Mohon tunggu...
Roni Ramlan
Roni Ramlan Mohon Tunggu... Freelancer, Guru - Pembelajar bahasa kehidupan

Pemilik nama pena Dewar alhafiz ini adalah perantau di tanah orang. Silakan nikmati pula coretannya di https://dewaralhafiz.blogspot.com dan https://artikula.id/dewar/enam-hal-yang-tidak-harus-diumbar-di-media-sosial/.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar Manajemen Waktu dari Menunaikan Salat Fardu

14 September 2020   18:30 Diperbarui: 14 September 2020   18:34 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada banyak pembagian waktu dalam agama Islam, di antaranya: waktu untuk menunaikan ibadah salat, puasa, mengeluarkan zakat, ibadah haji, umrah, waktu yang tepat untuk berdo'a, melafalkan akad, mengikrarkan janji, mengazamkan niat dan lain sebagainya.

Setiap masing-masing waktu itu memiliki cakupan ruang, kuantitas, intensitas dan aturan tertentu yang berlaku khusus dalam menunaikan satu perbuatan yang dikehendaki oleh subjeknya, sehingga sangat tidak mungkin untuk saling memukul rata satu sama lain di antaranya. 

Misalnya saja, waktu yang berlaku untuk menunaikan salat tidak pernah bisa disamakan dengan waktu yang berlaku dalam mengeluarkan zakat. Begitu halnya rentan waktu untuk menunaikan ibadah puasa tidak akan sama seperti waktu dalam menunaikan ibadah haji atau umrah.

Meskipun demikian, dari sekian waktu yang telah disebutkan di atas, namun penulis di sini lebih tertarik untuk sedikit mengorek waktu terkait dengan ibadah salat.

Allah SWT berfirman dalam surat An-nisa ayat 103: 

"Maka apabila kamu telah menyelesaikan salat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah salat itu (sebagaimana biasanya). Sesungguhnya salat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman".

Ibadah salat hukumnya wajib bagi setiap muslim dan muslimah. Kewajiban yang berlaku untuk setiap individu ini dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah fardu 'ain. 

Sementara kewajiban yang pelaksanaannya cukup dikerjakan oleh perwakilan saja disebut dengan istilah fardu kifayah. Seperti halnya mengurusi dan menyalatkan orang yang meninggal dunia. 

Dahulu, sebelum varinitas jam tercanangkan sebagai parameter perputaran waktu, untuk mengetahui telah dimulainya masuk waktu salat fardu dipahami dengan membaca tanda-tanda yang berasal dari pergerakan alam semesta. 

Utamanya, perputaran matahari yang bertautan dengan panjang-pendeknya bayangan satu objek tertentu dan hadirnya mega. Termasuk di dalamnya kemunculan lembayung sebagai tanda memasuki waktu salat magrib.

Pembahasan tentang waktu salat fardu melalui pembacaan tanda-tanda pergerakan alam semesta ini saya temukan dalam kitab Safinatun Naja. Salah satu kitab populer karya ulama besar tanah Banten, Syekh Nawawi al-Bantani. Sementara dalam tingkatan sekolah formal, materi ini saya lahap pada tahun kedua di masa putih-biru.

Selain berkewajiban menunaikan ibadah salat fardu yang terbagi menjadi lima waktu; Dzuhur, Asar, Magrib, Isya' dan Subuh, dalam agama Islam juga terdapat kategori waktu yang berlaku khusus untuk menunaikan salat.

Pertama, afdhalul waqtu atau waktu yang paling utama. Waktu yang paling utama dalam menunaikan salat ialah di awal waktu. Lebih tepatnya, mendirikan salat berjamaah di masjid beberapa saat setelah adzan dikumandangkan oleh mu'azin. 

Dalam konteks ini dapat dikatakan, mungkin hanya segelintir orang saja yang secara konsisten mampu menunaikan salat di awal waktu. Terlebih-lebih jika kita melihat bagaimana hiruk-pikuk manusia modern yang terbelenggu dengan setiap rutinitasnya yang super padat. Waktu luangnya bahkan dapat terhitung jemari. Waktunya telah terlumat habis tergadaikan untuk mengeruk materi. 

Meskipun demikian, kesempatan untuk menunaikan salat fardhu berjamaah di awal waktu ini masih terbuka lebar-lebar selama kita mau mengupayakannya dan raga masih mengandung jiwa. 

Menata kembali manajemen waktu dan mendahulukan kebutuhan pokok utama dalam menjalani kehidupan ini supaya lebih baik adalah kunci tolak ukurnya.

Kedua, waktu ikhtiar. Waktu ikhtiar di sini bermakna rentan waktu yang dapat diusahakan oleh setiap orang untuk menunaikan salat. Kesempatan waktu yang sangat bergantung pada kehendak, niat dan tekad setiap masing-masing individu. Hendak pukul berapa ia mendirikan salat, tergantung pada keputusannya.

Waktu ikhtiar ini dapat dikatakan sebagai kesempatan yang bersifat suka-suka. Mereka-mereka yang kerapkali tergolong sebagai penganut waktu ini lebih cenderung mengutamakan kepentingan yang sedang digelutinya sembari diam-diam menomorduakan salat. Ada celah yang mendeskripsikan, bahwa mereka yang termasuk ke dalam golongan waktu ikhtiar ini lebih suka menunda-nunda.

Meski demikian, berbeda halnya tatkala seseorang melakukan satu kegiatan yang memang dalam Islam juga memiliki hukum yang sama-sama wajib. 

Misalnya saja menuntut ilmu. Seseorang yang sedang sibuk menuntut ilmu, termasuk belajar di dalamnya dikatakan boleh mengazam salat untuk dikerjakan pada waktunya. Dikerjakan pada waktunya di sini dalam artian tidak dikerjakan pada awal waktu. 

Pengecualian ini hanya berlaku tatkala ada dua urusan yang sama-sama harus dikerjakan dan hukumnya wajib akan tetapi berbenturan. Ini berarti tidak dapat dipukul rata.

Ketiga, waktu jawaz atau beberapa saat sebelum waktu salat fardu itu berakhir. Kurun waktu ini umumnya digunakan oleh mereka yang memiliki kebiasaan menunda-nunda yang telah akut bercampur rasa malas untuk mendirikan salat.

Namun, meskipun demikian bukan berarti ini suatu judge bahwa mereka yang mengerjakan salat di akhir waktu benar-benar seorang pemalas dan memiliki hobi menunda-nunda dalam segala hal pekerjaan. Pasalnya, di daerah sekitar Plosokandang juga memiliki tradisi mengerjakan salat di akhir waktu. 

Sememangnya harus ditegaskan pula, bahwa terdapat keterangan yang menegaskan disunnahkan untuk menunaikan salat di akhir waktu. Namun, redaksi keterangan itu lebih cenderung dikhususkan untuk salat Isya. Keterangan ini, saya temukan dalam kitab Tangqihul Qaul. Kitab kuning karangan Syekh Nawawi Albantani.

Sementara di satu sisi, ada kecenderungan keterangan ini diartikan salah kaprah oleh sebagian orang, sehingga seolah-olah pengakhiran menunaikan salat ini berlaku untuk setiap salat fardu. Padahal tidak demikian. 

Nampaknya harus digaris bawahi pula, bahwa sangat dimungkinkan akan ada banyak alasan pula mengapa ada orang yang mengerjakan salat pada waktu jawaz ini. Satu alasan logis yang tak pernah mampu dipaksakan pada setiap masing-masing orang.

Keempat, waktu haram. Berbeda dengan waktu jawaz, waktu haram di sini berarti mengerjakan salat fardu bukan pada tempatnya. Dalam artian mengerjakan salat fardu setelah waktu pengerjaannya yang dianjurkan telah berakhir. 

Sebagai contohnya mengerjakan salat Dzuhur pada waktu salat Asar tanpa ada niatan dijamak takhir. Contoh lainnya seperti mengqodo salat fardu yang terlewat karena lupa (tertidur). 

Pengerjaan salat fardu di waktu haram ini memang boleh dikerjakan terlebih-lebih itu hukumnya wajib, akan tetapi meskipun demikian, alangkah baiknya hal itu dihindari. Bagaimanapun salat pada waktunya lebih utama. 

Sedangkan yang terakhir ialah waktu udzur. Waktu udzur di sini bermakna satu keadaan yang mengalangi kita untuk mengerjakan salat sementara waktu untuk menunaikan salat telah tiba. 

Sederhananya, waktu udzur di sini keadaan yang menuntut untuk adanya pengecualian dan kemudahan untuk menunaikan salat. Dalam Islam keadaan ini disebut dengan istilah rukhsoh (keringanan).

Bentuk rukhsoh sendiri bisa macam-macam, di antara; menjamak salat, mengqoshor salat, mengerjakan salat dengan keadaan; berbaring, duduk, dengan gerakan isyarat dan lain sebagainya.

Atas dasar demikian, maka pemberlakuan rukhsoh sendiri hanya bersifat khusus dan eksklusivitas. Baik itu ditinjau dari sisi keadaan fisik orang yang dikenai kewajiban menunaikan salat, waktu dan tempat. Misalnya saja orang yang sedang melakukan perjalanan jauh dibolehkan untuk menjamak dan men-qashar salat. 

Hal ini sebagaimana tercantum dalam surat An-nisa ayat 101: 

"Dan apabila kamu berpergian di muka bumi, maka tidaklah tidak mengapa kamu men-qashar sembahyang (mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu".

Hal ini berlaku dengan catatan telah memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan jumhur ulama untuk melakukan pengerjaan salat di waktu udzur. 

Sementara orang-orang yang tidak mempunyai kendala tertentu dan halangan apapun, sama sekali tidak diperbolehkan untuk melakukan rukhsah salat fardu pada masing-masing waktunya yang berlaku.

Meskipun demikian, adanya kategorisasi waktu untuk menunaikan salat fardu di sini bukan berarti setiap orang bisa memilih mengulur pengerjaan salat dengan semena-mena, sekehendak hati dan sesuka dirinya dengan alasan yang tak jelas dan tak masuk logika. 

Kategorisasi waktu ini justru hendak menegaskan bahwa Islam adalah agama Rahmatan Lil 'Alamin yang tidak memberatkan setiap pemeluknya untuk menjalankan kewajiban. Baik itu tatkala seorang muslim-muslimah dihadapkan dengan ketidaksempurnaan fisik, onak dalam sekat kontestasi ruang, waktu dan jarak. 

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa seorang muslim yang menjalankan salat lima waktu dianalogikan seperti orang yang melakukan mandi lima kali setiap hari. Di mana setelah mandi tersebut dapat diartikan manusia akan suci kembali dari sekian gudang dosa dan kesalahannya. Allahu Ghofur, igfirlanaa.

Penekanan yang harus diblue print di sini adalah dalam keadaan apapun manusia sebagai makhluk; Khalifah dan hamba di muka bumi ini jangan sampai lupa untuk menegakkan tugas, kewajiban dan kesadaran diri untuk senantiasa menghamba pada Tuhannya sebagai pemilik segala Maha. 

Di samping itu, kategorisasi waktu untuk menunaikan salat itu juga mengajarkan kepada umat Islam untuk pandai memanajemen waktu antara bersikap porposional dan profesional dalam menjalankan tugas kehidupan di dunia.

Demikianlah sedikit intisari khotbah Jumat yang saya tangkap di minggu pertama pada bulan September ini. Semoga bermanfaat. Ohya, apabila ada kekeliruan dan kesalahan dalam penyampaian informasi di atas mohon dikoreksi. Utamanya bagi para ahli hadis dan kalangan yang mumpuni dalam urusan agama koreksinya sangat dinanti. Hehe

Akhir kata, sesungguhnya seluruh tulisan di atas tidak lain adalah cambukan yang berarti bagi saya pribadi, sementara seluruh ketidaktepatan redaksi dan tatanan pola pikir murni mencerminkan kekurangan yang ada di dalam diri. 

"Jikalau engkau hendak mengetahui bagaimana sikap seseorang, lihat saja bagaimana cara ia menunaikan salatnya".

Tulungagung, 14 September 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun