Dalam agama, sangat jelas tampak berlangsungnya konspirasi pengetahuan-kekuasaan. Pengetahuan yang terungkap di dalam norma-norma yang mengatur kehidupan seksualitas penganutnya adalah salah satu sisi dari mata uang yang sama dari kekuasaan. Visi tentang tubuh sangat mewarnai agama-agama dalam merumuskan norma-norma yang terkait dengan seksualitas. Pengetahuannya itu menentukan perilaku, cara berpikir, cara berbicara, cara berpakaian penganutnya.
Dapat dilihat bahwa dengan adanya isu seksualitas, naluri “agama” yang sebelumnya tidak pernah tampak dalam mengurus moralitas publik, perlahan mulai kambuh. Dalam tayangan di televisi, maupun media banyak ditampilkan gambaran agama sebagai hakim moral yang dapat menyelesaikan masalah, yang hanya dengan doa dan fatwa.
Agama manapun sebenarnya memiliki potensi untuk memunculkan pandangan negatif tentang seksualitas. Walaupun demikian, agama memiliki batasan-batasan tersendiri terhadap seksualitas, karena agama sebagai institusi juga berhak mengarahkan para pemeluknya pada suatu normalitas tertentu. Dengan demikian, agama mempunyai kepentingan dengan tubuh dan kejasmaniahan para pemeluknya, melalui para agen-agennya agam membuat peraturan religius tertentu tentang cara berpakaian, cara bergaul, dan etika dalam hubungan seksual.
Manusia diciptakan dengan tubuh dan hidup dengan dengan anggota tubuhnya, dalam pengalaman inilah ia bersekutu dengan hewan, yang sama-sama juga mengandalkan tubuh untuk memuaskan nalurinya. Walupun demikian, disisi lain manusia juga diciptakan dengan jiwa dan pikiran. Menurut para filusuf muslim, adanya jiwa dan pikiran inilah yang membuat manusia, meski memiliki status hewani, setara dan bahkan lebih mulia daripada para malaikat. Dengan begitu, pada dasarnya manusia adalah “mahluk yang unik” karena diciptakan dengan dua potensi yang berbeda. Di satu sisi, ia bukanlah malaikat yang beribadah melulu dan suci dari dosa, sebab ia hidup dengan tubuh dan naluri seksualnya. Sementara disisi lain, ia juga bukan hewan yang secara liar memuaskan tubuhnya. Keunikan inilah yang konon membuat para malaikat menjadi iri, sehingga merekapun menggugat tuhan “attaj’alu fiyha man yufsidu fi al-ard wa yasfiku ad-dima”, Tuhan membalas gugatan malaikat dengan “inni a’lamu ma la ta’lamuun”, Tuhan lebih mengetahui dari pada para malaikat tentang kemampuan manusia menjadi khlifatullah fi al-ard.
Dari cerita Kitab Suci, tampak bahwa Tuhan sebenarnya tidak mempermasalahkan masalah seksualitas. Tubuh manusia bukanlah ancaman bagi agama, karena Tuhan dengan segala ampunannya dihadirkan kepada manusia, justeru lewat tubuh itu manusia mempunyai suatu keunikan yang membedakannya dari malaikat. Tanggapan kaum agamawan terhadap apapun yang terkait dengan tubuh, kelamin, dan seks tidak jauh dari vonis moral. Awalnya adalah keprihatinan pada merosotnya “moral bangsa” yang kemudian berubah menjadi penilaian dan stereotip, hingga akhirnya muncul penghakiman-penghakiman.
Pada Abad Pertengahan, banyak raja menikmati jamuan selir-selirnya, sementara di dinding-dinding mereka terpampang ayat-ayat suci. Dan pada zaman modern, di Arab Saudi yang dikenal ketat menerapkan syariat Islam, banyak majikan memperlakukan para pembantu perempuannya secara tidak senonoh, di tempat dimana Kitab Suci setiap waktu dilantunkan, seks diam-diam jadi pemandangan sehari-hari. Moralitas puritan, meminjam istilah Farid Esack, muncul dari “teologi hukuman” (theology of punishmen). Setiap pelanggaran apapun terhadap agama, harus segera dihukum. Dalam teologi ini, Tuhan dibayangkan sebagai hakim yang menghukum kesalahan hamba-Nya, kesalahan apapun tidak bisa ditoleransi, karena hukum agama sudah jelas menetapkan siapa yang taat dan siapa yang berdosa.
Agama Sebagai Pengatur
Sepanjang sejarah, persepsi agama terhadap tubuh terus berubah dan berganti rupa, terkadang aagama mengklaim positif dan terkadang juga negatif. Tetapi, tubuh selalu menjadi persoalan penting dalam agama karena keberadaannya yang selalu didialektiskan dengan “roh” atau “jiwa”. Perbincangan apap pun tentang tubuh dalam agama, secara implisit maupun esplisit, pasti menyiratkan upaya mempertentangkan atau mempertemukan antara tubuh dengan roh/jiwa, tak terkecuali dalam agama Semitik.
Agama Yahudi, misalnya mengembangkan pandangan yang relatif positif terhadap tubuh. Para pemeluk agama Yahudi tidak mengenal dikotomi tubuh dan jiwa sebagimana yang ditanamkan secara turun temurun dalam filsafat dan kebudayaan Yunani. Agama Yahudi tidak menafikkan seksualitas dan menganggapnya sebagai berkah yang harus dirayakan. Seks bukanlah persoalan yang harus dikutuk dan ditakuti, bahakan aktivitas-aktivitas seksual seperti bersetubuh dan bercinta disikapi secara wajar. Bahkan konon dalam Perjanjian Lama, begitu banyak ajaran-ajaran moral yang dibumbui dengan metafora tentang persengamaan, anggur, dan percintaan. Pada hari Sabat, sembari istirahat dari kesibukan duniawi, umat Yahudi dianjurkan untuk memanjakan tubuh dengan makan, minum, dan kesenangan lahiriah lainnya, hari Sabat dipuji-puji dengan metafora sensual “pengantin suci” yang kedatangannya selalu dinanti dan didamba.
Agama Kristen cenderung mengambil sikap yang berbeda dalam menyikapi seksualitas. Agama ini mewarisi mentalitas Yunani yang ambigu dan mendua tentang tubuh. Disatu sisi, tubuh diyakini sebagai penjelmaan dari roh kudus sehingga bersifat sakral, suci, dan memiliki kualitas spiritual. Tetapi disisi lain, tubuh tetaplah sebuah ancaman terhadap jiwa dan pikiran, karena tubuh sering dinilai menjerumuskan manusia ke adalm dosa dan nista.
Umat Islam, seperti umumnya umat Yahudi dan Kristen, dalam hal tertentu juga menaruh rasa curiga tehadap tubuh perempuan sebagai sumber dosa. Sebagian pandangan negatif itu muncul dari kultur Arab saat itu, yang memang memandang perempuan sebagai manusia kelas dua, dan sebagiannya lagi merupakan penafsiran yang bias terhadap Kitab Suci dan sunnah Nabi. Kedua hal ini memberikan pandangan yang sempit terhadap tubuh sebagai instrumen seksual yang harus diwaspadai dan diawasi. Agama Islam yang terlahir di Arab, tidak dapat dipungkiri lagi bersinggungan dengan mentalitas patriarki yang berkembang pada tradisi-tradisi monoteis sebelumnya. Sebuah mitos yang berkembang sejak dulu, namun masih terus dipertahankan hingga saat ini, meyakini bahwa laki-laki mempunyai gairah dan kekuatan seksual yang lebih kuat dari pada perempuan. Atas dasar inilah umat Islam membatasi seksualitas aktif perempuan untuk menjaga perempuan tetap dalam wilayah domestiknya. Dan menempatkan tubuh perempuan secara terus-menerus di bawah pantauan agama, karena agama menginginkan perempuan tetap bergantung padanya tanpa pernah mampu untuk mandiri.