Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Perang Opini Berakhir Duel di Ring Tinju, Ketika Otot Mengalahkan Intelegensi

24 April 2022   13:12 Diperbarui: 26 April 2022   08:29 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi duel di atas ring. (Sumber: istockphoto.com)

Siapa yang belum mendengar nama Deddy Corbuzier? Atau mungkin di antara kita ada yang belum pernah sama sekali mengenal Vicky Prasetyo? Saya kira publik Indonesia hampir 90% mengenal sosok-sosok ini. 

Yap, Deddy Corbuzier adalah seorang entertainer yang kini aktif dalam dunia podcast serta dunia youtube. Sedangkan Vicky Prasetyo adalah presenter dan comedian yang juga dikenal dengan pemain lawak di salah satu televisi swasta dan sering nongol di yutube. 

Sosok yang sering dipanggil youtuber ini ternyata beberapa pekan yang lalu sempat membuat heboh masyarakat plus enam dua. Mengapa? Karena beliau sengaja membuat moment menegangkan dalam sebuah ring tinju. 

Saya kira kalau berbicara tentang ring tinju pastilah akan berkaitan dengan aksi gebuk-gebukan atau saling pukul demi memenangkan laga. Karena jika isinya ngelawak, tempatnya di panggung lawak kan? hehe.

Sosok Dedy Corbuzier merupakan mantan atau seorang mentalist yang sudah pensiun dan beralih sebagai youtuber ini sengaja menerima tantangan duel dari VickyPrasetyo, sang pria yang juga pernah menikahi mantan istrinya sendiri.

Entah apa yang menjadi dasar mengapa Dedy Corbuzier menerima tantangan adu bogem mentah ini. Apakah karena gengsi, atau ingin menunjukkan bahwa "akulah orang kuat dengan body-ku yang gede, maka siapa saja yang macam-macam denganku pasti aku lawan." 

Sesaat kita berpikir, apa yang dilakukan Dedy sangat benar, demi menunjukkan eksistensi sebagai laki-laki, maka ajakan duel pun diterima. Dengan risiko kemungkinan tubuh penuh luka pukulan dan mungkin rasa sakitnya lama sembuhnya. Itu pun kalau tidak terlalu melukai isi kepala, sebab kalau ini terjadi terntu lebih berbahaya. 

Sosok yang sering bergelut dengan kata-kata dan nampak kecerdasannya dalam berargumentasi, ternyata harus menerima ajakan duel. 

Publik dan saya sendiri tidak menampik, bahwa tubuh pria satu anak ini memang besar. Bahkan ketika kita melihat artis-artis Hollywood, ia pun bisa disandingkan dengan pemain film Amerika Serikat tersebut, semisal Vin Diesel atau Dwayne Johnson. Bahkan karena tubuh yang gempal dan gede ini membuat lawan bicaranya sedikit minder. 

Dengan fisik yang besar ini tentu memancing hasrat laki-laki untuk mencoba ketangguhan fisik tersebut. Termasuk Vicky Prasetyo yang akhirnya menantang duel di atas ring tinju demi sebuah pengakuan yang  kurang lebih "Aku Lelaki Kuat".

Sayangnya ketika tantangan duel dari Vicky ini diterima, ternyata putra Deddy Corbuzier - Azka Corbuzier - yang harus meladeni tantangan tersebut. Jelas saja publik pun bereaksi, kenapa anak-anak dilawankan dengan orang yang sudah dewasa? Apa nggak melanggar aturan dalam pertandingan? Dan bla bla bla para pengamat memberikan komentar negatif serta menohok pada aksi publik vigur tersebut.

Yang anehnya di sini adalah ketika urusan duel di atas ring adalah milik "orang tua" mengapa diserahkan kepada anak. Yang notabene usia pun terlampau jauh. Usia yang masih 16 tahun tentu Azka masih dianggap anak-anak dan tak pantas harus berduel dengan lelaki yang usianya selisih 22 tahun lebih tua. Dengan risiko anak muda dengan orang tua berbeda ketahanan fisik dalam bertanding. 

Apalagi jika mereka melakukan latihan yang intensif dalam sebuah pelatihan tinju atau MMA misalnya, tentu sosok yang tak terlatih akan jatuh tersungkur.

Untungnya Azka mampu menumbangkan Vicky dengan kekalahan yang menyakitkan. Sampai-sampai kita pun berkomentar, hari gini orang tua kalah sama anak-anak?! Tapi tidak menengok ke belakang, betapa duel dengan usia yang terpaut jauh tentu sangat berisiko. Bahkan itu tentu sangat membahayakan. 

Kita tentu masih ingat dengan almarhum Alfarizi yang harus meregang nyawa lantaran cedera otak yang dialaminya setelah bermain tinju.

Bagaimana jika Azka yang tumbang, pastilah urusan hukum akan dibawa-bawa. Dan pastilah yang lebih tua mendapatkan hujatan dari pengguna internet se-Indonesia.

Lalu, apakah duel di ring tinju tersebut settingan? Hanya Dedy dan Vicky yang bisa menjawabnya. Namun dugaan saya acara duel di atas ring ini sebenarnya bertujuan menaikkan jumlah viewer dari video sang youtuber ini.

Selain kasus perkelahian di atas ring tinju yang melibatkan Azka Corbuzier dan Vicky Prasetyo, tentu kita tidak terlewat dengan berita viral akhir-akhir ini yaitu perseteruan antara Novel Bamukmin dan Deni Siregar. Dua orang yang memiliki perselisihan yang cukup lama terkait isu-isu politik di negeri ini.

Novel Bamukmin adalah aktivis dan mantan anggota FPI. Sedangkan Deni Siregar adalah seorang pegiat sosial. Dua sosok yang berseberangan dalam pandangan politik. 

Novel Bamukmin adalah salah satu  dari deretan tokoh yang mendukung Prabowo-Sandi pada Pilpres 2019 sedangkan Deni Siregar adalah sosok pendukung barisan Jokowi-Ma'ruf serta dikenal sebagai barisan buzzer rp.  

Menurut berita yang berkembang, pihak Deni Siregar menantang duel di ring tinju sosok Novel Bamukmin, dengan syarat siapa yang kalah membayar 50 juta rupiah. Dan nilai bayaran tersebut akhirnya diralat Deni yang meminta sebanyak 500 juta rupiah. 

Dan santer pula bahwa duel ring ini benar-benar akan dilangsungkan di Bali pasca Ramadhan. Dengan alasan, di Bali adalah wilayah cebong yang tidak mungkin melakukan pengeroyokan. 

Padahal duel seperti ini tak perlu jauh-jauh dan membutuhkan biaya yang mahal. Cukup main panco dengan hadiah 100 ribu pun cukup. Esensinya sama siapa yang kalah, dia harus mengakui kekalahannya dan mengakhiri provokasi serta permusuhan.

Namun, mengalihkan aksi duel dengan adu panco nampaknya mustahil. Sebab, dengan uang 500 juta tentu sangat besar. Dan tidak mudah dibayarkan oleh kedua belah pihak.

Tapi lagi-lagi, jika perkelahian atau duel ini dianggap sebagai langkah pelampiasan emosi, tentu ini tidak bisa dibenarkan. 

Namun, sebagai laki-laki tidak ada yang mau menolak atau menyerah sebelum bertanding sebagai pembuktian kelelakian dan kebenaran apa yang diyakini. Sebab jika lawan menyerah atau mengaku kalah, akhirnya akan mendapatkan perundungan atau hujatan dari lawan dengan kata-kata yang tentu sangat menyakitkan. 

Boleh jadi dengan duel ini akan membuktikan bahwa keberanian berkata-kata di media sosial selaras ketika bertemu muka secara riil dan menyelesaikan persoalan di sebuah ring tinju. 

Jika mental atau nyali ciut, tentu pihak yang hendak duel akan mengaku kalah atau menyerah dengan risiko aksi barbar di media sosial akan dihentikan.

Menyelesaikan Masalah dengan Duel, Apakah Layak?

Saya kira kita sepakat bahwa di dunia ini selalu ada pertentangan pendapat atau opini. Dan sepertinya setiap makhluk di bumi memiliki perbedaan, termasuk cara pandang dan sikap dalam menerima perbedaan itu.

Sedangkan saat ini, kecenderungan yang muncul adalah ketika perbedaan pandangan ternyata bukannya menemukan titik temu, tapi sebaliknya menjadi lebar. Perbedaan yang seharusnya disikapi secara bijak, ternyata menjadi alat untuk terjadinya perpecahan dan permusuhan.

Masalah yang diperbedatkan bukannya diselesaikan secara nalar dengan diskusi dan argumen yang masuk akal (logis), tapi memaksakan perbedaan itu menjadi sebuah konflik yang lebih besar dengan mengandalkan kekuatan fisik.

Bahkan yang lebih menyedihkan lagi muncul olok-olokan, caci maki yang cenderung provokatif. Akibatnya, ketidakterimaan atas perbedaan ini menyulut emosi dan secara tidak sengaja menggiring pelakunya pada aksi kekerasan fisik yang lebih brutal. 

Boleh jadi mereka berpikir, hanya dengan perkelahian atau adu fisik inilah masalah akan selesai. Padahal tidak ada yang bisa selesai dengan kekerasan fisik. 

Jika dengan kekerasan fisik selesai saat perkelahian usai dengan satu orang menjadi korban, tentu ada pihak lain yang boleh jadi ikut nimbrung dan mencoba berduel lagi atau menantang orang yang telah mengalahkan temannya itu demi memuaskan rasa dendamnya. Dan kejadian ini banyak terjadi.

Tidak sulit kita melihat di lingkungan kita, anak-anak abege yang melakukan tawuran, ikut aksi geng dan mengeroyok geng lainnya. Sekumpulan pelajar yang menyerang pelajar yang lain. Satu anak yang bermasalah karena wanita, akibatnya satu sekolah terlibat tawuran. Bukan hanya siswanya yang jadi korban, sekolahnya pun tak luput dari aksi brutal mereka.  

Aksi tawuran atau perkelahian secara massal ini hakekatnya banyak dilakukan para pelajar yang secara emosional masih sangat labil. Betapa anak-anak sekolah ini mudah terhasut dan merasa puas melampiaskan amarahnya dengan adu fisik, melukai bahkan menghabisi korbannya. Tak  sedikit pula yang akhirnya meregang nyawa bukan? 

Yap, semua itu adalah ekses negatif ketika persoalan diselesaikan secara fisik atau otot tanpa menimbang nilai logika secara bijak. Aksi-aksi bentrokan ini ending-nya justru akan merugikan semua pihak.

Jika memang konflik itu tidak mampu dilakukan perdamaian, memang perkelahian di ring tinju acapkali menjadi solusi. Sayangnya solusinya hanya sesaat, sebab keesokan harinya pihak yang kalah akan menuntut balas demi menutup rasa malu atas kekalahan tersebut.

Namun, tren saat ini memang menggelikan namun mengerikan. Di saat semua orang berargumentasi secara logika yang nalar, ternyata di jaman modern masih ada pihak yang ingin menunjukkan kemampuan dengan berkelahi dan menunjukkan kekuatan fisik. 

Mereka lupa bahwa kemampuan memecahkan masalah dengan intelegensi lebih bernilai tinggi daripada menuntaskan masalah dengan adu fisik.

Ketika argumentasi yang rasional tidak diterima dengana akal sehat, maka munculnya adalah perilaku kekanak-kanakan. Seolah-oleh merasa puas jika telah menujukkan kekuatannya di hadapan lawan duelnya. Dan menunjukkan bahwa jika dia menang, maka publik pun akan memuji-muji dan menganggapnya hebat. Sungguh fenomena yang membuat miris.

Padahal, aksi ini menunjukkan perilaku anak-anak dan menjadi contoh yang tidak baik bagi negeri ini. Tapi mau dibilang anak-anak atau dewasa, jika kaitannya adalah harga diri tentu sudah lain persoalan. Terserah mereka yang mau menjalani ini semua.

Jika mau berduel, berduelah secara sportif jika itu bisa menyelesaikan konflik. Siapkan ringnya, hadiahnya, dan wasit serta tim dokter serta juri yang akan menilai aksi duel mereka. Sebab jika tanpa diawasi, tentu akibatnya bisa berbahaya. Dan yang perlu diingat, jangan membawa-bawa orang lain dalam konflik pribadi, ini tidak baik.

Namun, menurut saya orang yang kuat bukanlah orang yang mampu melawan dan mengalahkan musuhnya, tapi orang yang mampu mengalahkan amarah atau hawa nafsunya. 

Salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun