“Kalau begini, mendingan kita berpisah saja, Pah! Daripada Papah selalu menghinaku bahwa aku telah selingkuh? Jika Papah tidak menganggap Bujang sebagai darah daging Papah, maka kurela jika Papah pergi saja dari hadapanku!”
Disela-sela deraian air mata dan suara terbata-bata, ia merelakan kepergian suaminya. Suami yang dahulunya amat dicintai itu seakan-akan menjadi musuh yang tak lagi nampak kegagahannya seperti awal mereka bertemu. Jiwanya begitu kerdil. Laki-laki yang seperti kehilangan sayapnya, ia tak lagi memiliki kasih sayang. Entahlah, apakah semua ini karena Bujang. Bujang seperti menjadi pelampiasan percekcokan mereka berdua.
Sedangkan di beranda rumahnya, Bujang hanya menangis sejadi-jadinya, ia pun merasa tidak berguna. Ia tidak menyangka, kenapa kelahirannya hanyalah seperti gulma yang mengganggu kebahagiaan keluarganya.
Mendengar keputusan sang Mamah, sang Papah pun meninggalkan rumah itu dengan langkah gontai. Sebulan, dua bulan hingga lima tahun lamanya, kabar papahnya sudah tidak ada lagi. Bujang merasa kehilangan sang papah. Ia sadar bahwa papahnya telah khilaf. Karena kelemahanannya papah tidak bisa menerima takdir itu. Semua adalah puncak dari rasa malunya lantaran setiap hari mendapatkan celaan dari para temannya. Sang mamahpun pergi merantau ke Malaysia, ia berusaha meninggalkan kisah sedihnya itu dengan mencari penghasilan di negeri orang. Menjadi pembantu rumah tangga adalah keputusan akhir. Mamahnya pun sudah lama tidak kembali, paling-paling hanya berkirim kabar melalui ponsel usangnya. Ponsel kenang-kenangan dari papahnya kala itu.
Ingatan Bujang menerobos ruang dan waktu, air mata pun masih menetes deras dari balik pelupuk matanya. Ia tak menyangka, kehidupan keluarganya ternyata berubah drastis akibat kehadiran dirinya. Bukannya pujian yang ia dapatkan, justru sang papah tega meninggalkannya. Entah kemana perginya sang Papah. Kini ia hanya ditemani sang kakek yang selalu saja menemani ke mana ia pergi. Untung saat ini ia sudah bersekolah di salah satu sekolah luar biasa, ia beruntung bisa sedikit melupakan kesedihannya. Ia berusaha menerima takdir Tuhan itu dengan rasa syukur. Meski hatinya kecut, sedih dan selalu berharap mukjizat hadir di hadapannya.
Bujang berusaha mengingat kembali masa-masa silam di mana orang tuanya akhirnya berpisah, keluarga yang utuh itu kini bercerai berai seperti buih di lautan. Gumpalan indah itu kini sudah tidak ada lagi. Yang tersisa hanyalah air mata penyesalan yang selalu mengalir di sela-sela kegalauannya. Di atas kursi roda itu ia menghabiskan masa penantian. Bersama tangisan yang semakin deras, dengan suara lirih ia berkata “Papah.....Mamah, kapan kalian pulang?”
Sekian
Metro, Lampung, 10/4/2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H