"Ya mbak... " sahutku.
"Bu Retna itu seumur mamamu mungkin, dia lulus S-1 sudah lama banget, " kata mbak Wita.
"Trus kenapa nggak lanjut profesi waktu itu mba? Apa tadi nangis karena nggak bisa ngerjain soal? Selama ini bu Retna kerja dimana?" tanyaku ke mbak Wita. Aku memang penasaran dengan apa yang terjadi dengan bu Retna.
Seumur-umur baru kali ini ada mahasiswa yang tak bisa mengerjakan ujian kemudian menangis sesenggukan di ruang ujian. Ya, mungkin banyak yang seperti aku ini, tipe santai kayak di pantai. Kalau tidak bisa mengerjakan ujian dan nilai jelek, berpikir praktis : tinggal ngulang.
Kulihat mbak Wita mendengus. Dia menyuap nasinya yang terakhir. Setelah itu disesapnya es teh manis, lalu diceritakan kisah bu Retna yang dia tahu. Beberapa kali bu Rertna curcol kehidupan pribadinya saat praktikum.
Singkat cerita bu Retna adalah janda dengan 3 orang anak. Di usianya yang hampir paruh baya, beliau mengambil program profesi ini supaya bisa mengelola usaha apotek.
"Beliau cerai hidup atau mati sih, mba? Kayaknya bukan orang susah kan? " tanyaku kepo.
"Cerai mati. Almarhum suaminya punya jabatan dan kaya kok. Cuma ya gitu deh..." Mbak Wita ragu untuk meneruskan ceritanya. Aku memandangnya.
"Hmmm... ya itulah Sit. Ini kuceritakan biar jadi pelajaran buat kamu ya, " lanjutnya. Aku mengangguk.
Setelah mendengar ceritanya, aku ikut sedih. Rasanya tak bisa kubayangkan. Bu Retna dulu tak mengambil program profesi karena sudah punya calon yang mapan. Seorang yang punya jabatan dan menjamin masa depannya.
Kemudian beliau menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik. Harta berlimpah dan gaya hidup juga mewah. Mungkin dambaan banyak perempuan masa kini. Hidup enak dan bisa bergaya. Asisten rumah tangga juga banyak.