Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu terngiang di telinga papahnya, bahkan karena pertanyaan-pertanyaan yang miris itu perkelahian tidak terelakkan. Papahnya seringkali berkelahi dengan teman-temannya lantaran cibiran dan hinaan datang silih berganti. Awalnya papahnya kebal dengan semua hinaan itu, tapi lama-lama ia berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh temannya itu benar adanya.
“Jangan-jangan benar apa yang dikatakan orang selama ini, kamu telah selingkuh ya? Sang suami menuduhnya dengan sekata-kata. Seakan-akan anaknya yang pertama adalah aib bagi keluarganya.
“Apa, Pah? Aku selingkuh?
Mamahnya menolak tuduhan suaminya, seolah-oleh ia tersambar petir. Tuduhan itu seperti mencabik-cabik rasa di dalam hatinya. Rasa kecewa dan terhina begitu menusuk sanubarinya.
"Iya, kamu selingkuh! Makanya anak kita satu-satunya terlahir cacat."
"Siapa pria lain di hatimu itu?"
Suaminya mencecar istrinya dengan beraneka pertanyaan yang membuat hatinya semakin pilu, Rinai pun jatuh begitu deras di kedua belah matanya. Rasa penyesalan dan kekecewaan kini membuncah seketika. Ia tidak menyangka, suaminya yang paling disayangi dan dicintainya tiba-tiba menuduhnya dengan keji.
“Apa salahku, Tuhan? Kenapa aku begitu terhina. Aku tak menyangka doa-doa yang kupanjatkan kepadaMu ternyata berakhir bencana bagi kehidupan rumah tanggaku.” Dalam batinnya ia menangis pilu, ibarat kertas yang telah tertulis ayat-ayat cinta kini hancur luluh berantakan oleh kata-kata suaminya. Rasa cinta dan perhatian yang dalam seakan-akan sirna. Tuduhan suaminya telah membunuh rasa cintanya yang ia bangun selama ini.
"Kenapa sih, Pah? Kenapa Papah menuduhku dengan kejinya?
"Apa salahku Pah?"
"Bukankah Papah tahu bahwa aku istri yang paling setia. Bahkan kita sudah berjanji untuk sehidup semati. Kita berjanji pada kedua orang tua kita bahwa kita adalah pasangan yang istimewa. Kita akan menjalani semua pernak-pernik kehidupan ini bersama-sama."