Mohon tunggu...
Mang Pram
Mang Pram Mohon Tunggu... Freelancer - Tubagus Rahmat Saf Rai

Jurnalis || Founder Sekumpul EduCreative II Direktur Wilip Institute || Penulis Skenario Film || Bidang Pelatihan dan Peningkatan Kompetensi PWI Kota Cilegon || Humas

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Menjadi Suami Qowwam, Jalan Menuju Surga Rumah Tangga

1 Februari 2025   23:59 Diperbarui: 1 Februari 2025   23:59 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Coach Hafidin, mentor Poligami (foto pram) 

Malam itu angin berhembus lembut, menyapu dedaunan di halaman rumah Coach Hafidin. Saya duduk di ruang tamu, ditemani secangkir teh hangat yang disuguhkan oleh istrinya. 

Rumah ini begitu hangat, bukan hanya karena pencahayaan temaram yang nyaman, tapi karena ada sesuatu di dalamnya---sebuah energi ketenangan dan keharmonisan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

"Bagaimana, sudah siap mendengar ibroh dari ayat yang luar biasa ini?" tanya Coach Hafidin sambil membuka mushaf kecil di tangannya.

Saya mengangguk.Beliau membacakan ayat 187 dari Surat Al-Baqarah dengan khidmat. Suaranya tenang, tapi tegas, lalu mmenyebutkan artinya: "Allah mengibaratkan suami-istri seperti pakaian satu sama lain. Artinya, mereka saling menutup aib, saling menghangatkan, dan saling melengkapi."

Coach Hafidin menyandarkan tubuhnya ke sofa, lalu melanjutkan, banyak lelaki ingin menjadi qowwam, tapi tak banyak yang memahami maknanya secara mendalam. 

Qowwam itu bukan sekadar pemimpin, tapi ia adalah pelindung, pengayom, dan pembimbing istrinya menuju surga.

Saya mengangguk. "Tapi, Coach, bukankah banyak juga yang salah kaprah? Ada yang menganggap qowwam itu berarti berkuasa penuh tanpa perlu mempertimbangkan perasaan istri."

Coach Hafidin tersenyum. "Nah, ini yang sering disalahpahami. Seorang suami yang qowwam bukanlah penguasa yang otoriter. Sebaliknya, ia adalah pemimpin yang bertanggung jawab."

Dalam Islam, disebutkan Coach Hafidin, seorang suami bertanggung jawab atas dunia dan akhirat istrinya. Kalau dia biarkan istrinya lalai dalam agama, tidak menutup aurat, atau enggan menaati perintah Allah, itu artinya dia lalai sebagai pemimpin. 

"Suami yang sadar bahwa istrinya adalah perhiasan, tidak akan membiarkan perhiasannya rusak, bukan?" lanjut Coach Hafidin.

Saya mengangguk. "Tapi, Coach, bagaimana caranya membimbing istri agar semakin shalihah tanpa membuatnya merasa terkekang?"

Coach Hafidin tersenyum lagi. Kemudian menjelaskan bahwa, kunci pertama adalah menjadi suami yang layak dipatuhi. Bagaimana istri mau taat jika suaminya sendiri tidak shalih? Qowwam sejati harus punya ilmu, akhlak, dan kepemimpinan.

"Coba lihat hadits Rasulullah," lanjutnya, "sebaik-baik wanita adalah yang menyenangkan ketika dipandang, patuh ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya."

Ia menatap saya, memastikan saya memahami. Dijelaskan lagi, seorang istri itu akan mengikuti suaminya jika ia merasa aman dan nyaman dalam kepemimpinannya. 

Kalau suaminya shalih, ia akan lebih mudah menerima arahan. Tapi kalau suaminya sendiri masih banyak lalai, bagaimana ia bisa menuntut istrinya untuk taat?

Saya menghela napas. "Tapi, Coach, bagaimana dengan kebutuhan biologis dalam pernikahan? Bukankah itu juga hal yang penting dalam menjaga keharmonisan?"

Coach Hafidin mengangguk mantap. Dijelaskan lagi, bahkan Allah menyinggungnya dalam ayat yang tadi kita baca. Malam-malam Ramadhan yang awalnya terlarang untuk bercampur dengan istri, kemudian Allah halalkan sebagai bentuk kasih sayang-Nya.

Ia menarik napas sejenak, lalu melanjutkan, persoalan saat ini banyak suami yang tidak menyadari bahwa ini adalah hak istri juga, bukan hanya hak suami. Rasulullah SAW sendiri memberikan teladan bagaimana memenuhi kebutuhan istri dengan kelembutan. 

"Suami bukan sekadar menuntut, tapi juga memahami, membimbing, dan memberikan kepuasan yang seimbang," katanya. 

Saya mengangguk pelan. "Tapi, Coach, ada juga suami yang merasa bahwa jika ia mampu secara fisik dan finansial, ia berhak menikah lebih dari satu untuk memenuhi kebutuhannya."

Coach Hafidin tersenyum, sereayah menjawab poligami dalam Islam memang diperbolehkan. Tapi, poligami bukan sekadar soal kebutuhan biologis. Itu adalah amanah besar. Banyak lelaki berpikir bahwa mereka bisa berlaku adil, tapi kenyataannya sangat sulit.

Ia melanjutkan dengan kisah bagaimana Rasulullah berpoligami. Tidak ada satu pun istrinya yang merasa diabaikan. Itu karena beliau adalah suami yang qowwam sejati. 

"Kalau kita tidak bisa seperti beliau, lebih baik berfokus pada satu istri dan membimbingnya dengan sebaik mungkin," katanya. 

Saya menatap Coach Hafidin dengan kagum. "Jadi, intinya, Coach?"

Ia tersenyum lebar. Rumah tangga itu ladang menuju surga. Seorang suami yang qowwam adalah yang mampu membimbing istrinya menjadi shalihah, bukan hanya menuntut, tapi juga memberi teladan. 

"Jika ia ingin istrinya patuh, ia harus terlebih dahulu menjadi lelaki yang pantas dipatuhi. Jika ia ingin istrinya menjadi perhiasan terbaik, ia harus menjaga dan membimbingnya dengan penuh cinta dan tanggung jawab."

Saya menghela napas. Banyak yang harus direnungkan. Malam itu, saya pulang dengan hati yang lebih lapang. Rumah tangga bukan sekadar urusan duniawi, tapi juga ladang amal. 

Menjadi seorang suami yang qowwam sejati, akan membawa keluarganya menuju surga, bukan sekadar menikmati dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun