"Wah cantik ya, Man? Mirip Dewi Sinta. Siapa namanya?"
"Ya, cantiklah. Namanya itu Mumun," Maman menunjuk sekor monyet yang sedang berduaan dengan Jamlekon, "Yang itu calon menantu juga, calon istrinya Jamlekon. Namanya Jameilah, peliharaannya Mumun. Mumun dan Jamielah itu kerjanya sebagai penyelenggara konser topeng monyet kalo lagi liburan sekolah aja."
"Apa, Man? pacarmu, monyet juga?" kata Bapak salah ngomong. "Maksud Bapak, suka monyet juga?"
"Iyalah, Pak. Kan udah Maman bilang, kalau Maman hanya cinta sama cewek yang juga suka sama monyet. Udah deh mending Bapak dan Emak siap-siap nikahin kita berdua setelah lulus sekolah nanti. Pesen 2 pasang baju pengantinnya ya. Buat Maman dan Mumun. Satunya lagi untuk Jameilah dan Jamlekon. Mas kawinya cukup setandan pisang aja. Oke?"
Bapak dan Emak hanya terbengong. Membayangkan seandainya ada banyak keturunan Maman dan Jamlekon yang terlahir di rumah itu. Senewen tidak bisa membedakan anak manusia dan bangsa wanara.
Cilegon, 13 Februari 2009