Saya mengangguk. "Tapi, Coach, bagaimana caranya membimbing istri agar semakin shalihah tanpa membuatnya merasa terkekang?"
Coach Hafidin tersenyum lagi. Kemudian menjelaskan bahwa, kunci pertama adalah menjadi suami yang layak dipatuhi. Bagaimana istri mau taat jika suaminya sendiri tidak shalih? Qowwam sejati harus punya ilmu, akhlak, dan kepemimpinan.
"Coba lihat hadits Rasulullah," lanjutnya, "sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan ketika dipandang, patuh ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya."
Ia menatap saya, memastikan saya memahami. Dijelaskan lagi, seorang istri itu akan mengikuti suaminya jika ia merasa aman dan nyaman dalam kepemimpinannya.Â
Kalau suaminya shalih, ia akan lebih mudah menerima arahan. Tapi kalau suaminya sendiri masih banyak lalai, bagaimana ia bisa menuntut istrinya untuk taat?
Saya menghela napas. "Tapi, Coach, bagaimana dengan kebutuhan biologis dalam pernikahan? Bukankah itu juga hal yang penting dalam menjaga keharmonisan?"
Coach Hafidin mengangguk mantap. Dijelaskan lagi, bahkan Allah menyinggungnya dalam ayat yang tadi kita baca. Malam-malam Ramadhan yang awalnya terlarang untuk bercampur dengan istri, kemudian Allah halalkan sebagai bentuk kasih sayang-Nya.
Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan, persoalan saat ini banyak suami yang tidak menyadari bahwa ini adalah hak istri juga, bukan hanya hak suami. Rasulullah SAW sendiri memberikan teladan bagaimana memenuhi kebutuhan istri dengan kelembutan.Â
"Suami bukan sekadar menuntut, tapi juga memahami, membimbing, dan memberikan kepuasan yang seimbang," katanya.Â
Saya mengangguk pelan. "Tapi, Coach, ada juga suami yang merasa bahwa jika ia mampu secara fisik dan finansial, ia berhak menikah lebih dari satu untuk memenuhi kebutuhannya."
Coach Hafidin tersenyum, sereayah menjawab poligami dalam Islam memang diperbolehkan. Tapi, poligami bukan sekadar soal kebutuhan biologis. Itu adalah amanah besar. Banyak lelaki berpikir bahwa mereka bisa berlaku adil, tapi kenyataannya sangat sulit.