Boleh jadi mereka berpikir, hanya dengan perkelahian atau adu fisik inilah masalah akan selesai. Padahal tidak ada yang bisa selesai dengan kekerasan fisik.Â
Jika dengan kekerasan fisik selesai saat perkelahian usai dengan satu orang menjadi korban, tentu ada pihak lain yang boleh jadi ikut nimbrung dan mencoba berduel lagi atau menantang orang yang telah mengalahkan temannya itu demi memuaskan rasa dendamnya. Dan kejadian ini banyak terjadi.
Tidak sulit kita melihat di lingkungan kita, anak-anak abege yang melakukan tawuran, ikut aksi geng dan mengeroyok geng lainnya. Sekumpulan pelajar yang menyerang pelajar yang lain. Satu anak yang bermasalah karena wanita, akibatnya satu sekolah terlibat tawuran. Bukan hanya siswanya yang jadi korban, sekolahnya pun tak luput dari aksi brutal mereka. Â
Aksi tawuran atau perkelahian secara massal ini hakekatnya banyak dilakukan para pelajar yang secara emosional masih sangat labil. Betapa anak-anak sekolah ini mudah terhasut dan merasa puas melampiaskan amarahnya dengan adu fisik, melukai bahkan menghabisi korbannya. Tak  sedikit pula yang akhirnya meregang nyawa bukan?Â
Yap, semua itu adalah ekses negatif ketika persoalan diselesaikan secara fisik atau otot tanpa menimbang nilai logika secara bijak. Aksi-aksi bentrokan ini ending-nya justru akan merugikan semua pihak.
Jika memang konflik itu tidak mampu dilakukan perdamaian, memang perkelahian di ring tinju acapkali menjadi solusi. Sayangnya solusinya hanya sesaat, sebab keesokan harinya pihak yang kalah akan menuntut balas demi menutup rasa malu atas kekalahan tersebut.
Namun, tren saat ini memang menggelikan namun mengerikan. Di saat semua orang berargumentasi secara logika yang nalar, ternyata di jaman modern masih ada pihak yang ingin menunjukkan kemampuan dengan berkelahi dan menunjukkan kekuatan fisik.Â
Mereka lupa bahwa kemampuan memecahkan masalah dengan intelegensi lebih bernilai tinggi daripada menuntaskan masalah dengan adu fisik.
Ketika argumentasi yang rasional tidak diterima dengana akal sehat, maka munculnya adalah perilaku kekanak-kanakan. Seolah-oleh merasa puas jika telah menujukkan kekuatannya di hadapan lawan duelnya. Dan menunjukkan bahwa jika dia menang, maka publik pun akan memuji-muji dan menganggapnya hebat. Sungguh fenomena yang membuat miris.
Padahal, aksi ini menunjukkan perilaku anak-anak dan menjadi contoh yang tidak baik bagi negeri ini. Tapi mau dibilang anak-anak atau dewasa, jika kaitannya adalah harga diri tentu sudah lain persoalan. Terserah mereka yang mau menjalani ini semua.
Jika mau berduel, berduelah secara sportif jika itu bisa menyelesaikan konflik. Siapkan ringnya, hadiahnya, dan wasit serta tim dokter serta juri yang akan menilai aksi duel mereka. Sebab jika tanpa diawasi, tentu akibatnya bisa berbahaya. Dan yang perlu diingat, jangan membawa-bawa orang lain dalam konflik pribadi, ini tidak baik.