"Ibu benar-benar lupa apa yang sudah terjadi seminggu ini?" kata Kamal.
Siti dan Naimah saling berpelukan. Hanya air mata yang terus berurai menggambarkan rasa kesedihan yang mendalam.
Sahrir adalah anak laki-laki yang selalu dibanggakan Ibu. Cerdas dan berprestasi, sebuah harapan masa depan orang tua. Apalagi kini di tanah perantauan Sahrir sudah menjadi dokter.
"Setelah lebaran, saya akan ke Jakarta. Entah bagaimana caranya bisa sampai ke tanah Jawa dari pelabuhan Bakauheni," kata Kamal.
Siti dan Naima makin larut dalam kesedihan. Mendengar suara takbiran dari masjid membawa harapan ada jalan keluar yang diberikan kepada Allah.
"Apa tidak sebaiknya kita katakan, Bang Sahrir masih bertugas tangani pasien corona?" kata Naima.
"Jangan, Dek! Ini akan jadi masalah besar kedepannya. Ibu tidak sedang lupa, hanya mengalami depresi saja saat ini," kata Kamal.
Disaat kebingungan mencari solusi, tiba-tiba Ibu berteriak dengan suaranya yang serak.
"Naima, Abang Sahrir pulang. Sambutlah..."
Dua anak perempuan itu saling tatap mendengar suara teriakan Ibu.
"Apakah saya salah dengar, Kak?" tanya Naima dengan kekalutan yang semakin membuncah.