Entah laki-laki atau perempuan. Aku memang hidup sendiri di kota ini. Demi menyembuhkan luka yang teramat dalam di masa lalu. Dan aku juga belum menikah. Selalu menghindar saat ada yang berusaha dekat maupun menjodohkan dengan siapa saja. Baik itu teman kantor ataupun kerabat.Â
Hatiku terkunci rapat.Â
"Hmm, kalau Bunda keberatan, tidak usah dijawab dulu," Anugrah tampak merasa bersalah melihat ekspresi wajahku yang mendadak murung teringat masa silam.Â
"Oh enggak. Gak papa kok," jawabku turut serba salah.Â
Dia masih menatapku. Kali ini tangannya mengambil cup kertas di tanganku dan meletakkannya di bangku beton pembatas pot bunga taman. Lalu jemari tanganku digenggamnya erat.Â
Dia menunggu jawabanku. "Masih belum ada yang menggerakkan hatiku."Â
Aku menunduk. Merasa malu membalas tatapannya, dan yang lebih membuatku tak nyaman adalah detak jantung yang semakin tak karuan. Daun-daun pohon Tabebuya luruh tertiup angin. Bunganya jatuh di kursi yang kami duduki. Wajahku yang panas terasa sejuk diterpa angin malam. Aku menarik tangan perlahan.Â
Pukul sepuluh malam dia bangkit, membuang sampah cup ke tempat sampah dan mengulurkan tangan mengajakku pulang.Â
Sesampai di rumah  Anugrah memasukkan motorku ke garasi. Setelah itu dia mengambil motor bututnya yang ia parkir di bawah pohon jambu.Â
Dia berpamitan. Mengambil tangan dan menciumnya pelan. Kali ini agak lama. Satu tangannya ikut menggenggam.Â
"Nunu pulang Bunda, selamat beristirahat."Â