“Selamat ya kang, kakang akan menjadi kaya raya besok. Mayang cuma berpesan satu hal, jangan menikahi pacar kang Sarmin yang dulu. Itu tidak akan baik bagi kesehatan kakang. Menikahlah dengan perempuan lain”. Michiko nampak melotot. Dia mencubit lengan Mayang.
“Ibu...kenapa mencubitku ? Aku hanya menyampaikan apa yang kulihat !” Mayang balas melotot.
“Maaf...maaf Sarmin, Mayang kadang-kadang memang suka bicara ngawur. “ aku menengahi. Setelah mereka berpamitan, aku memanggil Mayang.
----------------------------------------------------------------------------------------
“Mayang....ada waktunya kamu bisa bicara, ada waktunya kamu harus diam”
“Tapi Opa...aku melihatnya. Aku melihat bayangan kang Sarmin dan pacarnya, aku melihat bayangan mereka menikah, aku melihat bayangan kang Sarmin tergeletak sakit parah. Aku melihat semuanya dengan jelas ! Aku tidak bisa berbohong ! “
Istriku buru-buru menutup pintu rumah. Kami takut suara Mayang yang keras akan terdengar dari luar.
“Mayang...baiklah, Opa mengerti. Tapi tolong, sebelum kau menyampaikan sesuatu pada orang lain, sampaikan dulu pada Opa. Belum tentu apa yang kau lihat sesuai dengan kesimpulan yang kau tarik. Ini perintah Opa, kau tidak boleh menolak. Paham ?”
Aku mencoba bijak tapi juga tegas. Aku tidak mau ketenangan hidup kami akan terusik kembali. Mayang mengangguk lesu. Cucuku sayang, Opa hanya ingin kalian semua hidup tenang, tidak ada keinginan Opa yang lain. Kataku dalam hati. Aku yakin Mayang tak sepenuhnya menerima. Jiwa remajanya sedang bergejolak, ini masa pencarian identitas diri. Darah mudanya tidak akan menerima begitu saja. Aku menangkap sorot pemberontakan dalam kerjap matanya.
-------------------------------------------------
Mayang duduk di lantai kamarnya. Wajahnya suram. Hatinya mendidih. Dia kesal dengan sikap Ibu dan Opa.