Hilal telah tampak, namun masih ada kecemasan yang menggelayut di raut wajah Ibu.
Puasa terakhir sudah dibatalkan. Ibu hanya minum beberapa seruputan teh manis. Laksa ketupat dan opor ayam tidak sedikit pun dimakan.
"Ibu, makan yuk. Ini sudah mau masuk waktu isya," bujuk Naimah.
Ibu menghela nafas. Sesekali matanya menatap pintu.
"Sahrir sebentar lagi pulang," kata Ibu dengan penuh harapan.
Naima menundukan kepala. Memalingkan wajah. Buru-buru lari ke dapur.
"Apanya anak gadis ini. Orang tua sedang ngomong ditinggal pergi," kata Ibu.
Ibu kemudian bangkit dari tempat duduknya. Matanya menyapu dinding rumah. Ketika melihat potret wajah almarhum suaminya, Ibu perlahan mendekat.
"Sudah lebaran lagi, ya Pak. Anak-anak sudah besar sekarang. Siti sudah menikah dan punya anak. Sahrir sudah menjadi dokter di Jakarta. Naimah baru mau kuliah jurusan pendidikan," katanya sambil memandang foto suaminya yang meninggal 15 tahun lalu.
Ibu adalah wanita tangguh. Mampu membesarkan tiga anaknya tanpa mau menikah lagi. Menjadi orangtua tunggal, Ibu mampu menghidupi dan memberikan pendidikan terbaik.
Ibu mamandang foto putranya. Ia tersenyum penuh bangga bisa mengantarkan putranya menjadi dokter spesial paru. Baru setahun ikrar profesi kedokteran. Kini si bujang bertugas di sebuah rumah sakit besar di Jakarta.
Gagang pintu tiba-tiba bergerak. Perlahan terbuka. Sosok lelaki muda muncul.
"Sahrir, kau pulang?" kata Ibu sambil tersenyum. Tapi tiba-tiba senyumnya kembali memudar.
"Ini Kamal, Bu," kata anak mantunya sambil menggendong seorang balita lucu.
"Ya Allah, Kamal. Kenapa masih di rumah?"
Kamal terlihat tergagap. Siapa pun yang menghadapi Ibu pasti dibuat kebingungan. Berhati-hati dalam berucap dan berbuat.
"Kenapa kamu diam, Nak? Bukan kah Ibu minta kamu ke bandara jemput adikmu?" kata Ibu dengan lirih.
"Iya, Bu, sebentar lagi," kata Kamal. Setelahnya nafas besar dihembuskan perlahan.
Siti keluar dari dapur dan langsung merapat ke suaminya. Balita lucu diambil dari gendongan.
"Siti, telpon Sahrir. Khawatir dia sudah menunggu di bandara," kata Ibu.
Siti dan Kamal saling pandang. Mata Siti sudah tidak sanggup menahan air yang merembes di matanya.
Betapa lelahnya Siti, sejak pagi sudah ke pasar membeli Ikan patin yang akan dimasak pindang kuning. Makanan spesial untuk menyambut kepulangan Sahrir.
Selesai masak, Siti harus membersihkan kamar Sahrir yang  sudah lama tidak ditempati. Kasur baru, sepre baru, dan semua harus terlihat bersih.
"Sejak wisudah sampai jadi dokter, Sahrir gak bisa pulang saat lebaran. Sahrir sudah janji bakal pulang lebaran ini," kata Ibu.
Siti hanya bisa menuruti semua perkataan Ibu. Sejak kecil anak-anak diajarkan adab dan menghormati orang tua. Tidak sedikit pun anak-anak membantah dan tidak nurut perkataan Ibu.
"Kita bisa apa?" bisik Siti ke suaminya.
"Bilang saja Jakarta lockdown, Sahrir tidak bisa pulang," kata Kamal.
Percakapan Siti dan Kamal membuat ibu curiga. Bisik-bisik di depan orang tua tidak ada adab.
"Kamu mau bilang, gara-gara corona Sahrir gak pulang. Ibu tahu betul, Sahrir akan pulang," kata Ibu.
"Maaf, Bu. Siti dan Bang Kamal mau siap-siap dulu," kata Siti. Langkah kaki suami istri itu beriringan masuk ke dalam kamar.
Siti, Kamal, dan Naima dibuat pusing cara memberi pengertian kepada Ibu. Dua lebaran sebelumnya, Sahrir tidak bisa pulang saat Lebaran, Ibu tidak seperti ini. Jika pun pulang bertepatan pada libur praktek.
"Saya cuma takut Ibu terpukul lagi," kata Naima sambil menahan emosi yang benar-benar sudah tidak tahan lagi.
Naima dengan kepolosannya paham. Salah menyampaikan pesan kepada Ibu akan berbuat fatal.
"Ibu benar-benar lupa apa yang sudah terjadi seminggu ini?" kata Kamal.
Siti dan Naimah saling berpelukan. Hanya air mata yang terus berurai menggambarkan rasa kesedihan yang mendalam.
Sahrir adalah anak laki-laki yang selalu dibanggakan Ibu. Cerdas dan berprestasi, sebuah harapan masa depan orang tua. Apalagi kini di tanah perantauan Sahrir sudah menjadi dokter.
"Setelah lebaran, saya akan ke Jakarta. Entah bagaimana caranya bisa sampai ke tanah Jawa dari pelabuhan Bakauheni," kata Kamal.
Siti dan Naima makin larut dalam kesedihan. Mendengar suara takbiran dari masjid membawa harapan ada jalan keluar yang diberikan kepada Allah.
"Apa tidak sebaiknya kita katakan, Bang Sahrir masih bertugas tangani pasien corona?" kata Naima.
"Jangan, Dek! Ini akan jadi masalah besar kedepannya. Ibu tidak sedang lupa, hanya mengalami depresi saja saat ini," kata Kamal.
Disaat kebingungan mencari solusi, tiba-tiba Ibu berteriak dengan suaranya yang serak.
"Naima, Abang Sahrir pulang. Sambutlah..."
Dua anak perempuan itu saling tatap mendengar suara teriakan Ibu.
"Apakah saya salah dengar, Kak?" tanya Naima dengan kekalutan yang semakin membuncah.
Siti hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Mulutnya rapat terkunci, tidak mau tangis pecah.
Kamal membuka pintu kamar. Ia terperangah melihat Ibu mertunya berdiri di ambang pintu. Naima dan Siti memburu keluar.
Ibu berdiri dengan raut wajah penuh ketegangan. Tampak syok berat. Bola mata yang berair. Padangan matanya jauh menembus jalanan, perkebunan, dan langit yang gelap.
"Ibu kenapa?" tanya Siti sambil memeluk Ibu dari samping.
Naimah keluar rumah. Mencari sosok Abang yang dirindukannya. Sahrir tidak ada.
"Ya Allah, engkau titipkan seorang anak yang dirawat dan dijaga sepenuh hati. Sampai sukses menjadi dokter. Kenapa, ketika engkau panggil anakku, sebagai Ibu tidak bisa memandikan dan menguburkanya?" kata Ibu.
Perlahan kelopak mata ibu sayu, seketika menutup. Tubuh itu tumbang dipelukan putri sulungnya.
"Ikhlas ya, Bu. Jenazah Sahrir tidak diijinkan dibawa pulang ke kampung. Pemakamannya harus mengikuti prosedur seperti pasien lainnya," lirih Siti berbisik ditelinga Ibunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H