"Tapi kalau Allah sudah menentukan memang ajalnya sudah sampai disini mau ngapain lagi?" kata perempuan berjilbab hitam panjang sampai menutupi dadahnya yang membusung bahkan sampai ke pinggangnya.
"Dulu, ketika kehamilan pertamanya anaknya meninggal, tak sampai setahun Lilis hamil lagi. Waktu itu, katanya Ibu bidan telah menyarankan kepada Lilis agar ber-KB. Tapi ia tidak menurutinya. Maka ketika ia hamil untuk kedua kalinya dalam waktu yang tidak terlalu lama, ia merasa malu untuk datang lagi ke bidan itu. Ke Posyandu juga ia segan dan malu karena dari awal ia tidak pernah memeriksakan diri karena suaminya melarangnya. Apalagi untuk pergi ke Rumah Sakit, huh... suaminya sangat menentangnya."
"Kang Engkus, suami Lilis merasa terpojokkan dan dipermalukan oleh bidan, petugas posyandu dan orang-orang kelurahan atas kejadian meninggalnya anak pertamanya karena ia melarang istrinya dirujuk ke rumah sakit," kata Ibu berjilbab putih bercerita panjang lebar.
"Padahal, saya denger-denger bidan dan kader kesehatan desa sudah datang untuk membantunya," kata Ibu Berjilbab kuning.
"Iya, saya denger juga begitu. Bahkan pihak Desa sudah bersedia menanggung biaya persalinan jika ia mau dirujuk ke Rumah Sakit," kata Ibu berjilbab hitam memperlihatkan wajahnya yang heran. Â Â Â
"Konon katanya, Kang Engkus lebih memilih ambu beurang untuk membantu persalinan Lilis, istrinya. Meskipun si dukun beranak itu berhasil mengeluarkan bayi itu dengan selamat tapi ia tidak berhasil menyelamatkan Ibunya. Lilis meninggal dunia setelah diketahui ada plasenta masih tertinggal di dalamnya. Lilis mengalami pendarahan yang hebat. Kang Engkus bukannya membawa Lilis ke Rumah Sakit tapi ia mencari ambu beurang yang lain. Lilis pun tidak dapat diselamatkan. Ia meninggal dunia," kata Ibu berjilbab putih bertahi lalat di dagunya. Â Â Â
"Siiiitt......." seorang Ibu paruh baya menempelkan telunjuknya di mulutnya. "Jangan terlalu keras ngobrolnya," katanya. Â
Ibu-ibu yang sedari tadi kecuas-kecuis itu tak terasa suaranya semakin besar. Akhirnya merasa tidak enak sendiri. Mereka berhenti ngobrol.
Di rumah itu, di suasana kesedihan keluarga shohibul bait atas meninggalnya Lilis terdengar juga kabar bahwa Lilis meninggalkan pesan dalam bentuk surat untuk suaminya, kang Engkus. Surat itu ditemukan Engkus di bawah bantal tempat tidur Lilis.
Di kamarnya, Engkus sendiri sedang membaca surat dari Lilis. Surat itu berbunyi begini.
Buat Kang Engkus, Suami Lilis.