"Siapa?" tanyaku.Â
"Maaf, ini rumah Bu Retno Wilujeng?"Â
"Iya, saya sendiri. Ada perlu apa ya, Dik?" Dia mengeluarkan sebuah dompet hitam dari dalam tas coklat selempangnya.Â
"Ini dompet Ibu, saya temukan tergeletak di jalan Ubi." Seketika mataku terbelalak saking gembiranya.Â
Ingin rasanya kupeluk erat ia. Namun urung. Aku tidak mengenalnya.Â
***Â
Dua minggu berlalu. Kuminta dia datang ke sebuah kafe melalui pesan WA. Kami bertemu. Aku ingin mentraktir dan mengenal lebih jauh dalam suasana santai. Sebagai balas budiku.Â
Kopi hitam Arabica dan roti bakar madu menjadi pilihannya. Aku sendiri memesan Lechee tea dan Samosa.Â
Sebuah mata bening dengan alis tebal, wajah bulat dan bersih, membuatnya terlihat menarik. Ada rasa nyaman menatapnya. Aku tersenyum sinis. Dua puluh tahun aku dalam kesunyian.Â
Duniaku terhenti sejak saat itu. Baru sekarang aku kembali memerhatikan wajah seorang pria. Sepertinya ini konyol. Kupikir hal ini hanyalah sebuah kekaguman biasa, karena kebetulan dia mempunyai wajah yang enak dilihat. Tidak mungkin akan terjadi sesuatu yang lebih. Apa lagi jika harus dihubung-hubungkan dengan rasa.Â
Kami berbicara banyak hari itu. Namanya Anugrah. Dia memperkenalkan diri waktu di rumahku. Sebuah nama yang indah. Aku melihat caranya makan roti bakar, menyesap kopi arabica dengan matanya yang terpejam. Semuanya seolah menyihirku. Aku mulai terhipnotis.Â