Kembali lagi ke soal visa progresif. Mamay dapat informasi dari temannya katanya visa progresif bisa diakalin. Caranya dengan membuat paspor baru. Karena menurutnya, dengan paspor baru, jejak umroh atau bepergian keluar negeri tidak ada lagi.Â
"Bukannya sekarang sudah serba online? Jadi mana mungkin bisa?" Sebagai seorang sarjana, Mamay bersikap kritis untuk soal ini. Ia tidak mau menerima informasi begitu aja. Â "Iya. Kalo di Jakarta mungkin gak bisa. Kita bikinnya di daerah. Ada orang dekat saya yang bisa membantu." Kata teman Mamay meyakinkan.
Dengan penjelasan itu Mamay mulai goyah. Sebenarnya dalam hati kecilnya ia tidak menerima cara-cara seperti itu. Ia berpikir untuk sesuatu yang baik dan mulia masa sih harus ditempuh dengan cara yang tidak baik.Â
Ia sebenarnya lebih senang dan sreg dengan membayar visa progresif. Â Dalam hatinya ada pertarungan batin: antara jalan yang benar dengan jalan pintas yang menggusarkan hatinya. Untuk itu, ia ingin menyampaikan terlebih dahulu masalah ini ke Mak Haji. Â Â Â Â Â Â Â Â
 "Mak, kata teman May, ada yang bisa membantu. Caranya dengan membuat paspor baru."  "Emang bisa May."
"Bisa katanya."
"Jangan sampai paspor aspal, May."
"Apa tuh Mak?"
"Asli tapi palsu."
"Oooh..."
May sebenarnya belum yakin seratus persen dengan apa yang akan dilakukan temannya itu. Yang ia tahu, penggantian paspor itu bisa dilakukan karena paspor hilang, rusak, penuh atau habis masa berlakunya.