Sebutir kelereng tiba-tiba menggelinding di depanku.Â
Kelereng itu terpental karena terlalu kuat di mainkan oleh anak-anak di kampungku. Cukup semarak menghiasi hari yang cukup terik.Â
Meski cuaca saat ini seperti menusuk kulit karena panas yang tak terkira, ternyata anak-anak masih bercengkrama dengan mainan tradisional itu. Ada senyum rasa sukur dari wajah-wajah lugu itu.
 Meskipun suasana masih diselimuti oleh berita tentang virus corona, nyatanya tidak memutus harapan anak-anak ini untuk menikmati kehidupan yang sebenarnya.Â
Ada bahagia yang memancar dari wajah anak-anak itu, tapi ada pula yang tengah merenung dan duduk sendirian di bawah pohon nangka dengan dedaunan yang lebat.Â
Saya kurang begitu mengerti mengapa anak kecil ini menyendiri dan tidak mau berbaur? Apa gerangan yang terjadi mengapa raut wajahnya berbeda dari anak-anak lainnya? Batinku penuh tanda tanya.
Kudekati anak itu, seketika kulontarkan pertanyaan sederhana.
"Kenapa kamu di sini? Dede nggak ikut mainan kelereng? Teman-temanmu asik mainan lho. Kok kamu malah terlihat murung? Eneng opo Le?"(Ada apa nak?)
Anak ini masih membisu.
Aku mengenali Dede ketika lebaran. Dia berkunjung ke rumah dengan pakaian yang ala kadarnya. Tak nampak seperti keluarga mampu, atau keluarga seperti tak mampu membelikan pakaian baru untuknya berlebaran.Â