Mohon tunggu...
Mahbubah mahmud
Mahbubah mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Petualang literasi

Seseorang yang ingin terus belajar dan belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ayah

23 Oktober 2020   14:09 Diperbarui: 23 Oktober 2020   14:22 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Mimpi itu membuatku merencakan kepulangan minggu depan. Sekarang masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Dua puluh klien menunggu sidang akan digelar. Mulai dari kasus korupsi hingga narkoba. Semua menyita waktu. 

Gedung berlantai lima di depanku mulai ramai. Saat memasuki kantor, asistenku sudah menunggu. Ia menyerahkan berkas-berkas klien yang sudah lengkap dan butuh tanda-tanganku. Dengan malas kuminta dia menaruh saja dulu di atas meja dan memintanya keluar ruangan. 

Aku ingin sendiri sejenak. Menuang air putih dari dispenser ke dalam gelas lalu mereguknya tandas. Sedikit melonggarkan sesak yang menyumpal dada dan tenggorokan. Menatap kota Surabaya dari ketinggian gedung Menara Mutiara lantai empat.

 Ribuan atap rumah diselimuti awan tipis bercampur polusi. Di bawah sana kendaraan tampak kecil-kecil seperti mainan Hotweels koleksi Randy. Semua sibuk, macet dan berputar tiada henti. Tentu sangat berbeda dibanding dengan kampung halamanku nan damai. 

Tiba-tiba melintas bayangan ayah di sana dengan memakai topi khas jaman belandanya. Duduk di bangku kayu mengawasi para pekerja di kebun kopi miliknya dengan senyum sedang menggenggam biji kopi yang telah tua. 

Di antara ribuan pohon dan dedaunan, para pekerja kebun, dan seorang pengawas yang ia percaya, menghirup udara kesunyian nan sepi seorang diri. Bukan tak pernah memikirkan hal ini, tetapi aku merasa jiwaku bukan di sana. 

Beberapa kali aku meminta agar ayah mau ke kota, tinggal bersamaku supaya tidak kesepian, tetapi ditolaknya mentah-mentah, kebun kopi adalah darahnya. Katanya, seharusnya akulah yang pulang ke pelimbahan, menjadi seperti yang diharapkan. 

Bukan malah mengurusi berbagai macam kasus orang. Aku terkekeh. 

"Kerja kok ngurusi kasus orang. Kayak gak ada kerjaan lain. Kebun kopimu tak akan habis dimakan tujuh turunan. Kenapa capek-capek kerja beginian?" Ejeknya waktu datang beberapa bulan lalu ke  apartemen. 

Aku hanya menertawakan ejekannya. Percuma disanggah, yang ada nanti kita hanya berdebat tak bertemu muara. 

Ketukan di pintu membuatku tersadar bahwa sudah tiga puluh menit tak beranjak dari jendela kaca. Aku merapikan baju dan dandanan. Ada beberapa klien janji mau bertemu hari ini. Segera kubuka pintu untuk mempersilakan masuk. Seorang wanita cantik dengan perut buncit berdiri di depan pintu. Sedikit mengernyit dahiku mencoba mengingat, siapa klienku yang ini? Sepertinya aku belum pernah bertemu dengannya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun