Mohon tunggu...
Maman A Rahman
Maman A Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis tinggal di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mak Haji Ingin Umrah Lagi

26 Oktober 2018   06:15 Diperbarui: 26 Oktober 2018   08:14 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usianya diperkirakan sekitar 70-an tahun. Jalannya sudah mulai bongkok. Mukanya berlipat-lipat seperti kertas habis diremas. Rambutnya sudah memutih sebagian seperti taburan keju di atas pisang bakar. 

Tentu kalau di luar rumah tidak kelihatan rambut kejunya karena memakai jilbab. Giginya sudah banyak rontok seperti sisir yang pada potel. Agar terlihat masih utuh, ia pasang gigi buatan. Tapi soal semangat, jangan ditanya. Ia mampu jalan-jalan jauh sampai ke seberang pulau. Ia akan bergairah kalau diajak jalan-jalan. Apalagi kalau diajak pergi haji atau umrah. Mak Haji senangnya bukan kepalang. Kalau bicara pengalaman haji dan umrah, ia jagonya.

Ia sudah tiga kali naik haji. Sudah empat kali pergi umrah. Tapi keinginan untuk haji dan umrah selalu menggebu. Kalau ada orang yang bicara tentang haji atau umrah ia akan cepat menyambar seperti api kalau dekat dengan bensin. 

Sorot matanya seperti elang melihat mangsa, menyala-nyala. Ia masih punya mimpi pergi umroh, paling tidak, sekali lagi. Ia ingin sekali pergi bersama anak-anaknya. "Mumpung masih hidup." Katanya suatu waktu.

Orang-orang mengenalnya dengan sebutan Mak Haji. Ada juga yang memanggilnya Mak Hajjah. Jama'ah pengajiannya memanggilnya ustadzah. Tapi kebanyakan orang-orang di sekitar rumahnya memanggilnya Mak Haji.

Meski sudah sepuh, Mak Haji adalah orang yang gesit, tidak mau diam di rumah saja. Jadwal setiap harinya selalu penuh. Mengisi pengajian di mushola ini, mushola itu. Diundang syukuran pernikahan di rumah si anu. 

Diminta memberi tausiyah di acara aqiqah cucunya hajjah itu dan se-abrek kegiatan lainnya. Belum ditambah kegiatan arisan keluarga dan kondangan yang setiap minggu nyaris selalu ada di lingkungannya. Meskipun Mak Haji bukan asli kelahiran Betawi tapi ia sudah sangat lama tinggal di Jakarta. Ia sudah melebur dengan budaya Betawi.

***

Ketika keinginan umrahnya disampaikan ke anak-anaknya, mereka senang sekali karena Mak Haji akan membantu membayar setengah dari biaya umrahnya. Setelah anak-anaknya menyetujuinya, mereka pun bersiap-siap mencari travel dan KBIH yang akan mereka gunakan.

Mereka kaget karena ternyata ada aturan baru dari kerajaan Saudi yaitu adanya visa progresif. Bagi jama'ah yang pernah umrah  kurang dari lima tahun akan terkena aturan ini jika ia akan umrah lagi. Setelah dicek, ternyata Mak Haji baru setahun yang lalu berangkat umrah.  Ia akan terkena biaya visa progsesif yaitu sebesar 2000 real. Anak-anaknya pun beberapa terkena aturan ini.

"May, coba siapa saja yang terkena visa tambahan?" tanya Mak Haji kepada Maymunah, anak keduanya.

"Dua orang Mak. Berarti tiga dengan Emak."

"Coba hitungin May berapa jadi nambahnya?"

"Biaya visa tambahannya 2000 real Mak per orang. Kalo pakai kurs hari ini ya sekitar delapan jutaan Mak." Kata Maymunah setelah browsing di internet.

"Kalo bertiga jadi 30 juta Mak, eh,...24 juta Mak." Si Mamay godain emaknya.  

"Itu sih bisa buat satu orang sendiri May. Kok bisa ya ada aturan seperti itu. Orang mau ibadah kok dipersulit." Mak Haji ngedumel.  

"Iya Mak. Sayang banget. Lumayan kalo buat May belanja ke Tanabang."

"Huuus...elo itu,  pikirannya belanja melulu." Kata Mak Haji.

"May, bilangin ke Travel, gimana caranya biar gak kena visa ogesif."

"Visa progresif Mak." May membetulkan.

"Iya, itu maksudnya."

"Gak bisa kali Mak. Itukan dilihat dari jejak di paspornya."

"Iya barangkali aja ada jalan." Kata Mak Haji masih berharap.

Ia seakan tidak rela mengeluarkan uang 24 juta. Daripada buat nambahin visa progresif mending buat nambahin beli kontarakan lagi. Pikirnya.

Mak Haji ini meskipun menjanda sekian lama tapi ia terkenal dengan juragan kontrarakan. Tanahnya blerotan (banyak) dimana-mana. Jadi tidak aneh kalau ia mampu pergi haji berkali-kali. Kalau ia mau, ia pun mampu pergi umrah setiap bulan ramadhan seperti banyak orang-orang kaya Jakarta lakukan.

Dengan kekayaannya itu pula ia akan membayari sebagian ongkos umrah anak-anaknya. Meskipun sesungguhnya anak-anaknya sudah diberi bagian dari hartanya yang melimpah. Tapi untuk urusan membayar visa progresif Mak Haji seperti ogah mengeluarkannya.  

Ketika suatu ketika ia membeli tanah lagi, anak-anaknya bertanya "Mak buat apa lagi beli tanah mlulu?" Jawaban Mak Haji di luar perkiraan anak-anaknya. "Buat investasi." Katanya dengan mantap.
Iya Mak Bener, terus beli tanah yang banyak. Toh nanti buat anak juga. Kata anak-anaknya. Tapi itu tidak terucap di depan Mak Haji. 

Sebagai seorang yang suka memberi ceramah Mak Haji juga pernah berceramah dengan mengambil tema tentang harta.

"........Ibu-Ibu sekalilan. Sebagai umat Islam kita sudah sepatutnya menjadi orang yang kaya. Karena dengan kekayaan itu kita bisa membayar zakat. Bisa bersedekah. Berqurban di hari Raya Adha.  Membantu fakir miskin yang sangat berkekurangan. Anak-anak yatim yang terlantar ditinggal mati Ibu Bapaknya. Anak-anak jalanan yang berkeliaran di jalan raya. Janda-janda yang tidak mampu. Siapa lagi kalau bukan kita yang membantunya!?.

Harta kita hanyalah titipan. Kapan pun Allah bisa mengambilnya dengan berbagai cara. Bisa dengan kebanjiran, gempa atau kebakaran. Harta kita yang sesungguhnya adalah harta yang sudah kita belanjakan di jalan Allah. Harta yang ada di tangan kita pun belum tentu menjadi milik kita. Oleh karena itu, pergunakan harta kita sebaik-baiknya.                

Tunaikanlah Haji. Berangkatlah umroh. Karena di sana kita akan mendapatkan nikmat dan kebahagiaan yang tiada tara. Kebahagiaan yang sulit untuk dijelaskan.  Oleh karenanya,  tidak aneh banyak orang yang pernah pergi ke Mekah ingin kembali dan kembali lagi. Bukannya sombong. Tapi itulah yang terjadi. Daya tarik ka'bah itu seperti besi sembrani menarik besi-besi lain dengan sangat kuat."

Demikianlah Mak Haji kalau ceramah.  Ia sangat semangat tidak ingat usianya yang sudah sepuh. Tidak aneh jama'ahnya betah duduk berlama-lama mendengarkannya. Bahkan semakin hari, jama'ahnya pun terus bertambah.

***

Kembali lagi ke soal visa progresif. Mamay dapat informasi dari temannya katanya visa progresif bisa diakalin. Caranya dengan membuat paspor baru. Karena menurutnya, dengan paspor baru, jejak umroh atau bepergian keluar negeri tidak ada lagi. 

"Bukannya sekarang sudah serba online? Jadi mana mungkin bisa?" Sebagai seorang sarjana, Mamay bersikap kritis untuk soal ini. Ia tidak mau menerima informasi begitu aja.  "Iya. Kalo di Jakarta mungkin gak bisa. Kita bikinnya di daerah. Ada orang dekat saya yang bisa membantu." Kata teman Mamay meyakinkan.

Dengan penjelasan itu Mamay mulai goyah. Sebenarnya dalam hati kecilnya ia tidak menerima cara-cara seperti itu. Ia berpikir untuk sesuatu yang baik dan mulia masa sih harus ditempuh dengan cara yang tidak baik. 

Ia sebenarnya lebih senang dan sreg dengan membayar visa progresif.  Dalam hatinya ada pertarungan batin: antara jalan yang benar dengan jalan pintas yang menggusarkan hatinya. Untuk itu, ia ingin menyampaikan terlebih dahulu masalah ini ke Mak Haji.                

 "Mak, kata teman May, ada yang bisa membantu. Caranya dengan membuat paspor baru."  "Emang bisa May."

"Bisa katanya."

"Jangan sampai paspor aspal, May."

"Apa tuh Mak?"

"Asli tapi palsu."

"Oooh..."

May sebenarnya belum yakin seratus persen dengan apa yang akan dilakukan temannya itu. Yang ia tahu, penggantian paspor itu bisa dilakukan karena paspor hilang, rusak, penuh atau habis masa berlakunya.

Setelah memberi tahu Mak Haji. May menyerahkan semua keputusan kepada Emaknya itu.                   

Mak Haji selain pintar berceramah. Ia juga rajin mendengarkan kuliah subuh di TV untuk menambah ilmu katanya. Pagi itu, seorang penceramah sedang menjelaskan tentang kaidah-kaidah fikih.

"Muslimin muslimmat pemirsa MuslimTV yang dimulyakan Allah Subhanahu Wata'ala.

Kuliah subuh pagi ini akan mengambil tema tentang Kaidah Fikih. Kaidah pertama yaitu Al-Ghoyatu La Tubarrirul Wasilah Ila Bi Dalil. 'Tujuan tidak membolehkan wasilah (cara) kecuali dengan dalil.'

"Pemirsa MuslimTV yang dimulyakan Allah. Tujuan dan niat yang mulia tidak boleh dijalankan dengan sarana yang haram, dan sarana haram itu tetap haram walau dipakai untuk niat dan tujuan yang baik. Kaidah ini sesuai dengan dalil yang mengatakan: "Dan janganlah kamu mencampurkan antara haq dan batil, dan kamu menyembunyikan yang hak itu padahal kamu tahu. (QS. Al Baqarah (2): 42)." 

Dengan mengikuti kuliah subuh itu, Mak Haji seperti orang yang terkena timpuk. Materi ceramahnya pas banget dengan masalah yang sedang dihadapinya. Sebagai seorang mubalighah ia mengerti tentang kaidah fikih yang diuraikan oleh penceramah kuliah subuh tadi pagi. Namun demikian, ia tidak mau menyerah begitu saja. Ia berpikir, bukankah ada juga kaidah fikih yang mengatakan  "Adh-Dharurat Tubihul Mahzhurat,   bahwa dalam kondisi darurat, hal-hal yang terlarang dibolehkan."

Hanya pertanyaannya adalah apakah kondisi dirinya sudah masuk keadaan darurat? Mak Haji sendiri masih terus berpikir. Antara membuat paspor baru untuk ngakalin terkena visa progresif atau ia relakan uang 24 juta untuk membayar aturan baru itu.  

Hari terus berjalan. Anak-anaknya menanyakan ke Mak Haji jadi gak umrahnya. Sementara Mak Haji belum memutuskan akan membayar visa progresif atau membuat paspor baru. 

Ia tidak yakin bahwa kondisi dirinya sudah masuk keadaan darurat sehingga membolehkan sesuatu yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan. Karena tidak mungkin ia sebagai orang yang sudah pergi Haji tiga kali. 

Umrah empat kali dan juga sebagai  ustadzah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam yang diyakininya dan tentunya dengan hati nuraninya yang paling dalam. Ia masih terngiang ceramah kuliah subuh tadi pagi bahwa Tujuan dan niat yang mulia tidak boleh dijalankan dengan sarana yang haram, dan sarana haram itu tetap haram walau dipakai untuk niat dan tujuan yang baik.

Karena Mak Haji tak kunjung memutuskan, akhirnya May menghubungi saudara-saudara yang lainnya. Ia mengusulkan agar biaya visa progresif ditanggung oleh kita sebagai anak-anaknya. Usulan itu pun mendapat tanggapan yang berbeda-beda. 

Ada yang menyetujuinya ada pula yang menolaknya. "Kalau bisa diakalin kenapa harus bayar." "24 juta itu uang semua kan?" kata yang tidak setuju. 

Namun May menjelaskan bahwa dirinya tidak sreg kalau harus ngakalin pembayaran visa ini. Hati nuraninya tidak menerimanya.  Walau bagaimana tujuan kita mulia, kata May, harus diikuti dengan cara yang mulia juga. Apalagi ini untuk membahagiakan orang tua sendiri. 

Akhirnya alasan May diterima oleh suadara-saudaranya. Ketika hal itu disampaikan ke Mak Haji, Ia terlihat girangnya bukan kepalang seperti anak SD yang mendapat informasi bahwa gurunya akan mengadakan rapat sehingga anak-anak boleh pulang lebih cepat.

Visa pun diurus. Biaya visa progresif ditanggung anak-anaknya. Mak Haji pun senang. Keinginannya untuk berangkat umroh bareng anak-anaknya tinggal menghitung hari. Mereka dijadwalkan bulan depan akan berangkat.   

Jakarta, 24 September 2018   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun