Siti hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Mulutnya rapat terkunci, tidak mau tangis pecah.
Kamal membuka pintu kamar. Ia terperangah melihat Ibu mertunya berdiri di ambang pintu. Naima dan Siti memburu keluar.
Ibu berdiri dengan raut wajah penuh ketegangan. Tampak syok berat. Bola mata yang berair. Padangan matanya jauh menembus jalanan, perkebunan, dan langit yang gelap.
"Ibu kenapa?" tanya Siti sambil memeluk Ibu dari samping.
Naimah keluar rumah. Mencari sosok Abang yang dirindukannya. Sahrir tidak ada.
"Ya Allah, engkau titipkan seorang anak yang dirawat dan dijaga sepenuh hati. Sampai sukses menjadi dokter. Kenapa, ketika engkau panggil anakku, sebagai Ibu tidak bisa memandikan dan menguburkanya?" kata Ibu.
Perlahan kelopak mata ibu sayu, seketika menutup. Tubuh itu tumbang dipelukan putri sulungnya.
"Ikhlas ya, Bu. Jenazah Sahrir tidak diijinkan dibawa pulang ke kampung. Pemakamannya harus mengikuti prosedur seperti pasien lainnya," lirih Siti berbisik ditelinga Ibunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H