Mohon tunggu...
Abdurohman Sani
Abdurohman Sani Mohon Tunggu... Konsultan - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa dengan Hukum

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menembus Definisi

7 Februari 2024   17:28 Diperbarui: 7 Februari 2024   17:39 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENEMBUS DEFINISI

"Semisal sebuah permainan, ia dibuat untuk bersaksi dan/atau membuktikan pembuatnya daripada menjelaskan atau membuktikan dirinya sendiri." ; ini cerminan dari ide tentang sumber atau kreativitas di balik suatu konsepsi atau realitas mungkin lebih signifikan daripada elemen yang dikandung oleh realitas itu sendiri.

Dalam konteks ini, jika kita memandang eksistensi atau kompleksitas di dalam ruang dan waktu sebagai suatu "permainan," kita dapat berpendapat bahwa eksistensi dan kompleksitas tersebut mungkin merujuk pada sumber atau entitas yang lebih besar, yang mungkin melebihi pemahaman dan pengalaman yang dimiliki oleh unsur-unsur di dalamnya.

Analogi ini dapat merangsang pertanyaan filosofis tentang sifat penciptaan, tujuan, dan keterbatasan pemahaman manusia dalam menghadapi realitas yang lebih besar. Ini mencerminkan pemikiran yang mendalam dan kompleks dalam upaya manusia beserta akalnya untuk menembus definisi memahami dan meresapi makna eksistensi dan keberadaan melalui qolbu.

Batasan (Ruang, waktu) dan hal atau bukan sesuatu hal yang eksis dengan tidak terikat ruang dan waktu tidak hanya mungkin jika diperhatikan dari sistem yang menguasai kita dan alam semesta ini!

"Orang yang buta sejak lahir meraba sesuatu dengan seluruh indera dan kecerdasan fikirannya tidak akan pernah bisa benar-benar mendefinisikan apa yang ia temui dan amati, tapi ia pasti akan selalu benar-benar yakin akan eksistensi keberadaan mengenai apa yang ia amati itu dan ini logis.
Bahkan keyakinan dan kesadaran dari hasil keterbatasan pengamatan itu tidak bisa dikatakan 'mungkin' tapi 'benar-benar yakin'.

Analogi ini memberikan pertimbangan pengalaman manusia yang di gambarkan buta sejak lahir, lalu mencoba meraba dan memahami dunia melalui keterbatasan indera dan fikirannya. Meskipun ia mungkin memiliki keterbatasan dalam mendefinisikan secara tepat apa yang ia temui, keyakinan dan kesadaran yang muncul dari pengalaman itu menjadi nyata dan kuat.

Pemikiran ini mencerminkan konsep bahwa meskipun kita mungkin memiliki keterbatasan dalam pemahaman atau pengamatan terhadap hal ihwal yang esensial, keberadaan atau kesadaran dari pengalaman itu sendiri tetap menjadi suatu kenyataan yang diterima. Bahkan dalam keterbatasan kita, kita dapat membangun keyakinan dan kesadaran yang kokoh terhadap keberadaan entitas yang lebih tinggi.

Ini juga menciptakan pemahaman tentang aspek ketidakpastian dan kompleksitas dalam proses memahami dunia. Meskipun tidak selalu mungkin untuk sepenuhnya mendefinisikan atau mengukur sesuatu, keberadaan dan kesadaran tetap menjadi bagian terpenting dari pengalaman manusia. Analogi ini mengajak kita untuk merenungkan sifat keyakinan dan kesadaran, bahkan dalam keterbatasan pengamatan kita sebagai manusia.

Apa yang manusia raba melalui proses pengetahuan (pengamatan dan penelitian) sampai batasan terjauhnya melalui pernyataan ilmiah (konsensus saintis) terkait adanya suatu eksistensi yang tidak terikat ruang dan waktu tidak lagi relevan jika hanya berpredikat 'mungkin adanya' tapi wajib ada, nyata, absolut, hakiki dan meyakinkan karena hanya sifat-sifat Maha itu yang pantas disematkan bagi yang tidak terikat ruang dan juga waktu, keterbatasan ataupun kesangsian.

Kesimpulan ;
"Iman itu merupakan bentuk kesadaran yang meyakinan akan suatu eksistensi yang tidak mampuh dideskripsikan fikiran."
Jika iman dideskripsikan maka ia bukan lagi keyakinan tapi pengetahuan dan pengetahuan itu bersandar pada kesangsian bukan keyakinan karena itulah pengetahuan bersifat relatif sedangkan iman harus bersifat konstan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun