Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Tujuh Fakta Mengenai Gangguan Bipolar yang Perlu Diketahui

28 September 2021   09:15 Diperbarui: 28 September 2021   11:28 1292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bipolar (Sumber: Shutterstock via health.kompas.com)

Beberapa tahun lalu, kita dikejutkan dengan pengakuan dari artis Marshanda bahwa dia mengidap penyakit bipolar tipe 1. 

Orang-orang pun menjadi bertanya-tanya seperti apa gangguan bipolar itu. Saya pun juga penasaran.

Hanya saja, bagi orang awam seperti saya sulit untuk mengerti secara rinci sebenarnya gejalanya seperti apa. Bahasa kedokteran jiwa agak susah dicerna oleh awam. Hal ini menjadikan kita merasa rancu dan bertanya-tanya apakah benar ada?

Namun seiring perkembangan zaman, banyak psikiater yang memberikan edukasi kepada masyarakat. Hal ini adalah sebuah kemajuan supaya kepedulian kita terhadap kesehatan jiwa itu meningkat.

Memang ini juga akan menjadi bumerang. Alih-alih datang ke psikiater, tak jarang orang malah melakukan self-diagnose sendiri. Mudah-mudahan tidak ya?

Artikel ini saya tulis justru untuk menghindari self-diagnose. Juga sebagai catatan supaya ada kepedulian terhadap bipolar dengan mengetahui faktanya. Dengan demikian, kita tahu kapan seseorang harus mengunjungi ahlinya untuk penanganan lebih lanjut.

Beberapa hari lalu, saya menonton obrolan dari Marissa Anita dengan dr. Jiemi Ardian lewat saluran youtube Great Mind. 

Fakta Mengenai Gangguan Bipolar (Foto : pixabay.com/Tumisu)
Fakta Mengenai Gangguan Bipolar (Foto : pixabay.com/Tumisu)

Melalui obrolan tersebut, saya tercerahkan dengan penjelasan dr Jiemi yang santai dan mudah dipahami.

Berikut beberapa fakta mengenai penyakit bipolar :

1. Bipolar tidak sama dengan mood-swing

Gangguan bipolar merupakan kondisi kejiwaan yang membuat penderitanya mengalami perubahan emosi yang drastis, dari mania menjadi depresif, atau pun sebaliknya.

Namun, orang sering mengira bipolar ini sama seperti pada moodswing. Padahal bipolar berbeda dengan moodswing. Perubahan emosi yang drastis pada bipolar berlangsung dengan durasi lama, mulai beberapa minggu sampai beberapa bulan.

Tentu ini berbeda dengan moodswing yang berlangsung cepat. Bisa jadi moodswing berlangsung tak sampai sehari. Misalnya saja moodswing pada perempuan menjelang PMS. Sering seorang perempuan terlihat ceria tapi tak lama kemudian kondisi hatinya emosi, sensitif, dan marah-marah melulu.

Wajar hari ini seseorang bahagia dan ceria, tapi esok murung dan gelisah. Apalagi mendekati tanggal-tangal gajian di mana uang yang sudah menipis. 

Atau bagi mahasiswa tiap awal bulan cerah ceria, tapi menjelang akhir bulan kusut dan tak bersemangat. Semua itu hanya perubahan emosi dan sangat normal.

2. Fase mania bukan berarti senang

Gangguan bipolar dibedakan menjadi dua tipe : tipe 1 dan tipe 2. 

Bipolar tipe 1 mempunyai fase mania dan depresi yang sama-sama kuat, sedangkan tipe 2 adalah mini mania dimana orang akan terlihat baik dari luar.

Biasanya orang memahami fase mania sebagai fase senang atau ceria. Padahal ternyata tidak saklek senang seperti itu. 

Fase mania pada orang dengan gangguan bipolar menyebabkan orang tersebut berpikir cepat dengan ide melompat-lompat. 

Ada rasa percaya diri yang irrasional karena merasa lebih hebat. Inilah yang menyebabkan rawan konflik karena pekerjaan tidak selesai sehingga emosi dan berkonflik dengan marah-marah misalnya.

3. Bipolar lebih banyak disebabkan oleh faktor genetik

Dilansir dari Alodokter, penyebab munculnya gangguan bipolar belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat dugaan bahwa kondisi ini merupakan dampak dari adanya ketidakseimbangan pada neurotransmitter, yakni senyawa alami yang berfungsi mengendalikan fungsi otak.

Faktor genetik, fisik, lingkungan, dan sosial memiliki peran atas terjadinya ketidakseimbangan neurotransmitter yang diduga menjadi penyebab gangguan bipolar.

Menurut dokter Jemian, hampir kebanyakan kasus bipolar disebabkan oleh genetik. Karenanya, jika seseorang dalam keluarganya ada yang menderita gangguan bipolar sebaiknya waspada dan berkonsultasi dengan psikiater.

4. Gangguan Bipolar berbeda dengan BPD (Borderline Personality Disorder)

Dilansir dari Alodokter, BPD atau gangguan kepribadian ambang adalah gangguan mental serius yang mempengaruhi perasaan dan cara berpikir penderitanya. 

Kondisi ini ditandai dengan suasana hati dan citra diri yang senantiasa berubah-ubah dan sulit dikontrol, serta perilaku yang impulsif.

Antara gangguan bipolar dan BPD susah untuk dibedakan, bahkan kadang terjadi bersamaan. Yang membedakan adalah BPD ini berlangsung cepat dan harus ada pemicu. Berbeda dengan gangguan bipolar yang berlangsung lama tanpa ada pemicu.

Untuk membedakan, tentunya harus konsultasi dan akan ada evaluasi dengan psikiater.

5. Bipolar memerlukan terapi obat

Gangguan bipolar harus diatasi. Menurut Jiemi Ardian, tidaklah penting diagnosa bipolar atau dari mana seseorang mendapat gangguan ini, yang terpenting adalah berusaha dan berupaya supaya masih berfungsi dalam hidup sehari-hari.

Penderita gangguan bipolar memerlukan obat mood stabilizer. Obat-obat ini bisa digunakan jangka panjang. Waktu terapi obat juga akan panjang dan harus terus dikonsumsi. Target terapi ini bukan berhenti minum obat, tapi lebih pada berhenti untuk sementara waktu. Istilahnya "drug holiday"

Drug holiday ini pastinya hanya dokter atau psikiater yang menentukan karena harus melihat kemajuan dan kondisi penderita. 

Di sinilah dukungan orang sekitar diperlukan untuk para penderita bipolar.

6. Bipolar membutuhkan dukungan dari sekitar

Ketika seseorang didiagnosa mengalami gangguan bipolar, tentu akan terguncang, sedih, marah, kecewa, dan mungkin juga malu. Inilah mengapa dukungan orang di sekitar sangat penting.

Keluarga dan orang terdekat harus ikut membantu. Misalnya, dalam menelusuri emosi, mengingatkan untuk minum obat, mengajak berolahraga, menemani, dan seterusnya.

7. Bipolar harus didiagnosa oleh psikiater

Dengan derasnya arus informasi, seringkali orang mudah mendiagnosa dirinya ataupun melabel orang. Padahal seharusnya tidak begitu. 

Diagnosa gangguan bipolar dan penyakit mental lainnya hanya bisa dilakukan oleh dokter yang dalam hal ini ahli kejiwaan atau psikiater.

Self diagnose akan sangat membahayakan. Bahkan ada seorang psikiater yang mengetahui dan mendiagnosa pasiennya menderita gangguan bipolar setelah evaluasi selama 6 bulan. Pastinya penegakan diagnosa tidak mudah dan sembarangan.

Herannya, sekarang ini orang mudah sekali memberi diagnosa terhadap dirinya. Atau melabel orang lain.

Memang tak bisa dipungkiri, dalam keseharian kita menemui orang yang sulit dan cukup membingungkan. Misalnya saja tiba-tiba marah, ngamuk, dan ngoceh-ngoceh, semua orang dimarahi. 

Tapi bukan berarti kita langsung bisa melabel dia menderita bipolar, BPD, dan lain-lain. Jika itu teman dekat, lebih baik sarankan untuk konsultasi ke dokter.

Sekian. Semoga bermanfaat.

Referensi 1

Referensi 2

Referensi 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun