[caption caption="Illustrasi Sweet Silence Source : http://www.wallpaperpcmobile.com/"][/caption]Mayang berlari secepat kilat meninggalkan kelas begitu pelajaran sekolah usai. Baginya sekolah itu mirip penjara. Mengurungnya tujuh jam sehari lima hari seminggu. Kalau saja diperbolehkan ibu, dia pasti dengan senang hati memilih keluar. Lebih asyik bermain di sawah opa, begitu dia memanggil kakeknya, atau membantu ayah mengurus pabrik tahu miliknya. Tapi ibu selalu berkata, "Mayang anak ibu satu-satunya, harus sekolah setinggi mungkin. Jangan seperti ayah atau ibu yang cuma lulusan sma". Maka Mayang pun terpaksa menurut. Sebandel-bandelnya Mayang, dia tidak pernah melawan ibunya.
"Ibuuuu!"teriak Mayang sambil berlari-lari kecil menghampiri ibunya yang sedang merawat tanaman di persemaian bibit bunga milik Ibu. Ibu nampak melambai-lambaikan tangannya yg kotor oleh tanah. Mayang terus berlari lincah ke arah Ibu dan memeluk erat punggungnya. Ibu tertawa. "Ibu...ibu...apakah Ibu sudah menulis lagi?" tanya Mayang antusias. Nafasnya masih terengah-engah. Ibu menggelengkan kepala. "Kenapa? Bukankah Ibu bilang semalam mimpi itu datang lagi?" Mayang kembali bertanya. Ibu tetap menggeleng. "Tidak Mayang, Ibu tidak akan pernah menulis lagi. Ibu sudah bahagia hidup begini. Sekarang mandilah dan bersiap untuk makan siang. Ayahmu mungkin sebentar lagi jg pulang dari pabrik. Kita makan bersama" tegas Ibu berkata.
Mayang meninggalkan Ibu dengan wajah lesu. Hatinya sangat kecewa. Baginya berhenti menulis itu keputusan yang salah. Dengan menulis Ibu bisa berbuat banyak untuk orang lain. Ibunya, bukan penulis biasa. Orang sering menyebut Ibu sebagai fortune teller, peramal, penulis takdir atau kejadian yang akan datang. Bukankah itu sesuatu yang luar biasa? Opa Matsumoto bilang tulisan Ibu selalu diburu dan dinantikan mass media. Banyak juga para pesohor negeri yang mendatangi Ibu. Popularitas luar biasa. Sayang, itu semua hanya bisa didengar dari cerita opa. Ibu berhenti menulis sejak sebelum Mayang lahir. Ingin sekali rasanya Mayang melihat masa keemasan Ibunya kembali. Mayang selalu ingin membanggakan Ibu, seperti selalu dilakukan teman-temannya.
------------
Namaku Michiko, hanya itu. Mi artinya Cantik, Chi berarti Bijak dan Ko berarti Anak. Lahir dari ibu Jawa dan ayah bekas tentara Jepang yang tidak mau kembali ke negaranya. Sekilas orang tidak akan pernah menyangka aku separuh Jepang. Kulitku sawo matang, mataku lebar. Tidak seperti ketiga kakakku yang putih dan sipit. Tapi ayahku, Kiyonaga Matsumoto, paling menyayangiku. Mungkin karena aku bungsu dan anak perempuan satu-satunya.
Sejak kecil aku sudah merasa ada yang berbeda denganku. Aku sering bermimpi aneh yang sama dan berulang kali. Kata ayah, sewaktu kecil aku sering terbangun di tengah malam dan tidak tidur lagi hingga pagi. Aku sering merasa ketakutan atau marah tanpa sebab. Tapi tidak mau menceritakan pada siapapun. Sebetulnya bukan aku tak mau bercerita, tapi aku sendiri tidak tahu apa yang harus kuceritakan. Mimpiku? Bukankah semua orang juga bermimpi?
Ketika aku berusia 12 tahun, akhirnya aku tidak bisa membendung otak bawah sadarku. Suatu hari aku tiba-tiba mengambil secarik kertas, lalu menulis seperti orang kesurupan. Menulis tanpa berhenti selama tiga jam tanpa sedikit pun berhenti. Seolah tanganku dikemudikan oleh orang lain. Ketika tulisan selesai, aku membawanya kepada ayah. Beliau terbelalak membacanya.
"Kenapa menulis seperti ini? Dari mana kamu mendapat ide ini? Ini tulisan yang sangat detail,Michiko. Dari mana idemu? " ayah bertanya berulang." Dari mimpi mimpiku Ayah. Itu semua mimpi yang mendatangiku selama tiga hari berturut-turut". Ayah terbelalak. "Mimpi yang sama?". Aku mengangguk membenarkan. Ayahku kemudian pergi dengan membawa kertas tulisanku. Kata Ibu, ayah mengunjungi kantor redaksi koran setempat. Sore hari baru ayah pulang dengan wajah suram. "Mereka tidak mau memuatnya. Mereka malah menertawakanku. Tapi kupikir-pikir, benar juga, koran kan memuat berita berdasar fakta, dan bukan tulisan bersumber mimpi seperti ini" kata ayah. Aku diam. Hatiku sudah cukup lega bisa menuliskan semua isi mimpiku. Sebelum menuliskannya, aku sering dilanda sakit kepala yang hebat, jantung berdebar-debar dan hati selalu ketakutan.
Seminggu setelah kejadian itu, semua orang di rumah sudah mulai lupa. Demikian pula aku. Tiba-tiba, suatu hari ayah memanggilku ke ruang tamu. Di situ kulihat dua orang pria sebaya ayah.
"Michiko chan, masih ingat tulisan yang kau berikan pada ayah seminggu lalu?”Aku mengangguk. “Kau masih menyimpannya?" tanya Ayah lagi. Aku masuk ke kamar mengambil kertas tulisanku dan mengulurkan pada Ayah.
Beberapa saat kemudian kulihat ayahku dan dua orang pria tadi sibuk berbicara dengan nada pelan, nyaris berbisik. Wajah mereka sangat serius. Sekali dua kali aku ditanya. Pertanyaan biasa. Seputar dari mana aku mendapat ide menulis, kapan aku membuatnya, kegiatanku sehari-hari. Kemudian mereka meminta kami berfoto bersama.
Esok harinya ketika aku membuka koran pagi, barulah aku paham apa yang terjadi. Headline mencolok terpampang di halaman pertama "Kematian presiden sudah diramalkan oleh gadis cilik, Michiko". Di bawah headline, ada fotoku bersama ayah dan ibu. Di sebelahnya ada foto kertas tulisan tanganku. Ya, itulah yang kutuliskan di kertas. Kecelakaan maut yang mengakibatkan terbunuhnya presiden bersama seluruh keluarganya. Aku menuliskan dengan sangat detail hingga tanggal dan jam peristiwa itu terjadi. Semua tepat. Termasuk siapa saja yang ikut meninggal. Satu hal yang meleset, ada satu nama ajudan presiden yang ternyata selamat dan masih hidup meski terluka parah. Kontan hari itu semua orang geger. Namaku menjadi bahan perbincangan utama di mana-mana.
Tapi ternyata hal itu berakibat buruk bagi aku dan keluargaku. Ketenangan kami mulai terusik. Berbagai media dari segala penjuru negeri datang menemuiku. Orang orang berdatangan minta diramalkan nasibnya. Mereka tak peduli sekalipun Ayah menjelaskan bahwa aku hanya bisa menulis yang kumimpikan. Tulisanku terus dinantikan. Aku diminta tampil di televisi ini dan itu. Yang lebih parah lagi, segala hal yang berkaitan denganku terus menjadi konsumsi publik. Bahkan ada yg nekat menemui ibuku, meminta baju bekasku, potongan rambut, air bekas mandi dsb untuk jimat. Dan masih banyak hal tidak masuk akal lainnya. Publik betul-betul menggila.
Tapi di sisi lain aku sedikit merasa senang. Selain rasa sakit di kepala menjadi berkurang, mimpiku pun didengar. Tulisan tulisanku dibaca dan dinantikan. Kalau aku menuliskan ada jembatan di A akan roboh, maka pejabat tergopoh gopoh melakukan investigasi dan perbaikan. Kalau aku menulis daerah B akan terserang wabah penyakit, maka pasukan medis langsung bertindak. Aku benar-benar seperti pahlawan kecil bagi publik.
Sampai akhirnya terjadilah yang tidak kuduga. Aku menuliskan bahwa tiga buah pulau buatan milik seorang developer ternama akan hancur dilumat tsunami. Pengembang itu mengancam redaksi koran agar tidak menerbitkan tulisanku. Karena ditekan habis habisan, awak redaksi pun menuruti. Ayah sangat marah pada koran tersebut. Tetapi kemudian, ganti ayah yang diancam & diteror oleh developer tersebut. Karena merasa keadaan makin tidak kondusif, Ayah memutuskan membawa kami sekeluarga pindah jauh nun di pelosok desa. Aku sama sekali tidak berkeberatan. Bagiku selama ini toh kedamaianku sudah terampas. Desa akan menjadi tempat yang lebih tenang bagi kami.
Sebulan tinggal di desa, aku sudah merasa sangat nyaman. Bangun pagi mendengar kicauan burung, suara ibu bernyanyi lepas tanpa takut suara sumbangnya terdengar tetangga. Ayah juga nampak bahagia bekerja menggarap sawahnya.
Pagi itu aku menyalakan televisi. Di desa kami sangat jarang menonton tv. Alam dan sekitarnya adalah sahabat kami yang lebih mengasyikkan.
Breaking news! Mataku melotot seolah mau keluar dari rongganya. Badan gemetar. Keringat dingin mengucur. Aku menjerit memanggil Ayah. Bukan cuma Ayah, tapi ibu dan kakak kakakku juga terburu buru datang. Yang kutuliskan benar benar terjadi ! Tsunami dahsyat menenggelamkan ketiga pulau yang pernah kusebut. Aku memang tidak menuliskan tanggal ramalan, tapi bulannya tepat ! Bahkan jumlah ribuan korban persis seperti yang kutulis.
Aku shock selama seminggu. Aku merasa bersalah. Masih terbayang jelas di mataku, ribuan jasad laki perempuan tua muda ,terombang ambing dihempas dahsyatnya tsunami. Apartemen, ruko, sekolah, stadion di pulau itu tak satupun yang selamat, semua hancur luluh. Andai saja mereka mempercayaiku, mungkin jumlah korban bisa dihindari. Setiap malam aku menangis di pelukan Ibu. Ayah tak henti-hentinya meyakinkan aku. “Michiko chan tidak bersalah...kamu tidak bersalah”. Demikian kata ayah berulang-ulang.
Peristiwa itu menjadi titik balik bagiku. Aku berhenti menulis, nyaris berhenti sekolah, tidak pernah melihat televisi apalagi membaca koran. Aku benar benar memilih mengasingkan diri dari dunia luar. Aku memilih menahan sekuat tenaga rasa sakit di kepalaku daripada harus menuliskan mimpiku lagi. Tidak, semua sudah cukup.
Lulus SMA aku memutuskan menikah saja agar tidak perlu ke kota untuk kuliah. Ayah tidak pernah mengkritik keputusanku. Dia sangat tahu pemikiranku.
Menikah memberiku ketenangan batin. Setiap kali aku harus berkutat dengan rasa sakit di kepala, suamiku dengan sabar akan memeluk dan menenangkan aku. Tapi sepertinya Mayang, anakku semata wayang itu tetap tidak bisa mengerti alasanku berhenti menulis. Ah dia masih terlalu muda untuk paham, usianya baru 15 tahun.
-----------------------
Malam sudah berganti ke dini hari. Udara terasa makin dingin menusuk tulang. Suara kepak sayap kelelawar yang sedang mencari makan sayup terdengar. Suara jengkerik sesekali juga terdengar. Matsumoto belum bisa memejamkan mata. Istrinya sudah tertidur sejak tadi. Masih terngiang-ngiang di telinganya, kata-kata Mayang siang tadi.
“Opa...kurasa....kurasa...aku seperti Ibu”, tutur gadis mungil itu padaku. Dia dan aku sedang menghabiskan waktu bersantai di dangau. Menunggui para pekerjaku menuai padi.
“Maksudmu ?”
“Opa...aku seperti Ibu. Aku..aku bisa melihat masa depan. Tidak dalam mimpi. Aku melihat bayangan langsung di depan mata”
Aku terkejut. Kupandangi dengan seksama mata Mayang. Sorot matanya nampak jujur. Cucu kesayanganku ini memang tidak pernah berbohong. Tapi betulkah kata-katanya kali ini ?
“Opa...aku tidak berbohong...mulanya aku tidak mengerti opa...tapi sekarang aku tahu itu bayangan yang akan terjadi”
“Dari mana Mayang tahu itu kejadian yang akan terjadi ? Bisa saja itu hanya imajinasi kan”
“Opa...opa tahu kang Sarmin itu ? “ Mayang menunjukkan jarinya ke arah salah satu pekerjaku di sawah.
“Ya, kenapa dengannya ?”
“Besok dia akan didatangi pak Lurah. Bibinya akan meninggal malam ini dan mewariskan seluruh hartanya ke kang Sarmin. Kang Sarmin akan menjadi kaya raya mendadak”
Aku melotot. Rasanya sulit dipercaya.
“Bedanya dengan Ibu, Mayang hanya bisa melihat apa yang terjadi dengan orang di sekitar Mayang saja” katanya lagi.
“Opa tidak percaya kan ? Opa tunggu sampai besok”, Mayang tersenyum lebar lalu berpamitan untuk pulang ke rumah. Belum ada lima langkah dari dangau, Mayang membalikkan badan dan meneriakkan kata-kata “Opa, malam ini nggak akan bisa tidur ! Opa akan kalah banyak taruhan bola dengan teman Opa ! “ Dia berlari sambil tersenyum nakal.
Kata-kata Mayang siang tadi betul terjadi. Malam ini aku tidak bisa tidur. Taruhan bola yang kupasang minggu lalu ternyata meleset. Aku kalah dua juta. Angka yang sebetulnya tidak terlalu banyak tapi cukup membuat marah perempuan di sebelahku ini. Kalau esok ramalannya pada Sarmin betul terjadi, aku harus menyikapi Mayang dengan lebih serius.
Aku kembali terpekur...merenungi apa yang terjadi dengan Michiko dan Mayang. Ibunya almarhum, Sayuri, memiliki kemampuan yang sama. Waktu aku dikirim bertugas ke Jawa, Ibu tidak melepas kepergianku dengan tangis seperti ibu-ibu yang lain. Ibu malah tersenyum bahagia. “Kau tidak usah kembali, kau akan menemukan mutiaramu di negeri seberang. Hiduplah berbahagia dengannya”. Dan betul, aku menemukan perempuanku di sini. Dan aku memang tidak perlu kembali. Seluruh keluargaku di Jepang sana sudah tewas. Untuk apa aku kembaliMungkinkah bakat putri dan cucuku ini adalah bukti cinta Ibu padaku ? Entahlah.
Ketika pagi datang dan aku bersiap pergi ke sawah, Sarmin datang bersama pak Lurah. Aku langsung tahu bahwa Mayang benar. Sarmin nampak kaget waktu aku menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya bibi Sarmin, sementara dia sendiri belum berucap apa-apa. Sarmin berpamitan untuk mengurus pemakaman bibi dan surat wasiatnya.
Ketika Sarmin berpamitan pada Mayang, gadis itu tersenyum lebar sambil melirik ke arahku. Dia tahu Opa nya terpaksa harus mengakui kebenaran ramalannya. Tapi yang membuat kami semua terkejut adalah kata-kata Mayang selanjutnya.
“Selamat ya kang, kakang akan menjadi kaya raya besok. Mayang cuma berpesan satu hal, jangan menikahi pacar kang Sarmin yang dulu. Itu tidak akan baik bagi kesehatan kakang. Menikahlah dengan perempuan lain”. Michiko nampak melotot. Dia mencubit lengan Mayang.
“Ibu...kenapa mencubitku ? Aku hanya menyampaikan apa yang kulihat !” Mayang balas melotot.
“Maaf...maaf Sarmin, Mayang kadang-kadang memang suka bicara ngawur. “ aku menengahi. Setelah mereka berpamitan, aku memanggil Mayang.
----------------------------------------------------------------------------------------
“Mayang....ada waktunya kamu bisa bicara, ada waktunya kamu harus diam”
“Tapi Opa...aku melihatnya. Aku melihat bayangan kang Sarmin dan pacarnya, aku melihat bayangan mereka menikah, aku melihat bayangan kang Sarmin tergeletak sakit parah. Aku melihat semuanya dengan jelas ! Aku tidak bisa berbohong ! “
Istriku buru-buru menutup pintu rumah. Kami takut suara Mayang yang keras akan terdengar dari luar.
“Mayang...baiklah, Opa mengerti. Tapi tolong, sebelum kau menyampaikan sesuatu pada orang lain, sampaikan dulu pada Opa. Belum tentu apa yang kau lihat sesuai dengan kesimpulan yang kau tarik. Ini perintah Opa, kau tidak boleh menolak. Paham ?”
Aku mencoba bijak tapi juga tegas. Aku tidak mau ketenangan hidup kami akan terusik kembali. Mayang mengangguk lesu. Cucuku sayang, Opa hanya ingin kalian semua hidup tenang, tidak ada keinginan Opa yang lain. Kataku dalam hati. Aku yakin Mayang tak sepenuhnya menerima. Jiwa remajanya sedang bergejolak, ini masa pencarian identitas diri. Darah mudanya tidak akan menerima begitu saja. Aku menangkap sorot pemberontakan dalam kerjap matanya.
-------------------------------------------------
Mayang duduk di lantai kamarnya. Wajahnya suram. Hatinya mendidih. Dia kesal dengan sikap Ibu dan Opa.
“Apa salahku, aku hanya menyampaikan kebenaran. Bukan, bukan kebenaran. Tapi sesuatu yang akan benar terjadi. Bukankah itu bagus ? Aku bisa mencegah keburukan. Aku bisa memperbaiki keadaan. Aku tidak mau seperti Ibu. Mengurung diri seperti siput. Tidak, aku bukan Ibu. Aku akan memilih jalanku sendiri”.
Bergegas dia mengambil tas ranselnya. Buru-buru memasukkan beberapa lembar pakaian, dompet dan ponsel. Lalu mengendap-endap keluar kamar dan rumah. Sejurus kemudian dia sudah berada di atas bus antar kota. Tujuannya adalah Ibu Kota. Ya, dia akan mengadu nasib di sana. Mayang yakin, dengan kemampuan uniknya, dia akan bisa menggapai popularitas. Dia ingin terkenal. Dia tidak mau berakhir seperti ibunya. Terpuruk dalam kesunyian desa.
( Bersambung )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H