Dan santer pula bahwa duel ring ini benar-benar akan dilangsungkan di Bali pasca Ramadhan. Dengan alasan, di Bali adalah wilayah cebong yang tidak mungkin melakukan pengeroyokan.Â
Padahal duel seperti ini tak perlu jauh-jauh dan membutuhkan biaya yang mahal. Cukup main panco dengan hadiah 100 ribu pun cukup. Esensinya sama siapa yang kalah, dia harus mengakui kekalahannya dan mengakhiri provokasi serta permusuhan.
Namun, mengalihkan aksi duel dengan adu panco nampaknya mustahil. Sebab, dengan uang 500 juta tentu sangat besar. Dan tidak mudah dibayarkan oleh kedua belah pihak.
Tapi lagi-lagi, jika perkelahian atau duel ini dianggap sebagai langkah pelampiasan emosi, tentu ini tidak bisa dibenarkan.Â
Namun, sebagai laki-laki tidak ada yang mau menolak atau menyerah sebelum bertanding sebagai pembuktian kelelakian dan kebenaran apa yang diyakini. Sebab jika lawan menyerah atau mengaku kalah, akhirnya akan mendapatkan perundungan atau hujatan dari lawan dengan kata-kata yang tentu sangat menyakitkan.Â
Boleh jadi dengan duel ini akan membuktikan bahwa keberanian berkata-kata di media sosial selaras ketika bertemu muka secara riil dan menyelesaikan persoalan di sebuah ring tinju.Â
Jika mental atau nyali ciut, tentu pihak yang hendak duel akan mengaku kalah atau menyerah dengan risiko aksi barbar di media sosial akan dihentikan.
Menyelesaikan Masalah dengan Duel, Apakah Layak?
Saya kira kita sepakat bahwa di dunia ini selalu ada pertentangan pendapat atau opini. Dan sepertinya setiap makhluk di bumi memiliki perbedaan, termasuk cara pandang dan sikap dalam menerima perbedaan itu.
Sedangkan saat ini, kecenderungan yang muncul adalah ketika perbedaan pandangan ternyata bukannya menemukan titik temu, tapi sebaliknya menjadi lebar. Perbedaan yang seharusnya disikapi secara bijak, ternyata menjadi alat untuk terjadinya perpecahan dan permusuhan.
Masalah yang diperbedatkan bukannya diselesaikan secara nalar dengan diskusi dan argumen yang masuk akal (logis), tapi memaksakan perbedaan itu menjadi sebuah konflik yang lebih besar dengan mengandalkan kekuatan fisik.
Bahkan yang lebih menyedihkan lagi muncul olok-olokan, caci maki yang cenderung provokatif. Akibatnya, ketidakterimaan atas perbedaan ini menyulut emosi dan secara tidak sengaja menggiring pelakunya pada aksi kekerasan fisik yang lebih brutal.Â