Membaca surat dari istrinya itu, Engkus matanya sembab. Ia tak kuasa lagi menahan mendung di matanya. Perlahan gerimis menyirami pipinya yang kering. Dalam hatinya ia merasa sangat bersalah dan berjanji tidak akan lagi egois dan sombong melarang istrinya berobat ke Rumah Sakit atau dokter.
Penyesalan tidak pernah datang di awal. Kini Lilis, istri tercintanya, telah membujur kaku tak bernyawa lagi karena kebodohan, keegoisan dan kesombongan dirinya.Â
Mungkin ia akan masih bersama istri dan anaknya kalau saja ia mau mengikuti saran bidan dan menerima bantuan pihak desa untuk berobat ke Rumah Sakit.Â
Tapi nasi telah menjadi bubur. Ia harus hidup sendiri membesarkan bayinya. Â
Jakarta, 6 November 2018
*) Cerpen ini terinspirasi dan bersumber dari hasil penelitian Rumah Kitab "Kesaksian Pengantin Bocah".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H