Banyak sekali pedagang dan penjual jasa main untuk anak-anak. Kami berjalan beriringan layaknya ibu dan anak bujangnya. Tempat ini cukup ramai menurut ukuranku yang asosial. Aku lebih sering sendiri. Menyendiri tepatnya. Luka di masa lalu terhadap seorang lelaki membuat sebuah lubang menganga di dalam sini.Â
Malu dan sakit hati telah dicampakkan dan dikhianati. Membuat aku memenjara diri dari hubungan dengan dunia luar, terutama laki-laki.Â
Kehadiran Anugrah benar-benar merupakan anugerah buatku. Dua puluh tahun. Harus selama itukah hatiku menghapus luka?Â
Di sebuah kursi taman yang terbuat dari besi, dia duduk, dan memberi ruang padaku untuk duduk di sebelahnya. Menghadap jalanan yang masih ramai. Diterangi lampu kota temaram. Seorang penjual minuman datang menawarkan dagangan. Dia memesan kopi instan. Cekatan penjual itu menyeduh di cup kertas.Â
"Bunda minum apa?" tawarnya padaku.Â
"Milo hangat," jawabku tanpa menolehnya. Aku masih asyik dengan cara kerja tukang kopi. Anugrah lebih dulu menerima cup kopinya, kemudian aku. Sejenak kami sama terdiam. Menikmati minuman hangat di genggaman masing-masing.Â
Diam-diam aku memerhatikan. Rambut ikalnya tertiup angin malam. Rahangnya kokoh, bahunya bidang dan tegap. Matanya teduh. Kembali dada ini berdesir lembut. Â Ada yang berdegup. Tak kuduga dia menoleh, mata teduhnya menatapku, lalu tersenyum lembut. Aku gelagapan dan berusaha mengalihkan pandangan.Â
Dia menyentuh jemari kiriku yang tidak memegang cup Milo. Menggenggamnya dan mengelus pelan, kemudian melepasnya. Hatiku semakin tak karuan.Â
"Bunda, boleh saya bertanya?" Tanyanya. Aku menoleh.Â
"Ya. Tentu saja boleh," jawabku gugup.Â
"Kenapa, Bunda tidak menikah?" Ya, beberaoa kali bertemu aku dan Anugrah pernah membicarakan statusku, karena dia tak pernah melihat siapa pun di dekatku baik saat di rumah maupun di luar.Â