Seksualitas Dalam Agama
Oleh : Salamun Ali Mafaz
“Porno itu letaknya ada dalam persepsi seseorang. Kalau orang kepalanyangeres, dia akan curiga bahwa Alquran itu kitab suci porno, karena ada ayat tentang menyusui (al-Baqarah: 233) dan ada roman-romanan antara Zulaikha dengan Yusuf (Yusuf: 24).”
KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur)
Persekongkolan Agama, dan Seksual
Wahyu seksualitas agama, sudah terkandung dalam beberapa ayat misalnya ayat yang diklaim diperbolehkannya poligami, (fankihu maa thaba lakum minan nisa masna wa tsulasa wa ruba’) atau ayat yang berkenaan dengan aturan berhubungan (nisaa ukum hartsun lakum). ayat tentang menyusui (al-Baqarah: 233) dan ada roman-romanan antara Zulaikha dengan Yusuf (Yusuf: 24).Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang berhubungan dengan dunia remang-remang dan dunia kelamin ini.
Dalam beberapa hadits juga banyak yang mengupas tentang masalah seksualitas, bahkan dalam tradisi pesantren ada kitab yang mengupas khusus masalah dunia kelamin ini, ambil contoh misalnya kitab Uqud lujayyin yang mengatur relasi suami-istri, atau kitab qurrotun ‘uyyun yang mengupas lebih mendalam lagi dunia seksual.Di dalam kitab `Ubab dan lainnya bahwasanya sunnat dahulu daripada jima` itu memakai bau-bauan kedua laki [dan] istrinya dan bergurau-gurau dahulu dan bermain-main dengan kelakuan yang menyenangkan hati istrinya, dan membangkitkan syahwat. Disebutkan di dalam kitab Syaikh Zarruq bahwa `ulama mengatakan : jima` dengan tiada mengerjakan sesuatu yang mendatangkan birahi perempuan itu akan mengakibatkan pada anaknya cacat, kurang pintar dan penyakit. Dan apabila keluar mani suaminya lebih dahulu, seyogyanya hendaklah menunggu sampai puas istrinya. Intinya di dalam pesantren sekalipun, dunia seksualitas masih mendapatkan porsi yang khusus untuk dijadikan bahan pegangan kehidupan berumah tangga.
Kenapa dunia seksualitas selalu dianggap najis bahkan diklaim sebagai lingkaran setan, nyatanya tidak demikian, masalah seksualitas agama sudah mengatur lebih mendalam tentang hal demikian, namun mungkin perbedaannya lebih dikemas secara bermoral, beda dengan wacana lain yang seakan ditampilkan agak senonoh dan tidak bermoral.
Masalah hasrat seksual manusia, tentunya kita kembalikan kepada masing-masing individu, seperti apa pengalaman dan insting mereka. Misalnya, seseorang yang hidup di Eropa tidak bisa disamakan dengan seseorang yang hidup di Timur Tengah. Atau contoh lainnya misalkan, seseorang yang hidup di Pulau Bali, Papua, tidak bisa disamakan dengan seseorang yang hidup di Pulau Jawa. Dengan demikian, cara pandang dalam menyikapi masalah seksual tidak bisa disamakan, dan tentunya masalah hukum saya rasa perlu adanya pertimbangan khusus. Dalam kaidah ushul fiqih terdapat kaidah al hukmu yadurru ma’alillah wujudan wa ‘adaman dan kaidah al’adah muhakkamah.
Sejatinya, wahyu seksualitas agama memang sudah ada, namun bedanya sebelum wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad. Kancah seksualitas dilakukan secara binal dan penuh dengan eksploitasi terhadap perempuan. Kita tahu sendiri bagaimana hasrat seksual bangsa Arab pada waktu itu, Al-Quran sendiri menyebutnya sebagai assyadul kufr wan nifaq, baru setelah wahyu turun kepada Nabi, masalah seksual ini agak diberi rambu-rambu khusus termasuk aturan dalam berpoligami. Akan tetapi mau tidak mau sebenarnya masalah poligami hanyalah menjurus kepada masalah seksual dan pemenuhan hasrat belaka.
Dalam prespektif religius, agama-agama memiliki dasar pengetahuan mengenai wilayah ini, berkat pewahyuan yang mereka terima; karena itu agama merasa mampu mengatasi kebimbangan terhadap wilayah remang ini dan menetapkan perilaku normatif untuk mengantisipasinya. Agama yang berkembang menjadi lembaga resmi dalam menjalankan fungsi sosial, karena posisi pengetahuannya, dan merasa berhak mengendalikan, baik dengan norma-norma maupun upacara-upacara. Namun manusia modern sebagai subjek yang berhasrat (the desiring subjek) rupanya mempunyai keberanian bertualang untuk memasuki wilayah remang dengan resikonya sendiri, daripada mentaati rambu-rambu yang dicanangkan agama.
Dalam agama, sangat jelas tampak berlangsungnya konspirasi pengetahuan-kekuasaan. Pengetahuan yang terungkap di dalam norma-norma yang mengatur kehidupan seksualitas penganutnya adalah salah satu sisi dari mata uang yang sama dari kekuasaan. Visi tentang tubuh sangat mewarnai agama-agama dalam merumuskan norma-norma yang terkait dengan seksualitas. Pengetahuannya itu menentukan perilaku, cara berpikir, cara berbicara, cara berpakaian penganutnya.
Dapat dilihat bahwa dengan adanya isu seksualitas, naluri “agama” yang sebelumnya tidak pernah tampak dalam mengurus moralitas publik, perlahan mulai kambuh. Dalam tayangan di televisi, maupun media banyak ditampilkan gambaran agama sebagai hakim moral yang dapat menyelesaikan masalah, yang hanya dengan doa dan fatwa.
Agama manapun sebenarnya memiliki potensi untuk memunculkan pandangan negatif tentang seksualitas. Walaupun demikian, agama memiliki batasan-batasan tersendiri terhadap seksualitas, karena agama sebagai institusi juga berhak mengarahkan para pemeluknya pada suatu normalitas tertentu. Dengan demikian, agama mempunyai kepentingan dengan tubuh dan kejasmaniahan para pemeluknya, melalui para agen-agennya agam membuat peraturan religius tertentu tentang cara berpakaian, cara bergaul, dan etika dalam hubungan seksual.
Manusia diciptakan dengan tubuh dan hidup dengan dengan anggota tubuhnya, dalam pengalaman inilah ia bersekutu dengan hewan, yang sama-sama juga mengandalkan tubuh untuk memuaskan nalurinya. Walupun demikian, disisi lain manusia juga diciptakan dengan jiwa dan pikiran. Menurut para filusuf muslim, adanya jiwa dan pikiran inilah yang membuat manusia, meski memiliki status hewani, setara dan bahkan lebih mulia daripada para malaikat. Dengan begitu, pada dasarnya manusia adalah “mahluk yang unik” karena diciptakan dengan dua potensi yang berbeda. Di satu sisi, ia bukanlah malaikat yang beribadah melulu dan suci dari dosa, sebab ia hidup dengan tubuh dan naluri seksualnya. Sementara disisi lain, ia juga bukan hewan yang secara liar memuaskan tubuhnya. Keunikan inilah yang konon membuat para malaikat menjadi iri, sehingga merekapun menggugat tuhan “attaj’alu fiyha man yufsidu fi al-ard wa yasfiku ad-dima”, Tuhan membalas gugatan malaikat dengan “inni a’lamu ma la ta’lamuun”, Tuhan lebih mengetahui dari pada para malaikat tentang kemampuan manusia menjadi khlifatullah fi al-ard.
Dari cerita Kitab Suci, tampak bahwa Tuhan sebenarnya tidak mempermasalahkan masalah seksualitas. Tubuh manusia bukanlah ancaman bagi agama, karena Tuhan dengan segala ampunannya dihadirkan kepada manusia, justeru lewat tubuh itu manusia mempunyai suatu keunikan yang membedakannya dari malaikat. Tanggapan kaum agamawan terhadap apapun yang terkait dengan tubuh, kelamin, dan seks tidak jauh dari vonis moral. Awalnya adalah keprihatinan pada merosotnya “moral bangsa” yang kemudian berubah menjadi penilaian dan stereotip, hingga akhirnya muncul penghakiman-penghakiman.
Pada Abad Pertengahan, banyak raja menikmati jamuan selir-selirnya, sementara di dinding-dinding mereka terpampang ayat-ayat suci. Dan pada zaman modern, di Arab Saudi yang dikenal ketat menerapkan syariat Islam, banyak majikan memperlakukan para pembantu perempuannya secara tidak senonoh, di tempat dimana Kitab Suci setiap waktu dilantunkan, seks diam-diam jadi pemandangan sehari-hari. Moralitas puritan, meminjam istilah Farid Esack, muncul dari “teologi hukuman” (theology of punishmen). Setiap pelanggaran apapun terhadap agama, harus segera dihukum. Dalam teologi ini, Tuhan dibayangkan sebagai hakim yang menghukum kesalahan hamba-Nya, kesalahan apapun tidak bisa ditoleransi, karena hukum agama sudah jelas menetapkan siapa yang taat dan siapa yang berdosa.
Agama Sebagai Pengatur
Sepanjang sejarah, persepsi agama terhadap tubuh terus berubah dan berganti rupa, terkadang aagama mengklaim positif dan terkadang juga negatif. Tetapi, tubuh selalu menjadi persoalan penting dalam agama karena keberadaannya yang selalu didialektiskan dengan “roh” atau “jiwa”. Perbincangan apap pun tentang tubuh dalam agama, secara implisit maupun esplisit, pasti menyiratkan upaya mempertentangkan atau mempertemukan antara tubuh dengan roh/jiwa, tak terkecuali dalam agama Semitik.
Agama Yahudi, misalnya mengembangkan pandangan yang relatif positif terhadap tubuh. Para pemeluk agama Yahudi tidak mengenal dikotomi tubuh dan jiwa sebagimana yang ditanamkan secara turun temurun dalam filsafat dan kebudayaan Yunani. Agama Yahudi tidak menafikkan seksualitas dan menganggapnya sebagai berkah yang harus dirayakan. Seks bukanlah persoalan yang harus dikutuk dan ditakuti, bahakan aktivitas-aktivitas seksual seperti bersetubuh dan bercinta disikapi secara wajar. Bahkan konon dalam Perjanjian Lama, begitu banyak ajaran-ajaran moral yang dibumbui dengan metafora tentang persengamaan, anggur, dan percintaan. Pada hari Sabat, sembari istirahat dari kesibukan duniawi, umat Yahudi dianjurkan untuk memanjakan tubuh dengan makan, minum, dan kesenangan lahiriah lainnya, hari Sabat dipuji-puji dengan metafora sensual “pengantin suci” yang kedatangannya selalu dinanti dan didamba.
Agama Kristen cenderung mengambil sikap yang berbeda dalam menyikapi seksualitas. Agama ini mewarisi mentalitas Yunani yang ambigu dan mendua tentang tubuh. Disatu sisi, tubuh diyakini sebagai penjelmaan dari roh kudus sehingga bersifat sakral, suci, dan memiliki kualitas spiritual. Tetapi disisi lain, tubuh tetaplah sebuah ancaman terhadap jiwa dan pikiran, karena tubuh sering dinilai menjerumuskan manusia ke adalm dosa dan nista.
Umat Islam, seperti umumnya umat Yahudi dan Kristen, dalam hal tertentu juga menaruh rasa curiga tehadap tubuh perempuan sebagai sumber dosa. Sebagian pandangan negatif itu muncul dari kultur Arab saat itu, yang memang memandang perempuan sebagai manusia kelas dua, dan sebagiannya lagi merupakan penafsiran yang bias terhadap Kitab Suci dan sunnah Nabi. Kedua hal ini memberikan pandangan yang sempit terhadap tubuh sebagai instrumen seksual yang harus diwaspadai dan diawasi. Agama Islam yang terlahir di Arab, tidak dapat dipungkiri lagi bersinggungan dengan mentalitas patriarki yang berkembang pada tradisi-tradisi monoteis sebelumnya. Sebuah mitos yang berkembang sejak dulu, namun masih terus dipertahankan hingga saat ini, meyakini bahwa laki-laki mempunyai gairah dan kekuatan seksual yang lebih kuat dari pada perempuan. Atas dasar inilah umat Islam membatasi seksualitas aktif perempuan untuk menjaga perempuan tetap dalam wilayah domestiknya. Dan menempatkan tubuh perempuan secara terus-menerus di bawah pantauan agama, karena agama menginginkan perempuan tetap bergantung padanya tanpa pernah mampu untuk mandiri.
Dalam pandangan Islam, juga agama-agama umumnya, hakikat manusia bukanlah pada tubuhnya, melainkan pada ruhaninya, pada hati dan pikirannya, yang teraktualisasi pada akhlak dan amal perbuatannya. Maka berbeda dengan binatang, tidaklah sepantasnya manusia mempertaruhkan harga dirinya pada tubuhnya. Dalam perspektif ini, maka manusia yang suka memamerkan tubuhnya, pada dasarnya tengah merendahkan martabatnya, membinatangkan dirinya. Pamer tubuh lazimnya dimotivasi oleh keinginan mendapatkan reaksi yang setimpal, reaksi tubuh yang bermuara pada nafsu yang juga khas tubuh, libido.
Pada dasarnya orang yang pamer keindahan tubuhnya adalah orang yang juga tidak memiliki kepekaan terhadap orang lain, terutama yang kebetulan dianugerahi tubuh yang buruk, cacat. Tubuh indah atau buruk adalah anugerah Tuhan, dengan hikmahnya masing-masing. Manusia tidak berhak menyombongkannya atau pun mencelanya. Memamerkan aurat dengan dalih hak asasi manusia. Karena sejatinya hak asasi manusia adalah hak yang melekat secara kodrati pada diri manusia sebagai makhluk Tuhan demi mempertahankan eksistensi dan martabatnya.
Secara umum, umat beragama tengah menghadapi dua arus besar yang sama dahsyatnya. Yaitu kapitalisme dan patriarki. Keduanya saling memberikan pandangan yang sempit bagi penyempitan makna tubuh dan seksualitas. Kapitalisme bekerja mendistorsi tubuh untuk dijadikan komoditas. Sementara patriarki mendiskriminasi tubuh agar tunduk dan patuh pada norma yang ada. Umat Islam berada dalam dua himpitan tersebut, di lingkungan tradisional patriarki terlihat lebih dominan. Disini tubuh dianggap identik dengan tabu, dan pembicaraan apapun tentang seksualitas akan ada vonis moral. Sementara di lingkungan yang lebih modern dan terbuka, kapitalisme mengambil alih patriarki dengan membiarkan tubuh secara liar untuk dijadikan objek, komoditas, dan hiburan. Agama dapat mengimbangi dua arus besar itu dengan semangat yang membebaskan manusia dari tindakan diskriminatif dan seimbang dalam urusan seksual.
Kontroversi Seksualitas
Pandangan Freud tentang seksualitas, terutama yang menyangkut anak-anak, menimbulkan kegemparan yang hebat pada zamannya. Ia mengatakan bahwa naluri seksual jauh lebih rumit daripada apa yang ada dalam anggapan orang sebelumnya. Impuls seksual telah ada sejak dilahirkan, tetapi segera disingkirkan oleh proses reresi yang progresif. Seksualitas dari para penderita neurosis dan penyimpangan biasanya masih berada dalam keadaan atau dikembalikan ke masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan puberitas dipenuhi dengan berbagai hambatan seksual dan perkembangannya bisa menjadi salah arah atau berhenti pada suatu tahap (fiksasi).
Definisi Freud tentang apa yang disebut seksual itu luas tidak seperti pemahaman kebanyakan orang tentang seksual. Teorinya tentang berkembangnya anak secara seksual telah menjadi suatu model bagi perkembangan psikologis dan sosial pada umumnya. Menurut Freud, perkembangan seksual yang normal seharusnya melewati tahap-tahap tertentu yang berlaku pada semua anak yakni tahap oral, anal, phallic, latensi, dan gemital. Orang bisa jadi terpaku pada tahap yang manapun. Kejadian ini disebut fiksasi. Freud mengembangkan suatu teori yang menggemparkan, yang disebutnya komplek Oedipus. Untuk menjelaskan dasar dari perkembangan psiko-seksual.
Menurut Michel Foucault, seks merupakan bagian dari ciri manusia sebagai mahluk yang berhasrat (the desiring subject). Pada zaman Yunani kuno, orang-orang mengolah hasrat seks menjadi bagian dari kegiatan yang sejajar dengan filsafat (philoshopy), ekonomi (economic), dan pengelolaan kesehatan (dietetics). Tampaknya Foucault memperlihatkan, bahwa kegiatan seks pun mempunyai prestise yang tinggi. Dan seperti halnya kegiatan-kegiatan yang lain, kegiatan seks pun memerlukan pengelolaan yang tidak sederhana, strategi dan perencanaan, pertimbangan dan keputusan yang tepat (The History of Sexsuality, vol. 2, Penguin Books, 1985). Akan tetapi dalam Abad Pertengahan atau era Kristen di Eropa, kegiatan seks menjadi sesuatu yang dianggap berbahaya dan ditakuti. Agamawan Kristen menjadikan seks sebagai sosok yang perlu diwaspadai karena menimbulkan hasrat yang kuat yang disebut nafsu, dan diberi label khusus sebagai “daging” (caro).
Salah satu buku psikologi yang menarik tentang seks ditulis oleh Eric Berne. Judulnya, Sex in Human Loving (Penguin Books, 1970) buku in telah dicetak berulang-ulang kali, sebelumnya Eric Berne juga menerbitkan buku yang sangat laris, Game People Play (Penguin Books, 1964). Dalam Sex in Human Loving, Berne tampaknya mengembangkan pikiran tentang permainan seks dalam pergaulan manusia.
Charles Pickstone, seorang pendeta Anglikan, dalam For Fear of the Angles (Hodder and Stoughton, London, 1996) mengemukakan perkembangan tendensi manusia dewasa ini dalam menggunakan seks untuk menggeser peran agama dalam hasratnya menyelami misteri dibalik kehidupan.
Franz Magnis Suseno, seorang rohaniawan Katolik mendefinisikan tentang kepornoan tersebut. Menurutnya, ada tiga kategori dalam soal ini yaitu indesensi, erotis dan porno. Indesensi adalah perilaku tak sopan, erotis bermakna lebih kepada kesadaran si subyek yang melihat, sedangkan porno adalah yang menyangkut kelamin, payudara dan hubungan seks di muka umum. Porno adalah segala apa yang merendahkan manusia sebagai obyek nafsu seksual saja. (Suara Pembaruan 22/02)
Pada zaman tradisional, manusia tidak terlalu peduli dengan penutup dari tubuh mereka. Pada saat itu pakaian tidak terlalu penting sehingga mereka harus mengenakannya. Ataupun kita bisa melihat sebagian warga kita di Papua di mana mereka hanya memakai koteka kemana pun mereka pergi. Akan tetapi sekarang ini pakaian bukan hanya menjadi kebutuhan untuk menutup tubuh (sebagai standar moral tertentu) tetapi sudah masuk ke dalam dunia modedi mana manusia dipaksa untuk memilih jenis pakaian tertentu untuk waktu tertentu dan tempat tertentu.
Saat ini fungsi pakaian tidak sekedar menutup tubuh untuk menghindari hawa dingin atau sejenisnya, tetapi sudah merupakan simbol untuk mengkomunikasikan kepada orang lain darimana dan dari golongan siapa mereka berasal. Pakaian, sekarang ini juga menunjukkan tentang kehalusan perempuan dan keperkasaan laki-laki. Apalagi kecantikan, dimana dahulu kecantikan dianggap sebagai nasib atau anugrah yang alami tetapi sekarang ini kecantikan bisa diperoleh dimana-mana dengan definisi tertentu ; rambut hitam panjang, kaki jenjang, gigi rata putih, perut langsing dan lain-lain
Namun, ada hal lain yang lebih penting dari sekedar tubuh. Hakikat manusia sebenarnya bukanlah pada tubuhnya melainkan pada ruhani, hati dan pikirannya yang teraktualisasi pada akhlak dan amal perbuatannya. Banyak sekali ayat al-Qur'an yang justru mempertanyakan keadaan pikiran dan hati manusia (afala ta'qilun, afala tadabbarun, afala tatafakkarun). Inilah yang membedakan manusia dengan binatang yaitu bukan pada tubuhnya tetapi akal dan pikirannya. Bahkan manusia yang tidak menggunakan akalnya akan dicap lebih hina dari binatang. Sungguh mengerikan nasib tubuh yang terpenjara oleh teks, baik teks keagamaan maupun undang-undang.
Kalau masih mau berbicara tentang ‘tubuh’ untuk diatur lebih detail, seharusnya pembuat kebijakan harus memiliki keperihatinan dan kepekaan atas nasib orang-orang yang hidup dengan keterbatasan tubuhnya agar lebih diperhatikan nasib dan hak sebagai warga negara. Atau mereka secara fisik sempurna, tapi hak-hak tubuhnya terampas oleh bentuk ketidakadilan ekonomi dan sosial. Dengan cara pandang seperti ini, jika ada manusia yang setiap hari sibuk dengan ‘tubuhnya’, maka sebenarnya telah merendahkan martabatnya. Apalagi jika memamerkan tubuh dimotivasi untuk mendapatkan uang misalnya, menyebarkannya melalui media maka implikasinya akan jauh lebih buruk. Oleh karenanya, aplikasikan wahyu seksualitas agama dengan akal pikiran dan hati nurani yang bersih.
*Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Bhinneka
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H