Malam itu angin berhembus lembut, menyapu dedaunan di halaman rumah Coach Hafidin. Saya duduk di ruang tamu, ditemani secangkir teh hangat yang disuguhkan oleh istrinya.Â
Rumah ini begitu hangat, bukan hanya karena pencahayaan temaram yang nyaman, tapi karena ada sesuatu di dalamnya---sebuah energi ketenangan dan keharmonisan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
"Bagaimana, sudah siap mendengar ibroh dari ayat yang luar biasa ini?" tanya Coach Hafidin sambil membuka mushaf kecil di tangannya.
Saya mengangguk.Beliau membacakan ayat 187 dari Surat Al-Baqarah dengan khidmat. Suaranya tenang, tapi tegas, lalu mmenyebutkan artinya:Â "Allah mengibaratkan suami-istri seperti pakaian satu sama lain. Artinya, mereka saling menutup aib, saling menghangatkan, dan saling melengkapi."
Coach Hafidin menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu melanjutkan, banyak lelaki ingin menjadi qowwam, tapi tak banyak yang memahami maknanya secara mendalam.Â
Qowwam itu bukan sekadar pemimpin, tapi ia adalah pelindung, pengayom, dan pembimbing istrinya menuju surga.
Saya mengangguk. "Tapi, Coach, bukankah banyak juga yang salah kaprah? Ada yang menganggap qowwam itu berarti berkuasa penuh tanpa perlu mempertimbangkan perasaan istri."
Coach Hafidin tersenyum. "Nah, ini yang sering disalahpahami. Seorang suami yang qowwam bukanlah penguasa yang otoriter. Sebaliknya, ia adalah pemimpin yang bertanggung jawab."
Dalam Islam, disebutkan Coach Hafidin, seorang suami bertanggung jawab atas dunia dan akhirat istrinya. Kalau dia biarkan istrinya lalai dalam agama, tidak menutup aurat, atau enggan menaati perintah Allah, itu artinya dia lalai sebagai pemimpin.Â
"Suami yang sadar bahwa istrinya adalah perhiasan, tidak akan membiarkan perhiasannya rusak, bukan?" lanjut Coach Hafidin.