Dalam pandangan Islam, juga agama-agama umumnya, hakikat manusia bukanlah pada tubuhnya, melainkan pada ruhaninya, pada hati dan pikirannya, yang teraktualisasi pada akhlak dan amal perbuatannya. Maka berbeda dengan binatang, tidaklah sepantasnya manusia mempertaruhkan harga dirinya pada tubuhnya. Dalam perspektif ini, maka manusia yang suka memamerkan tubuhnya, pada dasarnya tengah merendahkan martabatnya, membinatangkan dirinya. Pamer tubuh lazimnya dimotivasi oleh keinginan mendapatkan reaksi yang setimpal, reaksi tubuh yang bermuara pada nafsu yang juga khas tubuh, libido.
Pada dasarnya orang yang pamer keindahan tubuhnya adalah orang yang juga tidak memiliki kepekaan terhadap orang lain, terutama yang kebetulan dianugerahi tubuh yang buruk, cacat. Tubuh indah atau buruk adalah anugerah Tuhan, dengan hikmahnya masing-masing. Manusia tidak berhak menyombongkannya atau pun mencelanya. Memamerkan aurat dengan dalih hak asasi manusia. Karena sejatinya hak asasi manusia adalah hak yang melekat secara kodrati pada diri manusia sebagai makhluk Tuhan demi mempertahankan eksistensi dan martabatnya.
Secara umum, umat beragama tengah menghadapi dua arus besar yang sama dahsyatnya. Yaitu kapitalisme dan patriarki. Keduanya saling memberikan pandangan yang sempit bagi penyempitan makna tubuh dan seksualitas. Kapitalisme bekerja mendistorsi tubuh untuk dijadikan komoditas. Sementara patriarki mendiskriminasi tubuh agar tunduk dan patuh pada norma yang ada. Umat Islam berada dalam dua himpitan tersebut, di lingkungan tradisional patriarki terlihat lebih dominan. Disini tubuh dianggap identik dengan tabu, dan pembicaraan apapun tentang seksualitas akan ada vonis moral. Sementara di lingkungan yang lebih modern dan terbuka, kapitalisme mengambil alih patriarki dengan membiarkan tubuh secara liar untuk dijadikan objek, komoditas, dan hiburan. Agama dapat mengimbangi dua arus besar itu dengan semangat yang membebaskan manusia dari tindakan diskriminatif dan seimbang dalam urusan seksual.
Kontroversi Seksualitas
Pandangan Freud tentang seksualitas, terutama yang menyangkut anak-anak, menimbulkan kegemparan yang hebat pada zamannya. Ia mengatakan bahwa naluri seksual jauh lebih rumit daripada apa yang ada dalam anggapan orang sebelumnya. Impuls seksual telah ada sejak dilahirkan, tetapi segera disingkirkan oleh proses reresi yang progresif. Seksualitas dari para penderita neurosis dan penyimpangan biasanya masih berada dalam keadaan atau dikembalikan ke masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan puberitas dipenuhi dengan berbagai hambatan seksual dan perkembangannya bisa menjadi salah arah atau berhenti pada suatu tahap (fiksasi).
Definisi Freud tentang apa yang disebut seksual itu luas tidak seperti pemahaman kebanyakan orang tentang seksual. Teorinya tentang berkembangnya anak secara seksual telah menjadi suatu model bagi perkembangan psikologis dan sosial pada umumnya. Menurut Freud, perkembangan seksual yang normal seharusnya melewati tahap-tahap tertentu yang berlaku pada semua anak yakni tahap oral, anal, phallic, latensi, dan gemital. Orang bisa jadi terpaku pada tahap yang manapun. Kejadian ini disebut fiksasi. Freud mengembangkan suatu teori yang menggemparkan, yang disebutnya komplek Oedipus. Untuk menjelaskan dasar dari perkembangan psiko-seksual.
Menurut Michel Foucault, seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai mahluk yang berhasrat (the desiring subject). Pada zaman Yunani kuno, orang-orang mengolah hasrat seks menjadi bagian dari kegiatan yang sejajar dengan filsafat (philoshopy), ekonomi (economic), dan pengelolaan kesehatan (dietetics). Tampaknya Foucault memperlihatkan, bahwa kegiatan seks pun mempunyai prestise yang tinggi. Dan seperti halnya kegiatan-kegiatan yang lain, kegiatan seks pun memerlukan pengelolaan yang tidak sederhana, strategi dan perencanaan, pertimbangan dan keputusan yang tepat (The History of Sexsuality, vol. 2, Penguin Books, 1985). Akan tetapi dalam Abad Pertengahan atau era Kristen di Eropa, kegiatan seks menjadi sesuatu yang dianggap berbahaya dan ditakuti. Agamawan Kristen menjadikan seks sebagai sosok yang perlu diwaspadai karena menimbulkan hasrat yang kuat yang disebut nafsu, dan diberi label khusus sebagai “daging” (caro).
Salah satu buku psikologi yang menarik tentang seks ditulis oleh Eric Berne. Judulnya, Sex in Human Loving (Penguin Books, 1970) buku in telah dicetak berulang-ulang kali, sebelumnya Eric Berne juga menerbitkan buku yang sangat laris, Game People Play (Penguin Books, 1964). Dalam Sex in Human Loving, Berne tampaknya mengembangkan pikiran tentang permainan seks dalam pergaulan manusia.
Charles Pickstone, seorang pendeta Anglikan, dalam For Fear of the Angles (Hodder and Stoughton, London, 1996) mengemukakan perkembangan tendensi manusia dewasa ini dalam menggunakan seks untuk menggeser peran agama dalam hasratnya menyelami misteri dibalik kehidupan.
Franz Magnis Suseno, seorang rohaniawan Katolik mendefinisikan tentang kepornoan tersebut. Menurutnya, ada tiga kategori dalam soal ini yaitu indesensi, erotis dan porno. Indesensi adalah perilaku tak sopan, erotis bermakna lebih kepada kesadaran si subyek yang melihat, sedangkan porno adalah yang menyangkut kelamin, payudara dan hubungan seks di muka umum. Porno adalah segala apa yang merendahkan manusia sebagai obyek nafsu seksual saja. (Suara Pembaruan 22/02)
Pada zaman tradisional, manusia tidak terlalu peduli dengan penutup dari tubuh mereka. Pada saat itu pakaian tidak terlalu penting sehingga mereka harus mengenakannya. Ataupun kita bisa melihat sebagian warga kita di Papua di mana mereka hanya memakai koteka kemana pun mereka pergi. Akan tetapi sekarang ini pakaian bukan hanya menjadi kebutuhan untuk menutup tubuh (sebagai standar moral tertentu) tetapi sudah masuk ke dalam dunia modedi mana manusia dipaksa untuk memilih jenis pakaian tertentu untuk waktu tertentu dan tempat tertentu.