Sebulan tinggal di desa, aku sudah merasa sangat nyaman. Bangun pagi mendengar kicauan burung, suara ibu bernyanyi lepas tanpa takut suara sumbangnya terdengar tetangga. Ayah juga nampak bahagia bekerja menggarap sawahnya.
Pagi itu aku menyalakan televisi. Di desa kami sangat jarang menonton tv. Alam dan sekitarnya adalah sahabat kami yang lebih mengasyikkan.
Breaking news! Mataku melotot seolah mau keluar dari rongganya. Badan gemetar. Keringat dingin mengucur. Aku menjerit memanggil Ayah. Bukan cuma Ayah, tapi ibu dan kakak kakakku juga terburu buru datang. Yang kutuliskan benar benar terjadi ! Tsunami dahsyat menenggelamkan ketiga pulau yang pernah kusebut. Aku memang tidak menuliskan tanggal ramalan, tapi bulannya tepat ! Bahkan jumlah ribuan korban persis seperti yang kutulis.
Aku shock selama seminggu. Aku merasa bersalah. Masih terbayang jelas di mataku, ribuan jasad laki perempuan tua muda ,terombang ambing dihempas dahsyatnya tsunami. Apartemen, ruko, sekolah, stadion di pulau itu tak satupun yang selamat, semua hancur luluh. Andai saja mereka mempercayaiku, mungkin jumlah korban bisa dihindari. Setiap malam aku menangis di pelukan Ibu. Ayah tak henti-hentinya meyakinkan aku. “Michiko chan tidak bersalah...kamu tidak bersalah”. Demikian kata ayah berulang-ulang.
Peristiwa itu menjadi titik balik bagiku. Aku berhenti menulis, nyaris berhenti sekolah, tidak pernah melihat televisi apalagi membaca koran. Aku benar benar memilih mengasingkan diri dari dunia luar. Aku memilih menahan sekuat tenaga rasa sakit di kepalaku daripada harus menuliskan mimpiku lagi. Tidak, semua sudah cukup.
Lulus SMA aku memutuskan menikah saja agar tidak perlu ke kota untuk kuliah. Ayah tidak pernah mengkritik keputusanku. Dia sangat tahu pemikiranku.
Menikah memberiku ketenangan batin. Setiap kali aku harus berkutat dengan rasa sakit di kepala, suamiku dengan sabar akan memeluk dan menenangkan aku. Tapi sepertinya Mayang, anakku semata wayang itu tetap tidak bisa mengerti alasanku berhenti menulis. Ah dia masih terlalu muda untuk paham, usianya baru 15 tahun.
-----------------------
Malam sudah berganti ke dini hari. Udara terasa makin dingin menusuk tulang. Suara kepak sayap kelelawar yang sedang mencari makan sayup terdengar. Suara jengkerik sesekali juga terdengar. Matsumoto belum bisa memejamkan mata. Istrinya sudah tertidur sejak tadi. Masih terngiang-ngiang di telinganya, kata-kata Mayang siang tadi.
“Opa...kurasa....kurasa...aku seperti Ibu”, tutur gadis mungil itu padaku. Dia dan aku sedang menghabiskan waktu bersantai di dangau. Menunggui para pekerjaku menuai padi.
“Maksudmu ?”
“Opa...aku seperti Ibu. Aku..aku bisa melihat masa depan. Tidak dalam mimpi. Aku melihat bayangan langsung di depan mata”
Aku terkejut. Kupandangi dengan seksama mata Mayang. Sorot matanya nampak jujur. Cucu kesayanganku ini memang tidak pernah berbohong. Tapi betulkah kata-katanya kali ini ?
“Opa...aku tidak berbohong...mulanya aku tidak mengerti opa...tapi sekarang aku tahu itu bayangan yang akan terjadi”
“Dari mana Mayang tahu itu kejadian yang akan terjadi ? Bisa saja itu hanya imajinasi kan”
“Opa...opa tahu kang Sarmin itu ? “ Mayang menunjukkan jarinya ke arah salah satu pekerjaku di sawah.
“Ya, kenapa dengannya ?”
“Besok dia akan didatangi pak Lurah. Bibinya akan meninggal malam ini dan mewariskan seluruh hartanya ke kang Sarmin. Kang Sarmin akan menjadi kaya raya mendadak”
Aku melotot. Rasanya sulit dipercaya.
“Bedanya dengan Ibu, Mayang hanya bisa melihat apa yang terjadi dengan orang di sekitar Mayang saja” katanya lagi.
“Opa tidak percaya kan ? Opa tunggu sampai besok”, Mayang tersenyum lebar lalu berpamitan untuk pulang ke rumah. Belum ada lima langkah dari dangau, Mayang membalikkan badan dan meneriakkan kata-kata “Opa, malam ini nggak akan bisa tidur ! Opa akan kalah banyak taruhan bola dengan teman Opa ! “ Dia berlari sambil tersenyum nakal.
Kata-kata Mayang siang tadi betul terjadi. Malam ini aku tidak bisa tidur. Taruhan bola yang kupasang minggu lalu ternyata meleset. Aku kalah dua juta. Angka yang sebetulnya tidak terlalu banyak tapi cukup membuat marah perempuan di sebelahku ini. Kalau esok ramalannya pada Sarmin betul terjadi, aku harus menyikapi Mayang dengan lebih serius.
Aku kembali terpekur...merenungi apa yang terjadi dengan Michiko dan Mayang. Ibunya almarhum, Sayuri, memiliki kemampuan yang sama. Waktu aku dikirim bertugas ke Jawa, Ibu tidak melepas kepergianku dengan tangis seperti ibu-ibu yang lain. Ibu malah tersenyum bahagia. “Kau tidak usah kembali, kau akan menemukan mutiaramu di negeri seberang. Hiduplah berbahagia dengannya”. Dan betul, aku menemukan perempuanku di sini. Dan aku memang tidak perlu kembali. Seluruh keluargaku di Jepang sana sudah tewas. Untuk apa aku kembaliMungkinkah bakat putri dan cucuku ini adalah bukti cinta Ibu padaku ? Entahlah.
Ketika pagi datang dan aku bersiap pergi ke sawah, Sarmin datang bersama pak Lurah. Aku langsung tahu bahwa Mayang benar. Sarmin nampak kaget waktu aku menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya bibi Sarmin, sementara dia sendiri belum berucap apa-apa. Sarmin berpamitan untuk mengurus pemakaman bibi dan surat wasiatnya.
Ketika Sarmin berpamitan pada Mayang, gadis itu tersenyum lebar sambil melirik ke arahku. Dia tahu Opa nya terpaksa harus mengakui kebenaran ramalannya. Tapi yang membuat kami semua terkejut adalah kata-kata Mayang selanjutnya.