Ia sangat pandai mengurus usaha perkebunan, kan?" Rajukku.Â
"Lalu? Kamu akan serahkan semuanya ke dia? Kamu curang."Â
"Maksud, Ayah?" Alisku mengangkat sebelah. Tak mengerti.Â
"Kecuali kalau kamu menikah dengannya. Itu baru adil." Kalimat ayah yang terakhir sangat menohok.Â
Aku tergelak hingga bahuku berguncang-guncang. Beberapa hari setelah perbincangan itu ayah jadi sering mengirim pesan, bertanya apakah aku sudah punya calon pendamping. Banyak alsannya, ayah ingin segera menimang cuculah, ingin melihat dan mendampingiku di pelaminan, biar ada temannya, dan alasan lain.Â
"S2 sudah, kerja sudah, tinggal nikahnya yang belum," sindirnya suatu ketika. Hal ini sempat membuatku gundah.Â
Randy-pacarku-selalu menolak saat kuajak ke Jember, kota kelahiranku. Alasannya ada saja, dari belum siap hingga sibuk kerja. Padahal hubungan kami sudah berjalan lebih dari dua tahun.Â
Aku jadi serba salah. Tidak menuruti saran ayah, tetapi tidak juga kunjung membawa calon menantu untuknya.Â
Terkadang, ada sebersit rasa yang mengganggu benakku. Beberapa kali teman sekantor mengingatkan, memintaku untuk menyelidiki latar belakang Randy, tetapi rasa cinta yang sudah membelenggu jiwa, membuat aku tak pernah dan tai ingin meragukannya.Â
***Â
Pagi ini aku berangkat ke dengan  pikiran yang masih kacau karena mimpi semalam. Suara ayah yang memanggilku dengan nada yang khas. Seolah sangat nyata.