"Mengapa Papah malah menuduhku yang tidak-tidak?"
"Papah tega!"
“Bukankah itu karena dosa Papah yang selalu saja bermain adu jago? Papah sudah tidak menghiraukan peringatan semua orang, bahwa itu adalah kekejian Pah?"
"Papah ingat kala itu, ketika aku masih mengandung, ayam aduan itu kakinya patah, kepalanya bersimbah darah. Aku sudah mengatakan bahwa Papah harus menghentikan perjudian itu. Tapi Papah tidak pernah memerdulikan aku. Giliran sekarang Papah menuduhku dengan amat jahatnya."
“Papah tega!” Sang mamah hanya menyesali semua yang terjadi, sembari ia menyeka air matanya dengan tangannya yang saat itu juga sudah berlumuran air mata.
“Siapa yang tega? Bukankah kelahiran Bujang itu karena akibat dosa-dosamu yang telah menghianati aku? Suara sang suami semakin keras dan memeakakkan telinga. Semua tetangga pun berhamburan keluar, hendak menyaksikan apa yang terjadi. Sedangkan mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Dari ruang belakang, sosok laki-laki renta keluar dengan wajah yang kecewa, sedih, remuk dan seakan-akan terhimpit gumpalan batu besar yang mengenai tubuhnya. Ia adalah kakeknya Bujang. Kakek yang senantiasa menemani Bujang jika keduanya bekerja.
"Sudah, Rudi! Jangan kau hina anakku! Ia anakku yang jujur, yang tidak pernah menghianati suaminya. Kenapa dengan dirimu itu? Kenapa kau tidak menerima kenyataan ini?"
"Dulu kalian hidupnya baik-baik saja, kenapa sekarang jadi bertengkar setiap hari? Ada apa dengan kalian?"
Suara sang mertua seakan-akan petir yang menggelegar. Menghentikan umpatan percekcokan keduanya yang sepertinya sudah dipuncak amarah. Tangisan mamah semakin deras saja.
“Ya, Tuhan lebih baik aku mati saja, daripada kehidupanku begini jadinya!” Dalam batinya ia tidak bisa berbuat-apa-apa, seakan-akan kehidupannya sudah tidak berharga lagi. Di hadapan suaminya ia seperti sampah yang berserakan, berbau busuk dan seperti tak lagi dibutuhkan.