan. Lalu aku sambung dialognya untuk memancing dia lebih banyak bercerita tentang dunianya.
"Sedih dong Kang harus keluar kota disaat harusnya berkumpul dengan keluarga. Emang dari mana Mas?" jawabku lagi.
Dia memberi jawaban yang justru menambah rasa takutku yang sudah mulai kurasakan sejak tadi.
Dengan santai pria itu menjawab,“Saya belum berkeluarga kok. Di sana saya kos. Saya baru datang dari Jakarta Mas, jadi seneng aja saya dikirim ke Bandung."
Setahuku DKI Jakarta sudah termasuk red zone untuk pandemi virus corona. Mudah-mudahan penumpang ini tidak terpapar virus yang mematikan tersebut, pikirku tegang.
Oh, bukan yang itu yang bikin aku sangat ketakutan, tetapi penjelasan selanjutnya.
Pria yang sesekali batuk sepanjang perjalanan itu mengatakan kalau dia senang dipindahkan sementara oleh kantornya karena memang dia sendiri yang memintanya. Alasannya karena di tempat asalnya sudah ada beberapa warga yang terkena virus corona.
Waduuuuuuh! Guawaaat kalau begini, pikirku dalam hati.
Semula posisi duduk kami saling berdempetan. Setelah mendengarkan ceritanya, cepat-cepat aku menggeser pantatku agak sedikit ke depan. Posisi saat itu baru sampai Stasiun Bandung. Bisa dibayangkan sepanjang perjalanan dari Stasiun Bandung menuju Kopo, aku merasakan ketakutan yang luar biasa, apalagi dia menceritakan bagaimana keadaan dan perasaannya sampai dia minta dipindah ke Bandung.
Aku pernah mengangkut penumpang hantu (kuntilanak), tapi rasa takut yang sekarang aku rasakan berbeda. Sepanjang perjalanan, aku berusaha fokus dengan jalan sembari menjaga jarak dengan penumpangku. Satu sisi aku harus menghargai penumpang, tapi di sisi lain aku juga takut kalau-kalau orang ini sebagai carrier virus.
Rasanya ini perjalanan paling panjang yang pernah aku rasakan dalam hidup ini. Meskipun sebelumnya saya pernah mengangkut penumpang sampai Ciwidey, tapi Pasir Kaliki-kopo ini terasa lebih jauh.
Kecepatan motor pun aku tambah mengingat jalanan kosong. Namun, justru jalanan kosong ini yang membuat suasana tambah mencekam. Aku seperti mengangkut salah satu zombie dalam film “Train to Busan” yang terkenal itu. Bisa saja dia mengigitku kapan saja .
Begitu dia turun, bersyukur dia membayar non tunai menggunakan aplikasi Ovo, jadi aku tidak perlu menerima uang tunai. Aku langsung balik kanan, lalu menyemprotkan anti septik dan farfum helm yang memang biasa kubawa karena satu-satunga barang saya yang disentuhnya adalah helm.
Setelah itu aku lekas kembali ke sekitar IP dan stasiun ke tempat biasa aku mangkal dan mematikan aplikasi penumpangku. Hanya aplikasi food yang dinyalakan. Aku berpikir jangan sampai ada penumpang lain yang menggunakan helmku sebelum aku pulang dan mencucinya.
Sampai tiba saatnya pulang, tepatnya di Jalan Pajajaran, lokasinya persis sebelum pertigaan arah Bandara Husen Sastranegara, aku mencoba memberi kabar gembira kepada istriku melalui chat WhatsApp (WA) anakku. Aku menghubungi anakku dan mengatakan bahwa aku bisa pulang cepat.
Tidak cukup dengan chat WA, aku coba untuk VC (video call) melalui WA. Saat hendak melakukan VC, kulihat foto DP (Diplay Picture) anakku yang sedang tersenyum ceria. Langsung saja semua darahku seperti naik ke atas kepala. Spontan aku rem secara mendadak motorku.
Tidak bisa kubayangkan jika ada sesuatu yang menyangkut di jaket, celana atau helmku dari penumpang tadi siang dan terbawa ke rumah. Lalu tersentuh istri dan anak-anakku yang lucu-lucu. Nauzubillah min dzalik jika mereka sampai terpapar. Terus terang, aku enggak berani pulang.
Aku turun dari motor dan berusaha menenangkan diri dengan menyalakan sebatang rokok. Agak payah korekku menyala karena memang cuaca sedang hujan agak deras sehingga korekku basah. Kebetulan ada seseorang yang lewat di sampingku sambil merokok.
Aku menghampirinya, lalu meminjam koreknya. Tanpa berpikir, aku menyalakan rokok dan mengembalikan korek tadi. Saat aku hendak mengucapkan terima kasih, kutatap wajah orang itu, jelas sekali terlihat wajahnya agak merah di bagian hidung dan sesekali batuk.
Saat orang itu berlalu, aku dengan lemas menyandarkan badan ke dinding pagar salah satu ruko di Jalan Pajajaran yang malam itu sangat sepi.
Sementara itu curah hujan semakin deras. Sambil bersandar dan menghisap rokok, kubuka lebar-lebar lima jari tangan kananku dan menatap jari-jari tanganku dengan penuh penyesalan.
Ya Allah, apa yang saya pegang tadi? Pemilik korek tadi tampaknya sedang sakit, gerutuku dalam hati.
Saat itu kalau bisa, ingin rasanya kupotong tanganku ini. Aku kibas-kibaskan jemari tanganku sambil berteriak dalam hati, pergi...pergi...kamu!.
Tak terasa air mataku mulai menetes mengalir ke hujung hidung yang membuat rasa geli di sekitar itu. Sialnya lagi, secara refleks kubasuh air mata di hidungku itu dengan jemari tangan kananku.
Waduuuh! Celaka! Gumanku dalam hati. Kenapa aku pegang hidung dengan tangan kanan ini? Lanjut pikiranku. Aku yang semula berdiri sambil bersandar di dinding, langsung terduduk lesu sambil menyesali diri. Satu sisi aku kangen ingin pulang, tapi di sisi lain juga takut mengotori isi rumahku dan membahayakan jiwa orang-orang yang kusayangi.
Saat aku terduduk lesu dengan pandangan kosong lurus ke depan, samar-samar terlihat beberapa batu nisan yang berada persis di belakang gapura. Ternyata saat itu aku sedang ya berada di seberang sirnaraga, yaitu sebuah pemakaman paling besar di Kota Bandung.
Apa lebih baik aku mati di sini sekarang daripada menjadi carrier virus dan meracuni keluarga kecilku di rumah, pikirku putus asa.
Sontak lamunanku diganggu oleh bunyi telepon. Ternyata ada WA dari no istriku. Sesaat aku tidak terpikir untuk membukanya, takut membuat batinku semakin pedih. Pasti dia mengeluarkan kata-kata manja karena kangen dan berharap aku segera pulang.
Hal itu sudah menjadi kebiasaannya setiap jam 8 malam, dia mengeluarkan jurus manja agar aku bisa pulang. Anehnya, dering telepon itu terus beberapa kali menyala, menandakan dia mengirim WA lebih dari satu kali. Notifikasi terakhir yang muncul adalah, "Maafkan ya sayang.”
Hah, permohonan maaf? Karena apa? Kenapa? Ada apa? Pikirku lagi. Notifikasi terakhir ini membuatku penasaran untuk membukanya. Setelah kubuka dan membaca semua pesan chat-nya dari awal, ternyata dia menjelaskan prosedur masuk rumah yang diawali dengan kalimat maaf juga.
Maaf sayang., Ayah kan dari luar. Kita tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Nah, untuk antisipasi dan menjaga kesehatan kita semua, tolong ayah ikuti langkah langkah ini:
1. Bila sudah dekat rumah, WA dan kasih kabar.
2. Pintu rumah akan siap dibukakan, tidak perlu buka dan pegang pintu.
3. Diluar ada handuk dan tempat baju kotor. Pakai handuk tadi dan langsung simpan pakaian kotor di keranjang tadi.
4. Air panas sudah disiapkan. Ayah langsung masuk saja, jangan lupa saat masuk pakai sandal yang sudah disiapkan. Segera mandi pakai sabun antiseptik yang sudah disiapkan juga.
5. Mamah dan anak-anak sayang ayah dan ayah sayang kami semua.
Seperti biasa wanita satu ini selalu tahu apa yang ada dalam pikiran saya.
Aku mencoba bangkit dan batinku sedikit merasa lega. Pesan dari istriku membuat keinginan pulangku semakin bertambah kuat. Pasti dia sudah tahu resikonya dan sudah menyiapkan semuanya.
Datang ke rumah sendiri seperti seorang pesakitan emang aneh rasanya. Jika ini dalam keadaan biasa, pasti aku sudah marah dan maki maki istriku.
Dia dan anak anak seperti menghindar dariku dan aku dilarang menyentuh apapun sampai selesai mandi.
Setelah membersihkan diri, aku langsung memeluk anak-anak dan berjanji sama mereka, besok ayah akan libur.
“Besok ayah akan kerja di rumah. Ayah akan ikuti perintah Sosial Distance dari pemerintah,” kataku pada mereka.
***
NB:
Bukan masalah kita berani dan kuat menghadapi virus, tapi jangan sampai kita menjadi carrier yang mengakibatkan orang-orang yang kita cintai terpapar virus akibat kecerobohan kita. Mari kita sukseskan Sosial Distance.
Jika kita tetap diluar rumah dan berkata bahwa ajal ada ditangan tuhan, coba kita balik kan saya dirumah saja dan rejeki ada ditangan tuhan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI