Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerpen: Kisah di Balik Kursi Roda Berkarat

10 April 2016   06:59 Diperbarui: 11 April 2016   09:55 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar : otodidakeri.wordpress.com"][/caption]

Di suasana pagi yang nampak gelap temaram. Awan perlahan-lahan menyelimuti cakrawala. Semua tenang dalam kesibukan. Awan yang tengah berarak itu seolah-olah menatap keluarga kecil di kampung Sekata. Keluarga yang hidup dalam kedamaian. Bagaimana tidak damai, mereka berkecukupan, tanah pekarangan dan ladang ada di mana-mana.

Meskipun mereka bukan dari golongan bangsawan atau keturunan raja, mereka sudah menikmati segalanya. Mereka juga bukan golongan pejabat negara dengan gaji puluhan juta rupiah dengan aneka merek mobil berjajar di garasi mobilnya. Mereka hanyalah masyarakat desa yang menggantungkan hidupnya dari bertani. Bercocok tanam jagung dan menanam padi. Meski begitu menanam singkong adalah kebanggaan. Karena baru sekaranglah singkong-singkong mereka laku terjual, setelah sekian lama tidak ada harganya.

Menanam singkong jangan berharap mendapatkan uang yang sesuai. Makanya kala itu kehidupannya amat sederhana. Kebanyakan hari-harinya hanya menikmati nasi tiwol berbahan dasar gaplek. Singkong menjadi bahan utama yang dikupas lalu dikeringkan, ditumbuk dan dimasak berbentuk butiran-butiran kecil. Sedangkan beras, adalah hidangan milik kaum kaya saja, ya minimal hanya bisa dinikmati oleh pegawai negeri dan pengusaha sukses. Beras adalah hidangan istimewa yang siap berjajar di meja-meja para konglomerat dan orang-orang yang berpesta pernikahan, kelahiran atau khitanan. Hanyalah orang tertentu yang bisa menikmati nasi beras yang empuk dan pulen itu.

Bersyukur sekali kehidupan mereka? Ya begitulah. Meskipun tidak kaya raya, kehidupannya amat berkecukupan. Menjadi wanita cantik adalah dambaan semua orang, memiliki suami yang tampan sudah ada di tangan. Masyarakatnya rukun dan damai sebuah keindahan yang tidak bisa diukur dengan apapun. Semua berjalan elok menyusuri perputaran roda kehidupan dan detak jantung serta jam dinding yang tak henti-hentinya. Menjadi rekaman kehidupan yang seiring sejalan.

Di antara kerumunan masyarakat yang lalu lalang, tengah termenuh seorang pria muda di sebuah kursi roda tua. Wajahnya kurus dengan tubuh yang tidak persisi karena bagian kaki dan tangannya kecil. Ia hanya bisa terduduk lemah. Sesekali tangannya berusaha digerakkan untuk mengusir lalat yang hinggap di wajahnya. Tepat dihidungnya yang nampak sentrap-sentrup karena flu yang diderita. Belum lagi lendir terus saja mengalir keluar tanpa mampu membersihkan sendiri. Dalam kesendirian itu ia hanya mampu memandangi keramaian orang yang melintas di depannya. Suara knalpot sepeda motor bersama cengingisan orang-orang di sana menambah suara gaduh. Belum lagi debu beterbangan menyesakkan suasana jalanan itu. Suara-suara ayam bersama anak-anaknya juga menghiasi suasana di sekelilingnya. 

"Pah, kenapa sih Papah gak mau bantuin Mamah mengurus si Bujang? Aku capek, lelah dan ingin istirahat. Coba saja Pah, dari sejak kelahiran anak kita itu, kehidupan kita jadi berubah. Papah seolah-oleh tidak terima dengan apa yang terjadi, perhatian Papah sama aku istrimu pun sekarang sudah berbeda. Dimintain tolong memandikan Bujang saja Papah seperti nggak peduli. Kenapa sih Pah? Apa yang salah dengan kelahiran Bujang?

Dalam perenungannya Bujang mendengar papah mamahnya bertengkar. Dari awal sejak kelahirannya, seolah-olah dirinya hanyalah aib. Semua orang menjadi benci dan mencibir. Bujang dianggap seperti sampah oleh papahnya. Bahkan sejak kelahirannya  papah yang biasanya begitu perhatian, saat ini sikapnya jauh berbeda.

Di mana-mana papahnya mengutuki dirinya, entah di rumah entah di hadapan teman-temannya, papahnya selalu mengatakan bahwa dirinya adalah kutukan. Anak sial lah tepatnya.

“Bang, saya heran, kenapa anak abang itu kog tubuhnya nggak jelas begitu? Cacat dan iiiihhhhhh, saja jijik ngeliatnya.

"Emang istri abang selingkuh?"

Pertanyaan-pertanyaan itu yang selalu terngiang di telinga papahnya, bahkan karena pertanyaan-pertanyaan yang miris itu perkelahian tidak terelakkan. Papahnya seringkali berkelahi dengan teman-temannya lantaran cibiran dan hinaan datang silih berganti. Awalnya papahnya kebal dengan semua hinaan itu, tapi lama-lama ia berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh temannya itu benar adanya.

“Jangan-jangan benar apa yang dikatakan orang selama ini, kamu telah selingkuh ya? Sang suami menuduhnya dengan sekata-kata. Seakan-akan anaknya yang pertama adalah aib bagi keluarganya.

“Apa, Pah? Aku selingkuh?

Mamahnya menolak tuduhan suaminya, seolah-oleh ia tersambar petir. Tuduhan itu seperti mencabik-cabik rasa di dalam hatinya. Rasa kecewa dan terhina begitu menusuk sanubarinya. 

"Iya, kamu selingkuh! Makanya anak kita satu-satunya terlahir cacat."

"Siapa pria lain di hatimu itu?"

Suaminya mencecar istrinya dengan beraneka pertanyaan yang membuat hatinya semakin pilu, Rinai pun jatuh begitu deras di kedua belah matanya. Rasa penyesalan dan kekecewaan kini membuncah seketika. Ia tidak menyangka, suaminya yang paling disayangi dan dicintainya tiba-tiba menuduhnya dengan keji.

“Apa salahku, Tuhan? Kenapa aku begitu terhina. Aku tak menyangka doa-doa yang kupanjatkan kepadaMu ternyata berakhir bencana bagi kehidupan rumah tanggaku.” Dalam batinnya ia menangis pilu, ibarat kertas yang telah tertulis ayat-ayat cinta kini hancur luluh berantakan oleh kata-kata suaminya. Rasa cinta dan perhatian yang dalam seakan-akan sirna. Tuduhan suaminya telah membunuh rasa cintanya yang ia bangun selama ini.

"Kenapa sih, Pah? Kenapa Papah menuduhku dengan kejinya?

"Apa salahku Pah?"

"Bukankah Papah tahu bahwa aku istri yang paling setia. Bahkan kita sudah berjanji untuk sehidup semati. Kita berjanji pada kedua orang tua kita bahwa kita adalah pasangan yang istimewa. Kita akan menjalani semua pernak-pernik kehidupan ini bersama-sama."

"Mengapa Papah malah menuduhku yang tidak-tidak?"

"Papah tega!"

“Bukankah itu karena dosa Papah yang selalu saja bermain adu jago? Papah sudah tidak menghiraukan peringatan semua orang, bahwa itu adalah kekejian Pah?"

"Papah ingat kala itu, ketika aku masih mengandung, ayam aduan itu kakinya patah, kepalanya bersimbah darah. Aku sudah mengatakan bahwa Papah harus menghentikan perjudian itu. Tapi Papah tidak pernah memerdulikan aku. Giliran sekarang Papah menuduhku dengan amat jahatnya."

“Papah tega!” Sang mamah hanya menyesali semua yang terjadi, sembari ia menyeka air matanya dengan tangannya yang saat itu juga sudah berlumuran air mata.

“Siapa yang tega? Bukankah kelahiran Bujang itu karena akibat dosa-dosamu yang telah menghianati aku? Suara sang suami semakin keras dan memeakakkan telinga. Semua tetangga pun berhamburan keluar, hendak menyaksikan apa yang terjadi. Sedangkan mereka tidak mampu berbuat apa-apa.

Dari ruang belakang, sosok laki-laki renta keluar dengan wajah yang kecewa, sedih, remuk dan seakan-akan terhimpit gumpalan batu besar yang mengenai tubuhnya. Ia adalah kakeknya Bujang. Kakek yang senantiasa menemani Bujang jika keduanya bekerja.

"Sudah, Rudi! Jangan kau hina anakku! Ia anakku yang jujur, yang tidak pernah menghianati suaminya. Kenapa dengan dirimu itu? Kenapa kau tidak menerima kenyataan ini?"

"Dulu kalian hidupnya baik-baik saja, kenapa sekarang jadi bertengkar setiap hari? Ada apa dengan kalian?"

Suara sang mertua seakan-akan petir yang menggelegar. Menghentikan umpatan percekcokan keduanya yang sepertinya sudah dipuncak amarah. Tangisan mamah semakin deras saja.

“Ya, Tuhan lebih baik aku mati saja, daripada kehidupanku begini jadinya!” Dalam batinya ia tidak bisa berbuat-apa-apa, seakan-akan kehidupannya sudah tidak berharga lagi. Di hadapan suaminya ia seperti sampah yang berserakan, berbau busuk dan seperti tak lagi dibutuhkan.

“Kalau begini, mendingan kita berpisah saja, Pah! Daripada Papah selalu menghinaku bahwa aku telah selingkuh? Jika Papah tidak menganggap Bujang sebagai darah daging Papah, maka kurela jika Papah pergi saja dari hadapanku!”

Disela-sela deraian air mata dan suara terbata-bata, ia merelakan kepergian suaminya. Suami yang dahulunya amat dicintai itu seakan-akan menjadi musuh yang tak lagi nampak kegagahannya seperti awal mereka bertemu. Jiwanya begitu kerdil. Laki-laki yang seperti kehilangan sayapnya, ia tak lagi memiliki kasih sayang. Entahlah, apakah semua ini karena Bujang. Bujang seperti menjadi pelampiasan percekcokan mereka berdua.

Sedangkan di beranda rumahnya, Bujang hanya menangis sejadi-jadinya, ia pun merasa tidak berguna. Ia tidak menyangka, kenapa kelahirannya hanyalah seperti gulma yang mengganggu kebahagiaan keluarganya.

Mendengar keputusan sang Mamah, sang Papah pun meninggalkan rumah itu dengan langkah gontai. Sebulan, dua bulan hingga lima tahun lamanya, kabar papahnya sudah tidak ada lagi. Bujang merasa kehilangan sang papah. Ia sadar bahwa papahnya telah khilaf. Karena kelemahanannya papah tidak bisa menerima takdir itu. Semua adalah puncak dari rasa malunya lantaran setiap hari mendapatkan celaan dari para temannya. Sang mamahpun pergi merantau ke Malaysia, ia berusaha meninggalkan kisah sedihnya itu dengan mencari penghasilan di negeri orang. Menjadi pembantu rumah tangga adalah keputusan akhir. Mamahnya pun sudah lama tidak kembali, paling-paling hanya berkirim kabar melalui ponsel usangnya. Ponsel kenang-kenangan dari papahnya kala itu.

Ingatan Bujang menerobos ruang dan waktu, air mata pun masih menetes deras dari balik pelupuk matanya. Ia tak menyangka, kehidupan keluarganya ternyata berubah drastis akibat kehadiran dirinya. Bukannya pujian yang ia dapatkan, justru sang papah tega meninggalkannya. Entah kemana perginya sang Papah. Kini ia hanya ditemani sang kakek yang selalu saja menemani ke mana ia pergi. Untung saat ini ia sudah bersekolah di salah satu sekolah luar biasa, ia beruntung bisa sedikit melupakan kesedihannya. Ia berusaha menerima takdir Tuhan itu dengan rasa syukur. Meski hatinya kecut, sedih dan selalu berharap mukjizat hadir di hadapannya.

Bujang berusaha mengingat kembali masa-masa silam di mana orang tuanya akhirnya berpisah, keluarga yang utuh itu kini bercerai berai seperti buih di lautan. Gumpalan indah itu kini sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah air mata penyesalan yang selalu mengalir di sela-sela kegalauannya. Di atas kursi roda itu ia menghabiskan masa penantian. Bersama tangisan yang semakin deras, dengan suara lirih ia berkata “Papah.....Mamah, kapan kalian pulang?”

Sekian

Metro, Lampung, 10/4/2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun