Kutanya pada teman-temannya, katanya sang ayah merantau dan tidak pulang-pulang.
Bertahun-tahun yang lalu meninggalkan keluarganya untuk mencari sesuap nasi, segantang permata dan semangguk kebahagiaan. Tapi alangkah sedihnya, setelah bertahun-tahun menanti ternyata sang ayah tak kembali.Â
Tak tahu pasti apa yang terjadi. Apakah sang ayah lupa bahwa sang buah hati merindukannya sepanjang waktu. Bahkan air hujan seakan-akan sebagai penghias malam-malam hening mereka. Rasa rindu akan kehangatan dekapan ayah rasa-rasanya sulit untuk dia rasakan kembali.
Kutatap lebih lekat, anak itu nampak diam seribu bahasa, tak bereaksi meskipun tatapanku mengarah padanya. Mematung dan bergeming di tempat duduknya. Sedangkan jari-jemarinya memainkan tanah dengan lidi di tangan. Rambutnya kusut, matanya pucat dan warna kulit menghitam dan kotor seperti jarang mandi. Sungguh kondisi anak yang kurang terawat.
Meskipun kulihat dia masih anak-anak, nyata wajahnya tidak polos lagi. Ada segudang persoalan yang seperti membelenggu pikirannya.Â
Entahlah, sebelum aku tanya apa masalahnya, ternyata ia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata. Aku hanya bisa memandangi dari kejauhan, dan dia berlalu hingga tenggelam di antara rimbunan rerumputan.
Batin kecilku menyimpan secawan tanya, kucoba menggali informasi dari anak-anak yang tadinya bermain, yang kini tengah duduk menunggu giliran melempar kelereng di tangannya.Â
"Le, si Dede ngopo? Kog meneng wae? (Dik, ada apa dengan Dede? Kok dia diam saja?)
Ada apa dengannya? Tanyaku pesanaran.Â
Lelaki yang sebaya dengan Dede itu menjawab, "Nggak ngerti lho Pakde, paleng de'e kangen bapake." (Tidak ngerti lho Paman, mungkin dia kangen ayahnya)Â
"Lah, emang ayahnya di mana?" Tanyaku penuh selidik lagi.Â