Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kidung Natal

23 Desember 2020   07:00 Diperbarui: 23 Desember 2020   07:09 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi (Diambil dari png.com)


Hari itu hujan besar. Serupa ember raksasa yang penuh air, sore itu langit seolah menumpahkan semua airnya. Di sudut kota, seorang anak perempuan berdiri dengan baju basah oleh tampias air hujan. Tubuh kecilnya sedikit menggigil. 

Tak jauh darinya, berdiri seorang laki-laki dewasa. Matanya nanar menatap derasnya hujan. Semburat kegalauan menghias wajahnya. Sepertinya dia ingin menghentikan hujan besar yang tiba-tiba itu. Ada hal yang terus memburunya untuk cepat-cepat.

"Hujannya bisa lama ini, Nduk! Bisa kemalaman kita?" ucap lelaki kepada anak perempuan itu.

"Iya ya, Pak? Apa kita nekat saja, lewat pinggir-pinggir, Pak? Ibu tadi bawain kantong plastik besar, Pak.." kata anak perempuan itu dengan polos. Matanya berbinar untuk meraih suatu keinginan.

"Tapi nanti kehujanan, Nduk. Plastik nggak cukup nutupi badanmu. Tadi kok ya lupa bawa payung. Kamu berani hujan-hujan?" Lelaki itu memandang anak perempuannya dengan kasih sayang.

"Berani, Pak... kemarin bu Lasti bilang aku harus kumpul jam setengah enam. Aku pentas nyanyi, Pak! "

"Wah, bisa telat ya? " Sang bapak meraih kantong plastik disampingnya. Kantong bekas wadah jajanan anaknya itu dibuka ikatannya. Beberapa permen dimasukkan ke kantong bajunya.

"Nduk, kepalanya ditutup pakai plastik ya? " Dengan gesit tangannya memasang kantong berwarna hitam itu di kepala anak.

Berdua mereka menerobos hujan besar. Tangan mungil anaknya terus dalam gandengan. Air menggenang semata kaki. Sandal si anak hampir saja terhanyut.

"Dikit lagi, Nduk... di depan itu tokonya!" katanya menyemangati anaknya.

Beruntung deretan toko setelahnya memiliki terpal di bagian depan. Kini mereka berjalan tanpa hujan menyirami tubuh mereka.

Akhirnya mereka berhenti di depan toko "Fajar Utama". Mereka berdiri di depan toko sambil mengeringkan bagian tubuh yang basah. Lelaki itu berjalan kesamping toko. Segelas teh panas dan seplastik gorengan dibawa untuk anak perempuannya.

"Buat anget-anget, Nduk! " ujarnya lembut.

Anak perempuan itu sekarang tak menggigil lagi. Bias air di rambutnya mulai mengering. Hanya kaki dan sandal jepit berwarna birunya yang masih basah.

"Yuk, beli sekarang, Nduk! Pilih yang kamu suka tapi jangan yang mahal ya? Duit Bapak tidak cukup, " ujar Bapaknya.

Anak perempuan itu menurut. Toko tak terlalu ramai. Dia segera menuju ke deretan gaun anak perempuan. Namun, anak matanya sibuk memperhatikan gaun cantik yang dipasang di manekin.

"Tapi pasti mahal, itu model yang baru, " pikirnya. Dia pun memalingkan muka dari baju yang bagus dan mahal itu.

Berulangkali dia menggeser baju-baju dalam gantungan. Bapaknya menunggunya untuk melihat dan menjatuhkan pilihan.

"Pak, mau yang ini... Ini harganyaaa... bentar... bentar... Wah, mahal, Pak! Nggak jadi, " katanya.

Bapaknya hanya diam mengamati. "Yang itu bagus tuh! Nggak apa, Bapak ada uang kok, Nduk, " Bapak mengambil baju dalam gantungan itu.

"Sudah, yang ini saja? Kamu suka, kan? " tanya Bapak.

Mata anak kecil itu berbinar. Sebuah gaun berwarna merah dengan beberapa bunga cantik. Ada nuansa emas di kain tulle-nya.

Sang Bapak membayar gaun itu. Hujan sudah reda. Mereka bergegas pulang dan berjalan hingga ke terminal.

Perut anak perempuan itu mulai berbunyi. Tanda lapar menyerang, namun diabaikannya. Gaun baru yang dijinjingnya lebih penting baginya.

Dia terus menahan rasa lapar yang kian meronta. Padahal beberapa warung bakso dilewatinya. Aroma kuah bakso menguar harum di udara. Namun, anak perempuan itu tetap berjalan lurus ke depan.

"Bapak membelikan baju baru buat Natal sudah cukup. Nanti malam juga dapat makan enak di gereja, " katanya dalam hati.

Bapaknya tidak menawarkan bakso-bakso itu. Dia tahu uangnya tak cukup banyak untuk mentraktir bakso berdua. Uang untuk membeli baju Natal anaknya saja adalah pemberian bosnya sebagai bonus mengerjakan proyek lembur. Hatinya getir tatkala Ia berpura-pura tak mencium aroma bakso itu.

Mereka bejalan seirama. Tangan kekar Bapak menggandeng tangan mungil anak perempuannya hingga terminal angkutan desa.

Kurang lebih empat puluh lima menit, Bapak dan anak itu terlelap di dalam angkutan. Ada rasa lega hingga mereka pasrah pada rasa lelah dan dahaga. Anak perempuan itu terlelap dengan mendekap kantong belanja berisi gaun barunya.

🎄🎄🎄🎄🎄

Anak perempuan kecil itu berjalan cepat. Langkah kecil nan semangat. Gaun barunya berkibar seolah ikut memberi semangat untuk melupakan rasa lelah.

Tentu saja gaun itu tak dicuci dulu. Tak ada waktu. Ibu hanya mencabut label harga. Bau toko masih melekat pada gaun itu. Justru aroma itu yang mengaktifkan hormon bahagia anak perempuan ini.

Dari kejauhan, kidung Natal sudah bergema. Syahdu dan merdu. Rasa bahagianya semakin membuncah kala ingat nanti di akhir perayaan akan ada pembagian bingkisan Natal dan makan bersama.

Ding dong ding...

Ding dong ding...

Loceng berbunyi

Soraklah soraklah

Kristus t'lah lahir Hei..

Ding ding dong

Ding ding dong

Loceng berbunyi

Soraklah soraklah

Kristus t'lah lahir Hei..

Lonceng berbunyi

Kristus t'lah lahir

Bersama-sama kita sambutlah

Mari bersama kita bersuka

Karena hari Natal kini telah tiba

Lonceng berbunyi...

Kusambut bahagia hari Natal ini...



🎄🎄🎄🎄🎄

Kini anak perempuan itu sudah dewasa. Dia tak lagi menginginkan baju baru atau bingkisan Natal. Bukan karena dia bisa membelinya sendiri. Atau karena sekarang sudah memiliki cukup uang dan mampu membeli makanan enak. Bukan.

Namun Natal dihatinya kali ini sangat berkesan. Ketika anak-anaknya sibuk mempersiapkan acara Christmas Carol sekolah. Perempuan itu tiba-tiba mengharu-biru.

Ia tiba-tiba begitu merindukan kidung Natal masa kecilnya. Kedua matanya berkaca-kaca ketika kidung Natal bergema. Ingatannya kembali pada suatu masa, kala Bapak membelikan gaun Natal untuknya dengan segala duka dan pengorbanan.

Relung hatinya menangis bahagia mengingat cinta Bapak padanya. Kidung Natal mengingatkan kembali akan kidung cinta sederhana yang luar biasa. Ia akan mengenangnya sepanjang masa. Sepanjang nafas hidupnya, ada cinta besar yang sudah menyapa. 

"Terimakasih, Bapak... Cinta-kasihmu akan selalu menggema di hatiku seperti alunan kidung Natal yang indah, " ucapnya lirih.


     

                             --- Selesai ---

" Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. " (Yohanes 3 : 16)

Cikarang, Penghujung Tahun 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun