"Aku berusaha untuk tidak berpangku tangan dan membanting tulang untuk mencari sesuap nasi, agar aku bisa menghidupi anak-anakku. Siapa lagi yang bisa mencukupi kebutuhan anak-anak, kalau bukan saya." Tuturnya.
"Bayangkan, Mas, selama ditinggal suami bekerja di Malaysia, hanya dua kali berkirim uang dan berkirim kabar. Itupun  hanya bisa untuk membayar hutang suami sewaktu hendak berangkat merantau. Sedangkan sisa-sisa hutangnya masih ada yang harus saya bayar."
Berutung si pengutang memberiku kesempatan untuk mengangsur. Tapi jika tak terbayar, maka rumahku pastilah berpindah tangan, disita, Mas. Kalau disita anak-anak mau tinggal di mana?" Nampak matanya berkaca-kaca. Sedangkan aku bak patung yang gak bisa berbuat apa-apa.
Betapa susahnya menjalani kehidupan ini, apalagi semenjak ditinggal sang suami. Dengan empat anaknya yang masih butuh kasih sayang.Â
Batinku turut merasa sesak. Aku nggak bisa berkata-kata lagi. Aku biarkan dia melepaskan kesedihannya.Â
Meski hanya dengan bercerita mudah-mudahan hatinya kembali lapang.
Sesaat kemudian, tak sengaja aku melihat ada awan di wajahnya, dan sudut matanya mulai basah. Aku tak berani bertanya-tanya lagi, aku khawatir kesedihannya semakin berat.
Aku terdiam sejenak, menyelami segenap rasa sedih yang seperti membuatnya tenggelam dalam derita. Kesedihan itu semakin bertambah ketika anak-anaknya jatuh sakit. Sayangnya keluarganya tidak begitu peduli dengan apa yang dirasakannya kini.
Sebenarnya bagi dirinya, tak sulit untuk menikah lagi dan mencari ayah untuk anak-anaknya.Â
Maklum, wajah wanita tersebut masih menarik. Karena memang usia relatif muda. Akan tetapi ia adalah seorang yang pekerja keras dan tidak terlalu memperdulikan kondisi suaminya. Baginya saat ini adalah berpasrah dan berdoa, semoga keadaan bisa berubah.
Jika saat ini ada kabar baik, maka itu adalah buah dari doa-doa yang dia panjatkan setiap malam.