Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gara-gara Jari

1 April 2019   12:07 Diperbarui: 1 April 2019   12:31 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga bulan lalu

"Ayo foto dulu sama kakak... say cheese...." budhe Ar memberi aba-aba kepada anak dan ponakannya untuk bergaya.

Seperti biasa, Mel, keponakannya, mengangkat tangan dengan 2 jari membentuk huruf V sebagai gaya andalannya. Tiba-tiba budhe Ar menghentikan aktivitas memotret dengan ponselnya.

"Jangan 2 jari, nak! Satu... begini nih" ucapnya sambil mempraktekkan satu jari telunjuk saja. Mel, bocah berusia 7 tahun itupun menurut.

"Nah, gitu... ayo say cheese..." Budhe Ar semangat memencet ponselnya.

Na hanya tersenyum terheran-heran. Cuma jari tangan saja kok dimasalahin, batinnya. Biar saja anak-anak bebas berekspresi. Lha masalah politik itu kan urusan orang tua. Entahlah, Na kurang sreg urusan begitu saja kok jadi repot banget!

"Ampun deh, kakakmu... fanatik amat urusan politik! Sampai foto saja jarinya harus tunjuk 1, " kata Na kepada suaminya yang masih asyik menikmati makanan. Siang itu mereka rekreasi dan piknik di salah satu anjungan TMII.

"Ya begitulah... Ya, jangan samain kayak kamu yang apolitis. Cuek bebek urusan politik. Mama kan tahunya shopping, arisan, jalan-jalan, " ledek suami Na, masih sambil mengunyah makanan. Sementara budhe Ar sibuk mengajak "rombongan sirkus"nya jalan-jalan di sekitar tempat bermain. Pastinya disuruh foto lagi deh rombongannya!

"Aku tuh bukan cuek, tapi menurutku berpolitik itu nggak harus ngotot. Santai aja kali... selow gitu loh... , " balas Na.

"Segala sesuatu itu kan harus ada dasarnya. Jangan asal jeplak, asal share, asal posting! Idola boleh, fanatik boleh, tapi buta jangan. Apalagi sampai fitnah dan sebar hoaks. Lagi pula ya, kita ini kan cuma disuruh milih. Ya sudah pilih, nggak usah berantem, " timpal Na. Suaminya masih sibuk dengan makanannya.

"Hmmm... namanya orang lain-lain. Mungkin jiwanya politik kali, jadi ya terseret arus politik juga, " jawab suami Na. Benar-benar jawaban diplomatis. Na mengambil kelapa muda dengan es yang baru saja diantar oleh pelayan. Berbicara politik memang harus santai dan kepala dingin.

"Eh tahu nggak, dulu waktu jaman ospek kuliah, ada cerita lucu. Ini yang ospek universitas ya, bukan yang fakultas" kata Na memulai bercerita.

"Kenapa emang? Dapat gebetan?"

"Ih.. bukan ituuu..." Na sedikit sewot. "Ingat nggak ospek yang universitas? Itu kan gabungan dari berbagai fakultas. Aku sih diam aja. Yang dari fakultas lain itu berani dan jago semua kalau public speaking"

"Terus? "

"Ya itu.. ada yang bareng aku. Baik orangnya. Tapi begitu aksi apalah itu, kayak pura-pura demonstrasi gitu, dia ngawur!"

"Ngawur gimana?"

"Masa dia orasi tentang kenaikan SPP kuliah kaitan misi kerakyatan kampus, kok sebut pasal 33 UUD 1945! Ya kan nggak nyambung to? Hahaha... "

"Trus kamu nggak jadi naksir ya?"

"Ihhh... ini bukan masalah naksir. Aku baru tahu waktu itu, oalah ternyata kadang-kadang demo itu ya waton sulaya. Nggak semua mahasiswa itu orasinya bagus. Ilfil deh aku.. Bayangin dia ngomong berapi-api : bumi, air, dan kekayaan didalamnya...  hihihi"

"Wakakak.... sebenarnya nyambung tapi kejauhan itu hahaha" suami Na tertawa, " tapi ada juga kok yang jenius dalam orasi. Kamu belum pernah nemu ya?"

"Belum. Kasih contohnya dong, ada di youtube nggak?"

"Ah, nggak usah ntar kamu malah jatuh cinta sama politik. Aku yang pusing!"

Obrolan tentang politik sekaligus masa lalu selalu menggelitik. Suami Na sudah menyelesaikan makannya. Mereka bergegas mencari anak-anak dan Budhe-nya yang gaul.

Politik oh politik... jauh sebelum ini sebenarnya Na masih suka dengan tayangan politik, baik berita atau talkshow. Entahlah, sekarang ini menjelang pilpres dan pileg dia mulai bosan dan muak. Too much drama! Begitu alasannya.

***

3 Minggu Lalu

"Ini bener nggak ya acara makan bakso bersama Jokowi?" tanya Na via whatsup kepada suaminya.

Lama WA tersebut nggak dibalas. Ah, sibuk banget kayaknya! Sebagai ibu-ibu, kadang cuma begitu saja bisa bikin Na kesal dan ngambek. Ya begitulah, seperti lagu Ada band kesukaan Na : "... karena wanita ingin dimengerti..."

Tiba-tiba masuk WA di grup. Wealah, tak sia-sia menanti jawaban. Ternyata flyer acara makan bakso itu. Sebenarnya bukan masalah gratis baksonya, tapi kebenaran acara tersebut dihadiri oleh Presiden atau tidak. Dan ternyata confirmed : BUKAN HOAKS! Jadi, Presiden RI mau datang ke Cikarang. 

Na antusias sekali mau datang. Apalagi venue acara ini sangat dekat dengan rumahnya. Istilahnya tinggal ngesot saja sampai. Na berpikir lempeng saja : mau lihat Presiden. Titik.

Biasa di grup rame kalau ada yang posting, ini kok diam-diam saja. Meskipun bukan acara kampanye, sepertinya diam-diam dihubung-hubungkan. Ah, pusing amat urusan pilpres. Aku ingin jadi pengamat saja, kata Na dalam hati.

Hari H-nya kebetulan Na tak bisa datang. Na kecewa, tapi apa mau dikata bungsunya sedang tidak sehat untuk acara outdoor dan berpanas-panas ria. Na hanya bisa mengamati dari jauh ramai dan padatnya masyarakat Cikarang yang antusias ingin bertemu dengan Presiden. Akhirnya Na pun nangkring di mall bersama anak-anak.

Di sebuah area bermain anak-anak, ada beberapa rombongan ibu dan anak-anak. Sepertinya genk ibu-ibu muda. Na duduk, kemudian tak sengaja mengamati mereka sembari mengawasi anaknya sendiri.

"Salsa.. ayo dekatan dikit ke Raline... say cheeseeee... " perintah ibu muda yang berbaju pink nude.

"Nah gitu dong... gayanya gimana? Ayooo.. sekarang gaya bebas" lanjutnya sambil membidikkan kamera ke arah anak-anak.

"Semuanya begini tangannya yaaa!" Ibu muda bercelana merah memberi contoh kepada anak-anak. Jari-jari tangannya membentuk huruf L dengan telunjuk dan ibu jari.

Tiba-tiba suami Na menghampiri. Mungkin tahu dari tadi Na memperhatikan genk ibu-ibu muda tersebut.

"Tuh... 2 jari!" kata suami Na dengan senyum meledek.

"Hahaha... iya sekarang 2 jari. Segitu pentingnya anak-anak harus ikut pilihan orangtuanya ya?" Na tertawa.

"Ya, kayaknya cuma kamu yang ga peduli satu atau dua jari"

"Ah, biarin aja. Namanya orang hidup bebas dong tentuin pilihan. Anak-anakku bebas mau satu jari atau dua jari. Wong cuma pose foto kok. Karena ku selow.... sungguh selowww.... hahaha" Na tertawa lepas.

Suami Na hanya tersenyum. Mungkin sudah hafal dengan ritme hidup Na yang santai tapi tetap serius. Na adalah perempuan praktis, dinamis, dan teguh pendirian. Bagi Na, perempuan harus bisa memilah mana yang prioritas, yang penting, yang bermanfaat, atau yang terbaik. Namun tetap menghormati pilihan orang lain.

Kurang-lebihnya, seperti ketika perempuan memilih untuk bekerja atau tidak. Dalam hal politik pun demikian, tak ada yang salah dan benar. Semua tergantung kata hati dan faktor-faktor lain yang dihadapi oleh orang tersebut. Mau pilih nomor satu boleh, dua juga boleh. Beres to? Begitu kata Na kepada suaminya.

Biasanya suami Na hanya manggut-manggut mendengar ceramah Na. Yang penting Na bisa jaga diri dan jaga silaturahmi, begitu pintanya. Suami Na paling kesal kalau ada ibu-ibu berantem. Dia paling malas mendengar curhat yang demikian. Bikin otak suami ruwet! 

***

3 Hari Lalu

Rasanya makin hari makin panas jelang pilpres. Di jalan sudah banyak terpasang spanduk dan baliho, dari calon legislatif sampai calon presiden. Di media sosial apalagi, postingan politik makin banyak. Na memutuskan untuk tak membuka sementara media sosial. Hitung-hitung sekalian "puasa milenial" di masa prapaskah ini.

Malam hari Na membuka WA. Anak-anak sudah terlelap. Sekali-kali ganti foto profil, pikirnya. Na mengganti foto profilnya, kemudian iseng membuat status WA. Status biasa saja dan tentu saja bukan masalah politik.

Tidak lama kemudian, beberapa teman mengomentari status Na. Tapi tunggu.... Na seolah terpana melihat dan memperhatikan foto profil teman-temannya.

"Satu jari... dua jari... dua jari... dua jari.. satu jari.. satu jari... "

"Kenapa fotonya harus begini ya? Kenapa pada jempol atau huruf L atau 2 jari ya?"


"Bu In, tetangga sebelah berpose dengan jempol... bu Fah yang di blok E tersenyum dengan dua jari... bu Mien dua jari juga.. bu El satu jari..."

"Hmmm... jadi sekarang jari menunjukkan pilihan ya?" 

Na bertanya kepada dirinya sendiri. Pertanyaan yang tak butuh jawaban tentunya. Tiba-tiba suaminya pulang dari kantor. Na setengah kaget. Tak disadarinya kedatangan suaminya gara-gara asyik dengan ponselnya.

"Serius amat, main game?" tanya suaminya.

"Oh enggak... hihihi" Na memasang tampang cengengesan kemudian meletakkan ponselnya dan berdiri menyambut suaminya.

Suami Na terlihat lelah. Na pun memutuskan untuk segera tidur dan beristirahat. Besok pagi harus bangun jam 4 subuh. Si sulung harus berangkat pagi mengikuti acara retreat di sekolahnya. Na tertidur dan melupakan satu jari dan dua jari.

***

Hari Ini

Na mengenakan kaos berwarna merah yang dipadu dengan celana coklat krem. Rambutnya dibiarkan tergerai. Sementara kedua anaknya didandani dengan kaos senada berwarna putih dan bergambar Mickey Mouse. Suami Na seperti biasa, masih setia dengan kaos berwarna hitam.

Keluarga kecil tersebut sedang menghabiskan hari Minggu di taman kota. "Kita foto dulu yuk... buat kenangan!" Seru Na kepada anak-anak dan suaminya. Suami Na mengambil kamera dan memasang tripod.

"Timernya 10 detik ya Pa.. " kata Na.

Na bersama kedua anaknya sudah siap di sudut taman. Semuanya tersenyum. Sementara itu, suami Na memencet tombol shutter kamera dan segera berlari menempatkan diri di sebelah Na. Dalam sepuluh detik kamera sudah mengambil potret mereka.

"Lagi dong Pa... tangannya begini ya?" Na memberi instruksi kepada anak-anak. Suaminya kembali menuju kamera untuk mengulang memencet tombol kamera.

"Pa, jangan lupa tangannya begini..." kali ini Na memberi perintah kepada suaminya. Suami Na fokus dengan kamera. Setelah memencet tombol, suami Na kembali berpose di sebelah Na. Dengan sigap Na, mengambil tangan suaminya. "Tangannya, Pa..." katanya mengingatkan suaminya.

"Jepretttt..." kamera berhasil mengambil potret mereka. Na tertawa lepas. Sambil terkekeh-kekeh dia berlari untuk mengambil kamera. Na penasaran dengan hasilnya.

"Hahaha... bagus... bagus..." teriak Na girang memandang hasil foto di kamera.

"Kayaknya kamu sudah ketularan nih... sudah punya pilihan ternyata ya?" goda suami Na.

"Jadi satu jari atau dua jari?"

"Rahasia dong..." Na tersenyum manja. Tak lama kemudian foto tersebut diupdate menjadi status WA.

***

Mobil memasuki cluster tempat tinggal Na. Security dengan sigap membuka gerbang dan memberi kartu akses. Na membuka kaca pintu mobilnya. Ada bu Mien yang sedang merapikan tanaman di depan rumahnya.

"Wah rajin nih bu..." sapanya memanggil bu Mien. Yang disapa hanya diam, kemudian memberi senyum kecutnya. Na terkejut dengan respon bu Mien. Tak biasanya ibu tersebut acuh dan tak ramah kepadanya. "Ah, sudahlah... nggak usah dibawa ke hati, " hibur Na.

Sampai di rumah, pesan masuk ke WA. Tumben-tumben mertuanya WA. "Na, tolong foto di status dihapus. Mama nggak enak sama om di Sriti. Om itu kan nyaleg DPR dari partai anu." Dahi Na berkerut membaca pesan itu.

"Drrttt .." masuk lagi pesan WA. "Na bebas nentuin pilihan pilpres dan pileg nanti. Cuma kita jaga silaturahmi aja. Nggak usah upload-upload jari kampanye. Gitu ya, Na?" Na belum membalas WA mertuanya. 

Setelah itu deretan pesan WA dari teman-temannya masuk bertubi-tubi. Ada yang meledek, ada yang mendukung, ada yang mengirim stiker berbagai emosi. Ada yang mengirim pesan panjang tentang politik, ada yang mengirim video, ada yang mengirim pesan peringatan. Semua lengkap!

Na menggelengkan kepala. Tak habis pikir hanya gara-gara foto tadi dunia berguncang. Buru-buru dia ingin menghapus foto di status WA-nya. Tapi pikiran usil Na muncul. Dia urung menghapus fotonya. "Apa sebaiknya jadi foto profil di media sosial sekalian ya biar rame? Hahaha..." kata Na dalam hati. Sekarang Na tersenyum-senyum sendiri. Entah apa yang dilakukannya.

Cikarang, 1 April 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun