Setiba di sana, rumah sepi. Awalnya kita hanya ngobrol. Aku bertanya mengapa sepi? Ke mana Mama dan Papa? Dia mengajakku ke kamar. Dalihnya di sana ada Mamanya yang ingin bertemu. Tak disangka, dia mengunci kamar dan melakukan pemaksaan hubungan terlarang.Â
Sepulang dari rumah Reno aku gemetar. Bermacam-macam pikiran berkecamuk. Antara benci, malu, takut, dan jijik pada diri sendiri. Sedangkan Reno sudah tak lagi peduli. Dia pergi ke lain hati seolah tak pernah terjadi apa-apa denganku.Â
Kesedihan itu bertambah saat sebulan kemudian aku tidak haid.ya, aku hamil. Lima bulan aku menyembunyikan hal ini pada Ayah dan Ibu. Aku begitu takut. Bermacam-macam obat kutelan untuk mengugurkan kandungan tapi tidak berhasil.Â
Bulan keenam Ibu mengetahui karena melihat pembalut yang dibelikan setiap bulan menumpuk di rak. Juga melihat perubahan tubuhku yang tidak seperti biasa. Aku ditanya apa yang terjadi.Â
Aku menceritakan semua. Bahwa aku diperkosa oleh pacar sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya. Begitu juga Ibu. Sama sekali tak menyangka bahwa ini terjadi pada putrinya yang selama ini dianggap penurut, pandai, dan baik. Akhirnya dicarilah jalan keluar.Â
Setelah tahun ajaran baru aku diungsikan ke rumah Mbak Ijah pembantu di rumah Ibu. Aku melahirkan di sana. Namun, musibah datang. Sehari paskah melahirkan aku mengalami depresi. Istilah jaman sekarang disebut babyblues.Â
Aku jijik melihat bayiku. Tidak mau menyusui, tidak mau melihat, dan selalu ingin membunuhnya. Melihat kondisiku seperti itu, Ayah dan Ibu segera membawaku ke rumah kembali. Sedangkan bayiku tetap di desa bersama Mbak Ijah.Â
Mbak Ijah sangat senang dengan bayiku. Dia minta ijin untuk mengadopsi. Sedangkan aku sudah tak ingin melihatnya sama sekali. Sebab dia adalah luka yang digoreskan oleh seorang yang sangat kubenci. Ayah dan Ibu setuju. Mbak Ijah sudah tidak lagi bekerja di rumah kami, tetapi kiriman uang dan segala kebutuhan bayiku tetap dipenuhi orang tuaku.Â
Aku kembali bersekolah. Reno sudah lulus dan tak tampak batang hidungnya lagi. Semua berjalan normal. Hanya satu yang belum sembuh, aku tak bisa melihat bayi. Selalu ketakutan dan ingin pergi. Hal yang sama terjadi jika ada laki-laki yang ingin mendekati dan ingin mengutarakan perasaan.Â
Trauma itu tiba-tiba hadir lagi dan itu membuatku terguncang. Akhirnya aku memilih pergi dari kotaku dan mencari pekerjaan sesuai bidang. Berharap tak ada tetangga atau kerabat yang bertanya kapan aku menikah. Di kota ini aku tak mengenal siapa-siapa.Â
Tak disangka, saat aku sudah bisa berdamai dengan keadaan, kami dipertemukan. Esoknya setelah kami bertemu di acara wisuda Anugrah, Mbak Ijah bercerita bahwa rumahnya yang di desa diminta kembali oleh suaminya karena sudah bercerai.Â