Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Lilis Telah Menjadi Mayat

6 November 2018   14:00 Diperbarui: 6 November 2018   17:44 1614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: aktualnews.co

Jenazah itu dibaringkan di ruangan tengah rumah sederhana. Berdinding separuh bata separuh lagi dari bilik terbuat dari bambu. Mayat itu ditutupi kain tapih batik beberapa lembar. 

Di atas tubuhnya ada selembar kertas ukuran kwarto yang ditulisi dengan spidol warna hitam "Innalillahi wa inna ilaihi rojiun telah meninggal dunia Ibu Lilis Liswati binti Adeng Ginanjar pada 18 Juni 2016 Pukul 15.30 WIB di Leuwisadeng-Bogor." Sejumlah Ibu-Ibu yang ada di dekat jenazah mengangkat tangannya memanjatkan doa. Beberapa yang lain membaca surat Yasin, suaranya mengiung bagai suara tawon.

Sejumlah perempuan yang lain ada di dalam rumah sambil kecuas-kecuis.

"Kasian ya Lilis masih muda, pintar, baik tapi nasibnya begini," kata seorang Ibu yang berjilbab hitam berenda kembang-kembang.  

"Iya, ini ceritanya gimana ya? Denger-denger almarhumah telat ditangani dokter ketika melahirkan," kata seorang Ibu yang berjilbab warna kuning tua.  

"Yang saya denger sih Lilis ditangani ambu beurang bukan dokter," kata seotang Ibu yang bertahi lalat di dagu sebelah kirinya.

"Oh ya? Kenapa gak ditangani bidan atau dokter?" kata perempuan berkerudung hitam berenda kembang-kembang.

"Ceritanya panjang. Ini berkaitan dengan waktu melahirkan anak pertama Lilis," kata Ibu yang berjilbab putih bertahi lalat. Ia terlihat lebih muda.

"Oh ini melahirkan anak kedua? Saya pikir ini melahirkan anak pertama. Soalnya Lilis kan masih sangat muda," kata Ibu yang berkerudung hitam berenda.

"Waktu melahirkan anak pertama, Lilis juga kondisinya bermasalah. Untung bisa tertangani dengan baik oleh bantuan bidan. Ia mestinya ditangani oleh dokter sebagaimana yang direkomendasikan Ibu Bidan. Tapi Suami Lilis marah. Ia tidak mau membawa Lilis sebagai istrinya ke rumah sakit agar tertangani dengan baik. Alasannya katanya ia tidak punya uang. Bahkan kang Engkus, suami Lilis marah kepada Ibu Bidan karena merekomendasikan ke rumah sakit," kata Ibu berjilbab putih dan bertahi lalat di dagunya.

"Terus gimana ceritanya?" kata Ibu berkerudung kuning penasaran dengan menggeser pantatnya lebih dekat ke Ibu yang sedang bercerita.

Ibu-ibu yang sedang membaca Yasin masih terlihat belum menunjukan akan selesai. Sepertinya mereka membaca tidak hanya sekali.

Bapak-bapak yang melayat mengambil tempat di luar rumah. Ada yang sedang membuat tarub agar para pelayat tidak kepanasan atau sebagai tanda juga bahwa di rumah itu ada yang sedang berduka. 

Ada juga yang sedang membuat bendera kuning untuk memberi tahukan ada yang meninggal dunia. Biasanya bendera kuning akan dipasang di pertigaan atau jalan-jalan menuju rumah keluarga yang meninggal dunia agar para pelayat atau pentakziah mudah menemukan rumah keluarga yang sedang berduka cita.

Ibu-ibu yang baru datang langsung bergabung berdoa. Ada yang ikut mengaji. Ada juga yang langsung ikut nimbrung duduk dengan Ibu-Ibu lain yang sedang ngobrol. Sebelumnya, Ibu-Ibu yang datang menyelipkan amplop ke wadah yang ditutup kain tipis yang ada di dekat pintu masuk. Sebagai bentuk sumbangan ala kadarnya.

"Untung waktu melahirkan anak pertamanya itu Lilis selamat. Namun bayinya tidak bisa ditolong, ia meninggal dunia," kata Ibu yang berjilbab putih.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Oh begitu ceritanya," kata Ibu berjilbab hitam. "Saya baru tahu. Kasian amat Lilis."

"Ketika Lilis menikah, sekitar dua tahun yang lalu, ia masih sangat muda. Usianya baru sekitar 13 tahun. Ia baru saja lulus Sekolah Dasar (SD). Sempat nganggur beberapa bulan lalu Lilis menikah dengan Engkus yang umurnya tiga tahun lebih tua darinya. Engkus belum punya pekerjaan tetap. Ia kadang membantu pekerjaan H. Ahmad di sawah. Secara ekonomi, Engkus masih kembang kempis. Tidak lama, atau sekitar beberapa bulan menikah, Lilis hamil anak pertamanya. Masuk usia 14 tahun, Lilis melahirkan."

Begitu ceritanya kata Ibu yang dagunya bertahi lalat bercerita panjang lebar.

"Mungkin ceritanya akan lain kalau waktu itu kang Engkus mengizinkan Lilis dirujuk ke Rumah Sakit ya Bu!" kata Ibu berkerudung hitam.

"Mungkin juga. Wallahu alam. Hanya Allah Yang Maha Tahu. Takdir hanya di tangan Allah." Kata Ibu yang bertahi lalat.

"Betul Bu, Takdir di tangan Allah. Tapi bukankah kita diperintahkan Allah untuk berikhtiar sekuat tenaga?" kata Ibu Berkerudung kuning.

"Tapi kalau Allah sudah menentukan memang ajalnya sudah sampai disini mau ngapain lagi?" kata perempuan berjilbab hitam panjang sampai menutupi dadahnya yang membusung bahkan sampai ke pinggangnya.

"Dulu, ketika kehamilan pertamanya anaknya meninggal, tak sampai setahun Lilis hamil lagi. Waktu itu, katanya Ibu bidan telah menyarankan kepada Lilis agar ber-KB. Tapi ia tidak menurutinya. Maka ketika ia hamil untuk kedua kalinya dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia merasa malu untuk datang lagi ke bidan itu. Ke Posyandu juga ia segan dan malu karena dari awal ia tidak pernah memeriksakan diri karena suaminya melarangnya. Apalagi untuk pergi ke Rumah Sakit, huh... suaminya sangat menentangnya."

"Kang Engkus, suami Lilis merasa terpojokkan dan dipermalukan oleh bidan, petugas posyandu dan orang-orang kelurahan atas kejadian meninggalnya anak pertamanya karena ia melarang istrinya dirujuk ke rumah sakit," kata Ibu berjilbab putih bercerita panjang lebar.

"Padahal, saya denger-denger bidan dan kader kesehatan desa sudah datang untuk membantunya," kata Ibu Berjilbab kuning.

"Iya, saya denger juga begitu. Bahkan pihak Desa sudah bersedia menanggung biaya persalinan jika ia mau dirujuk ke Rumah Sakit," kata Ibu berjilbab hitam memperlihatkan wajahnya yang heran.      

"Konon katanya, Kang Engkus lebih memilih ambu beurang untuk membantu persalinan Lilis, istrinya. Meskipun si dukun beranak itu berhasil mengeluarkan bayi itu dengan selamat tapi ia tidak berhasil menyelamatkan Ibunya. Lilis meninggal dunia setelah diketahui ada plasenta masih tertinggal di dalamnya. Lilis mengalami pendarahan yang hebat. Kang Engkus bukannya membawa Lilis ke Rumah Sakit tapi ia mencari ambu beurang yang lain. Lilis pun tidak dapat diselamatkan. Ia meninggal dunia," kata Ibu berjilbab putih bertahi lalat di dagunya.      

"Siiiitt......." seorang Ibu paruh baya menempelkan telunjuknya di mulutnya. "Jangan terlalu keras ngobrolnya," katanya.  

Ibu-ibu yang sedari tadi kecuas-kecuis itu tak terasa suaranya semakin besar. Akhirnya merasa tidak enak sendiri. Mereka berhenti ngobrol.

Di rumah itu, di suasana kesedihan keluarga shohibul bait atas meninggalnya Lilis terdengar juga kabar bahwa Lilis meninggalkan pesan dalam bentuk surat untuk suaminya, kang Engkus. Surat itu ditemukan Engkus di bawah bantal tempat tidur Lilis.

Di kamarnya, Engkus sendiri sedang membaca surat dari Lilis. Surat itu berbunyi begini.

Buat Kang Engkus, Suami Lilis.

Kang...

Sejak kehamilan anak pertama kita, Lilis sudah merasa ada masalah dalam tubuh Lilis. Kita harus mengakui bahwa ini adalah kesalahan Lilis, kesalahan Kang Engkus yang melarang Lilis berobat ke bidan atau ke Rumah Sakit. Ini adalah kesalahan kita bersama atas kebodohan, atas keegoisan dan  atas kesombongan kita.          

Jika kita beruntung, mungkin ketika akang membaca surat ini, Lilis masih dalam keadaan sehat wal afiat. Tapi jika......................akang mungkin akan melihat Lilis sedang terbujur kaku dan telah menjadi mayat.  

Kang Engkus, suami Lilis.

Kebodohan, keegoisan dan kesobongan kita ternyata tidak membantu kita apa-apa. Bahkan menyengsarakan kita, Kang. Waktu kehamilan pertamaku, aku kehilangan bayi kita, anak kita. Entah apa lagi yang akan hilang di kehamilanku yang kedua ini. Jika jiwaku yang hilang, aku tidak bisa mema'afkan diriku sendiri atas kebodohon ini.  

Kang...

Lilis sudah capek...

Lilis tidak ingin ada lagi bayi-bayi meninggal karena kebodohan, keegoisan dan kesombongan orangtuanya.

Lilis tidak ingin lagi ada Ibu-ibu meninggal karena melahirkan bayi, karena kebodohan, keegoisan dan kesombongan orangtuanya.

Ma'afin Lilis Kang atas kelancangan ini.

Salam,
Lilis, Istrimu

Membaca surat dari istrinya itu, Engkus matanya sembab. Ia tak kuasa lagi menahan mendung di matanya. Perlahan gerimis menyirami pipinya yang kering. Dalam hatinya ia merasa sangat bersalah dan berjanji tidak akan lagi egois dan sombong melarang istrinya berobat ke Rumah Sakit atau dokter.

Penyesalan tidak pernah datang di awal. Kini Lilis, istri tercintanya, telah membujur kaku tak bernyawa lagi karena kebodohan, keegoisan dan kesombongan dirinya. 

Mungkin ia akan masih bersama istri dan anaknya kalau saja ia mau mengikuti saran bidan dan menerima bantuan pihak desa untuk berobat ke Rumah Sakit. 

Tapi nasi telah menjadi bubur. Ia harus hidup sendiri membesarkan bayinya.  

Jakarta, 6 November 2018
*) Cerpen ini terinspirasi dan bersumber dari hasil penelitian Rumah Kitab "Kesaksian Pengantin Bocah".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun